NovelToon NovelToon
Dunia Yang Indah

Dunia Yang Indah

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Kebangkitan pecundang / Spiritual / Persahabatan / Budidaya dan Peningkatan / Mengubah Takdir
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: YUKARO

Di balik gunung-gunung yang menjulang,ada dunia lain yang penuh impian. Dunia Kultivator yang mampu mengendalikan elemen dan memanjangkan usia. Shanmu, seorang pemuda desa miskin yang hidup sebatang kara, baru mengetahuinya dari sang Kepala Desa. Sebelum ia sempat menggali lebih dalam, bencana menerjang. Dusun Sunyi dihabisi oleh kekuatan mengerikan yang bukan berasal dari manusia biasa, menjadikan Shanmu satu-satunya yang selamat. Untuk mencari jawaban mengapa orang tuanya menghilang, mengapa desanya dimusnahkan, dan siapa pelaku di balik semua ini, ia harus memasuki dunia Kultivator yang sama sekali asing dan penuh bahaya. Seorang anak desa dengan hati yang hancur, melawan takdir di panggung yang jauh lebih besar dari dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Penolakan dan Alasannya!

Kereta pedagang akhirnya berhenti dengan gemuruh terakhir di depan gerbang Kota Lama. Dua penjaga berseragam sederhana berdiri di samping pintu kayu besar yang dibuka lebar, mata mereka menyapu setiap pendatang dengan kewaspadaan rutin. Kelima pemuda desa melompat turun dengan lincah, tas mereka berayun-ayun di pundak. Ekspresi mereka adalah campuran antara kelegaan tiba di tujuan dan kecemasan menghadapi yang tak dikenal. Pedagang itu turun dengan gerakan lebih lambat namun penuh wibawa, kakinya yang kokoh menginjak tanah berdebu di depan gerbang.

Shanmu mengikutinya, turun dengan hati-hati. Otot-ototnya yang kaku karena duduk lama meregang saat ia berdiri tegak. Pertama-tama, ia memandang ke atas, mengagumi ketinggian tembok batu yang dari dekat terasa jauh lebih megah dan mengintimidasi daripada yang ia bayangkan dari kejauhan. Batu-batunya besar, disusun dengan rapi, diwarnai oleh lumut hijau dan jejak hitam asap di beberapa bagian. Gerbang itu sendiri dihiasi dengan ukiran sederhana berbentuk naga yang sudah dimakan waktu, tetapi masih terasa sakral.

Pedagang itu memberikan beberapa keping perak kepada penjaga, sambil mengangguk pada kusirnya. "Bawa ke gudang tua dekat pasar timur, seperti biasa," perintahnya pada kusirnya yang sudah tua. Kusir itu mengangguk, lalu menggerakkan kudanya, membawa kereta masuk ke dalam kota melalui jalur khusus untuk kendaraan, menghilang di balik kegelapan terowongan gerbang.

Sementara itu, seorang wanita paruh baya dengan pakaian bersih dan wajah yang tegas namun tidak jahat sudah menunggu di sisi gerbang. Ia adalah perwakilan dari penginapan atau mungkin sekte kecil yang merekrut tenaga baru. Kelima pemuda desa itu mendekatinya. Mereka berbincang singkat, wanita itu sesekali melihat daftar di tangannya, lalu mengangguk. Sebelum berpisah, salah satu dari mereka, yang paling berani tadi, menengok ke arah Shanmu. Ia melambaikan tangan, sebuah ucapan selamat tinggal yang sederhana. Shanmu, dengan hati yang hangat, langsung membalas lambaian itu dengan senyuman dan anggukan. Itu adalah satu-satunya hubungan persahabatan, sekecil apapun, yang ia bawa dari perjalanan itu.

Setelah kelima pemuda itu pergi bersama wanita itu, pedagang itu berpaling kepada Shanmu. Wajahnya yang kasar melembut. "Baiklah. Karena semuanya telah pergi ke tujuan mereka, sekarang giliranmu. Ayo kita temui orang yang ku janjikan padamu."

"Baik, Tuan. Terima kasih banyak," jawab Shanmu, membungkuk sedikit. Rasa haru dan harapan berdebar di dadanya.

Pedagang itu hanya melambaikan tangannya, lalu berjalan memasuki kota dengan langkah mantap. Shanmu segera mengikuti di belakangnya, matanya membelalak, mencoba menyerap segalanya.

Begitu melangkah melewati ambang gerbang, dunia baru benar-benar membentang di hadapannya. Suara, aroma, dan pemandangan yang sama sekali asing menyerbunya. Jalanan terbentang lebar, dijejali batu-batu pipih. Di kanan kirinya, bangunan-bangunan bertingkat dua atau tiga berjajar rapat. Mereka terbuat dari kayu dan bata, dengan atap genting berwarna abu-abu atau coklat. Beberapa memiliki papan tanda dengan tulisan aneh yang tidak bisa ia baca, dihiasi lukisan poci teh, sepatu, atau potongan daging. Ini adalah toko-toko, kedai, dan penginapan.

"Aduh..." gumam Shanmu takjub, kepalanya terus menengok ke segala arah. Ia hampir menabrak seorang penjual sayur yang mendorong gerobak karena terlalu asyik melihat ukiran naga di atas pintu sebuah kedai obat.

Aroma yang menguar di udara adalah campuran yang kompleks dan memabukkan bagi indranya yang polos, aroma daging panggang yang gurih dan berminyak dari warung kaki lima, bau rempah-rempah tajam dari toko obat, wangi kue manis yang baru keluar dari oven, dan bau tak sedap dari selokan terbuka di pinggir jalan. Perutnya yang sudah lama hanya diisi daging panggang tanpa bumbu langsung berkeroncong keras, memprotes dan menginginkan secuil dari makanan-makanan yang baunya begitu menggoda itu. Ia menelan ludah, memaksakan diri untuk tidak melirik ke arah warung sate yang penuh pembeli.

Keramaiannya luar biasa. Orang-orang lalu lalang dengan pakaian berbagai warna dan bahan. Pedagang kaki lima berteriak menawarkan barangnya. Seorang ibu muda menarik tangan anaknya yang ingin membeli permen. Beberapa lelaki tua duduk di depan kedai, bermain catur sambil minum teh. Dan ada juga keluarga, persis seperti yang ia lihat di desa tadi, tetapi di sini lebih ramai dan berwarna. Seorang ayah menggendong putri kecilnya di pundak, si anak tertawa riang melihat boneka kain yang dijual seorang pedagang. Pemandangan itu menusuk Shanmu dengan rasa rindu yang tiba-tiba, tetapi juga memberinya kehangatan. Kehidupan, dalam segala hiruk-pikuknya, tetap berjalan.

Tiba-tiba, sorot matanya tertangkap pada seorang lelaki yang melintas. Pria itu mengenakan pakaian yang sama sekali berbeda dari yang pernah ia lihat. Bahannya halus dan berkilau, berwarna biru laut dengan hiasan sulaman benang perak berbentuk awan di sepanjang tepinya. Rambutnya diikat rapi, dan di pinggangnya tergantung sebuah pedang pendek dengan sarung yang diukir rumit. Orang itu berjalan dengan angkuh, orang-orang biasa seakan memberi jalan untuknya.

"Itu adalah kultivator, seorang Pejuang Besi sepertiku," kata pedagang di sampingnya, menjawab rasa penasaran yang terpancar dari wajah Shanmu.

Mata Shanmu semakin berbinar. "Kultivator sangat hebat," gumamnya kagum. "Mereka bahkan... sangat bagus pakaiannya."

Pedagang itu menggeleng, sedikit tertawa. "Pakaian seperti itu bisa dibeli, nak. Suatu hari nanti, jika kau punya kepingan emas lebih dari hasil kerja kerasmu, kau juga bisa memakainya. Tidak harus kultivator."

Shanmu memegang dagunya, tampak serius berpikir. "Oh... begitu. Baiklah. Jika nanti aku punya lebih banyak kepingan emas, aku akan membeli beberapa pakaian bagus." Ucapannya polos, tanpa keserakahan, hanya sebuah rencana sederhana.

Setelah berjalan cukup lama, menyusuri jalan utama yang ramai, pedagang itu tiba-tiba membelok ke sebuah lorong sempit di sebelah kanan. Suasana berubah drastis. Lorong itu lebih sepi, gelap, dan bau besi tua serta bara api mulai tercium. Suara dentingan logam yang berirama terdengar semakin keras. Shanmu mengikutinya dengan setia, meski sedikit waspada.

Mereka akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan yang lebih besar dari sekitarnya, menempel pada tembok kota bagian dalam. Asap hitam tipis mengepul dari cerobongnya yang pendek. Pedagang itu mendorong pintu kayu berat yang tidak dikunci.

Begitu masuk, Shanmu disambut oleh hawa panas dan suara yang memekakkan telinga. Ini adalah sebuah bengkel senjata yang luas. Di dalam cahaya redup yang diselingi nyala api dari perapian besar, beberapa pekerja bertubuh kekar terlihat sedang bekerja. Seorang memalu sebilah pedang yang membara di atas landasan, percikan api beterbangan seperti kunang-kunang merah. Yang lain mengasah mata pedang di atas batu roda, mengeluarkan bunyi mendesing yang menusuk. Rak-rak di dinding dipenuhi dengan senjata dalam berbagai tahap penyelesaian: pedang perak yang sudah diasah halus, tombak dengan mata runcing, kapak perang yang berat. Aroma minyak pelumas, besi panas, dan keringat memenuhi udara.

Mereka berjalan melewati area kerja, menerima pandangan sekilas dari para pekerja yang penuh keringat, lalu menuju ke sebuah pintu di belakang yang terbuka ke sebuah halaman kecil yang lebih terang. Di sana, di bawah naungan sebatang pohon tua yang meranggas, seorang pria paruh baya duduk di atas bangku batu. Wajahnya berkulit gelap terbakar api, dengan bekas luka kecil di pipi kirinya. Di tangannya ia memegang sebuah kendi tanah liat. Ia mendongakkan kepala, menuangkan cairan bening ke dalam mulutnya. Shanmu, yang tidak pernah melihat anggur atau arak, hanya mengira itu air minum biasa.

"Lao Chen!" sapa pedagang itu dengan suara keras.

Pria paruh baya itu, Lao Chen, menurunkan kendinya. Matanya yang tajam seperti mata elang beralih dari sahabatnya ke sosok Shanmu di belakangnya. "Teman Wang. Sudah lama tidak datang. Bawa apa ini?" suaranya parau, langsung ke inti.

Pedagang Wang menepuk bahu Shanmu, mendorongnya sedikit ke depan. "Ini Shanmu. Aku temui di perjalanan. Nak, perkenalkan dirimu."

Shanmu segera membungkuk. "Salam, Tuan. Saya Shanmu, dari desa jauh. Saya mencari pekerjaan."

Lao Chen mengamatinya dari atas ke bawah, sama seperti yang dilakukan Lao Wang sebelumnya. Ia melihat tubuh yang perkasa, tangan yang penuh kapalan, dan tatapan lugu namun tegas.

Pedagang itupun kemudian melanjutkan, menurunkan suaranya. "Dia ini... tidak memiliki akar spiritual, Lao Chen. Tidak ada bakat kultivasi. Tapi lihatlah tenaganya, lihat semangatnya. Dia pekerja keras. Kuharap kau bisa memberinya pekerjaan di bengkelmu. Sedikit pekerjaan kasar saja tidak apa."

Lao Chen terdiam sejenak. Ia minum lagi dari kendinya, lalu menghela napas. "Teman Wang, kau tahu bagaimana situasi di sini. Aku sudah punya cukup pekerja dan beberapa murid magang yang berasal dari keluarga yang punya koneksi. Tidak ada lowongan untuk pekerja kasar baru." Pandangannya pada Shanmu mengandung penyesalan, tetapi juga ketegasan. "Terima kasih sudah mengantarnya, tapi aku tidak bisa menerimanya."

Pukulan itu lebih halus daripada tinju di desa sebelumnya, tetapi tidak kalah menyakitkan. Harapan yang mulai membumbung tinggi di dada Shanmu langsung runtuh. Wajahnya sedih, tetapi ia berusaha keras untuk tidak menunjukkannya.

Pedagang itu tampak sangat kesal, wajahnya memerah sedikit. "Lao Chen, sebagai sahabat, berikanlah aku muka ini. Hanya satu pekerjaan saja!"

Namun, sebelum Lao Chen menjawab, Shanmu sudah menunduk dalam-dalam. "Tidak apa-apa, Tuan Wang. Benar-benar tidak apa-apa." Ia mengangkat wajah, dan sekali lagi, senyuman tulus yang kuat menghias bibirnya, meski matanya sedikit berkaca.

"Saya mengerti. Saya pasti bisa menemukan pekerjaan sendiri. Terima kasih banyak, Tuan Wang, atas segala kebaikan dan usaha Tuan. Saya tidak akan pernah melupakannya."

Dengan cepat, sebelum emosi di hatinya meluap, Shanmu membalikkan badan dan berjalan keluar dari halaman itu, melewati bengkel yang berisik, dan keluar ke lorong sunyi. Langkahnya cepat, bukan karena marah atau kesal pada Lao Chen, tetapi karena ia merasa waktu sangat berharga. Matahari sudah semakin rendah. Ia harus segera menemukan tempat untuk bermalam, atau setidaknya, tempat yang aman untuk merencanakan langkah selanjutnya.

Di halaman bengkel, pedagang berdiri dengan wajah muram dan perasaan bersalah yang mendalam. Ia merasa telah mengecewakan pemuda yang telah ia kagumi.

Lao Chen mendekatinya, meletakkan tangan di bahu sahabatnya. "Teman, bukan aku tidak ingin membantumu," katanya, suaranya rendah. "Tapi kau lihat sendiri. Para pekerja dan murid-muridku di sini, mereka berasal dari klan kecil atau memiliki hubungan. Seorang pendatang asing tanpa bakat, hanya mengandalkan tenaga kasar... di sini, di kota ini, dia akan diinjak-injak. Mereka akan memperlakukannya seperti budak, mencuri upahnya, atau bahkan memicu perkelahian. Aku tidak ingin orang yang kau titipkan, orang yang tampaknya baik itu, mengalami nasib buruk di bawah pengawasanku. Lebih baik ia mencari jalan sendiri, mungkin nasibnya akan lebih baik di tempat yang tidak begitu... keras."

Lao Wang menghela napas panjang, pasrah. Ia memandang ke arah pintu yang telah ditutup Shanmu. Di hatinya, ia hanya bisa berharap agar keteguhan dan semangat pantang menyerah pemuda itu benar-benar bisa menjadi pelindungnya di kota besar yang kejam ini. Sementara itu, Shanmu telah kembali ke jalanan ramai, sendirian, dengan segenggam keping emas pemberian yang terasa semakin berat di pinggangnya, dan sebuah tekad yang sekali lagi diuji oleh kerasnya realita Kota Lama.

1
Futon Qiu
Karena ada komedi nya kukasi bintang 5🙏💦
Futon Qiu
Lah ya pasti lanxi kok nanya kamu nih🤣
Futon Qiu
Jangan jangan itu ortunya 🙄
HUOKIO
Baik bnget si lancip😍😍
HUOKIO
Mau kemana tuh
HUOKIO
Ini penjaga kocak 🤣🤣
HUOKIO
Angkat barbel alam 🗿
HUOKIO
Makin lama makin seru 💪💪💪
HUOKIO
Gass terus thor💪💪💪
HUOKIO
Mantap thor lanjut
HUOKIO
Lanjutkan ceritanya thor
HUOKIO
Shanmu kuat banget untuk manusia 😄
HUOKIO
Ohhh i see💪
HUOKIO
Oalah kok gitu 😡
HUOKIO
Mantap thor
HUOKIO
Gas pacari lqci
HUOKIO
Makin lama makin seru
HUOKIO
Lanjutkan 💪
HUOKIO
Pulang dulu antarkan anak ny. Malah gosip
HUOKIO
Lanjutkan thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!