Jingga seorang gadis cantik yang hidupnya berubah drastis ketika keluarga yang seharusnya menjadi tempat pulang justru menjadi orang pertama yang melemparkannya keluar dari hidup mereoka. Dibuang oleh ayah kandungnya sendiri karena fitnah ibu tiri dan adik tirinya, Jingga harus belajar bertahan di dunia yang tiba-tiba terasa begitu dingin.
Awalnya, hidup Jingga penuh warna. Ia tumbuh di rumah yang hangat bersama ibu dan ayah yang penuh kasih. Namun setelah sang ibu meninggal, Ayah menikahi Ratna, wanita yang perlahan menghapus keberadaan Jingga dari kehidupan keluarga. Davin, adik tirinya, turut memperkeruh keadaan dengan sikap kasar dan iri.
Bagaimanakan kehidupan Jingga kedepannya?
Akankan badai dan hujannya reda ??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R²_Chair, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cerita Sunyi di rumah tua
Pagi datang perlahan, membawa cahaya kekuningan yang menembus tirai kamar kecil tempat Jingga tidur. Ia terbangun dengan kepala sedikit berat namun tubuh terasa lebih hangat dibanding malam sebelumnya. Selimut yang digunakan Kakek Arga terlalu tebal untuk ukuran tubuhnya, tapi justru memberikan kenyamanan yang sudah lama tak ia rasakan.
Hening menyelimuti rumah itu. Tidak ada suara orang bertengkar, tidak ada langkah kaki Ratna atau adik tirinya yang sibuk menuduhnya macam-macam. Tidak ada desahan lelah ayahnya yang setiap hari semakin menjauh darinya.
Hanya ada suara burung-burung dari halaman samping dan aroma kayu tua yang khas.
Jingga menarik napas dalam-dalam,seolah menyalakan ulang dirinya yang sudah berkali-kali padam.
Ia membuka pintu kamar pelan-pelan.Ruang tamu terlihat sama seperti semalam,sederhana namun rapi.Di dapur kecil yang menempel dengan ruang tamu, terdengar suara panci dan sendok beradu lembut.
Jingga mendekat perlahan. Dan di sana, ia melihat Kakek Arga.
Kakek itu berdiri dengan apron sederhana membalut tubuhnya. Rambut putihnya basah sedikit, mungkin habis berwudhu atau mandi pagi. Tangannya cekatan memotong wortel dan kentang.
Jingga belum pernah melihat seseorang seusianya bekerja seaktif itu.
“Selamat pagi,” sapa Jingga pelan.
Kakek Arga menoleh, tersenyum lebar. “Kamu sudah bangun,nak. Tidurnya nyenyak?”
Jingga mengangguk. “Nyenyak sekali,sampai saya nggak ingat kapan terakhir tidur pulas begini.”
“Bagus,” kata Kakek Arga sembari terkekeh kecil. “Kamu butuh istirahat.”
Jingga diam beberapa detik,memerhatikan dapur itu.Panci-panci mengkilap, bumbu-bumbu tertata rapi, dan meja kayu yang sedikit usang namun bersih. Seperti rumah yang dirawat oleh seseorang yang tidak pernah lelah mencintai tempatnya tinggal meski ia tinggal sendirian.
“Boleh saya bantu, Kek?” tanya Jingga ragu.
“Tentu. Kupas kentang ini, ya?”
Mereka bekerja berdampingan. Jingga memegang pisau kecil, berusaha tidak membuat gerakan canggung. Kakek Arga sesekali mengoreksi dengan sabar,seperti seorang guru yang menikmati mengajar murid barunya.Terlihat canggung namun rasanya hangat.
“Kalau kamu kupasnya begini—” Kakek menunjukkan gerakan memutar yang lebih cepat, “—kentangnya tidak banyak terbuang.” Jelasnya kemudian
Jingga mencoba menirukan, dan sukses. “Wah, ternyata benar.” Ucapnya dengan wajah berbinar.
“Kebiasaan bertahun-tahun,” jawab Kakek Arga merendah.
Sambil memotong sayuran, Jingga mencuri pandang. Ada ketenangan yang terpancar dari sosok itu. Pandangan matanya teduh, gerakannya pelan tapi pasti. Lingkungan rumah itu seakan mengikuti keinginan hidupnya yang sunyi, teratur, tanpa tuntutan apa pun.
Dan Jingga merasa… nyaman.
Acara masak selesai,keduanya langsung menyantap makanannya bersama.Jingga begitu lahap,bukan hanya karena rasa namun juga karena terasa ada sedikit kasih di dalamnya.
Setelah sarapan, Kakek Arga mengajak Jingga duduk di ruang tamu. Di atas meja, ada sebuah kotak kayu tua.
“Kamu pasti penasaran, Kakek tinggal sendiri kenapa,” ucapnya tiba-tiba.
Jingga terbelalak, tidak menyangka Kakek Arga memilih topik itu duluan. “I—iya… tapi saya tidak mau bertanya karena takut terlalu ikut campur.”
Kakek Arga tertawa kecil. “Tidak apa. Kalau kamu tinggal di sini beberapa hari,kamu berhak tahu sedikit.”
Dari kotak itu, Kakek mengambil beberapa foto hitam putih yang sudah menguning. Salah satunya memperlihatkan seorang perempuan muda berhijab, tersenyum lembut seperti embun pagi.
“Ini almarhumah neneknya kake?” tebak Jingga, salah tingkah.
“Bukan,” jawab Kakek Arga sembari menggeleng. “Ini istri Kakek. Namanya Alma.”
Jingga terdiam.
“Kami menikah lama sekali. Dia orangnya ceria, tidak bisa diam, tapi hatinya lembut sekali. Rumah ini selalu penuh suara waktu dia ada.” Mata Kakek Arga menatap foto itu lembut, bukan dengan kesedihan , tapi dengan kenangan yang diterima dengan ikhlas.
Jingga menunduk. “Maaf, Kek.”
“Kenapa minta maaf?”
“Karena saya datang ke rumah ini sambil membawa masalah. Seharusnya—”
“Nak,” potong Kakek Arga tenang, “justru rumah ini sudah terlalu lama sepi. Kehadiran kamu… membuatnya terasa hidup lagi.”
Kata-kata itu seperti selimut hangat yang membungkus Jingga dari dalam. Ia menelan ludah, menahan perasaan yang menumpuk di dadanya.
“Kalau boleh tahu…” Jingga memberanikan diri, “anak atau keluarga Kakek yang lain…?”
Kakek Arga tersenyum samar. “Tidak ada. Kami tidak dikaruniai anak.Setelah Alma meninggal, saudara-saudara Kakek sudah banyak yang sepuh atau tinggal jauh. Jadi, Kakek di sini sendiri.”
Jingga merasa dadanya menghangat dan menegang bersamaan.
“Maka itu,” lanjut Kakek Arga sambil menatapnya lembut, “memiliki seseorang seperti kamu di sini… Kakek sangat bersyukur.”
Jingga tidak bisa berkata apa-apa.Lantai rumah itu, bau kayu,aroma sup yang masih tersisa di udara,semuanya terasa seperti pelukan yang tak pernah ia dapatkan dari rumahnya sendiri.
Menjelang siang, Kakek Arga menunjukkan halaman belakang. Ada kebun kecil yang ditumbuhi bunga melati dan anggrek yang terlihat dirawat dengan sepenuh hati.
“Waktu Alma masih ada, dia suka sekali berkebun,” cerita Kakek Arga. “Sekarang, Kakek rawat sekadarnya.”
Jingga menyentuh kelopak melati yang masih basah sisa hujan malam. “Cantik sekali.”
“Kalau kamu tinggal di sini beberapa hari, kamu boleh rawat juga. Melihat anak muda mengurus bunga… Alma pasti senang.” Kakek Arga tersenyum hangat.
Jingga tersipu kecil. “Saya bisa belajar dari Kakek.”
“Bagus. Biar rumah ini lebih ramai.”
Mereka kemudian menyapu halaman bersama. Kakek Arga bergerak pelan, dan Jingga membantu bagian yang lebih berat. Kerja sama kecil itu memunculkan sesuatu di hati Jingga,hal yang sulit ia jabarkan. Bukan sekadar nyaman. Lebih dari itu, ia merasa dihargai.
Sorenya mereka duduk di teras rumah sambil menikmati teh hangat. Hujan turun rintik-rintik lagi, menciptakan alunan suara yang menenangkan.
“Kamu tidak keberatan tinggal sebentar?” tanya Kakek Arga.
Jingga menggenggam cangkirnya erat. “Saya… sejujurnya… tidak mau pulang dulu.”
Kakek Arga tidak terkejut. “Kakek tahu.”
“Ayah saya… dulu sangat menyayangi saya. Tapi sejak menikah lagi, semuanya berubah. Saya merasa seperti orang asing di rumah sendiri.”
Kakek Arga mengangguk pelan. “Luka keluarga memang paling sulit disembuhkan.”
“Semalam… saat saya jalan di tengah hujan, saya benar-benar merasa tidak punya siapa-siapa.” Jingga menunduk. “Tapi… ternyata Allah masih baik. Saya dipertemukan dengan Kakek.”
Kakek Arga tersenyum tipis. “Kadang orang yang kita temui bukan kebetulan, nak. Bisa jadi,memang sudah waktunya kamu menemukan tempat aman dulu sebelum kuat berdiri lagi.”
Jingga mengusap matanya pelan. "Terima kasih, Kek.” Lagi-lagi hatinya menghangat.
“Jangan berterima kasih dulu,” Kakek Arga terkekeh, “kamu belum tahu betapa bawelnya Kakek nanti.”
Jingga tertawa. Tawanya ringan, tulus, seperti tawa yang ia pikir sudah lama hilang.
Waktu bergulir matahari mulai meninggalkan peraduannya.Jingga membantu Kakek Arga merapikan buku-buku lama di lemari ruang tamu. Sebagian buku-buku itu tentang sejarah,sebagian tentang agama, dan sebagian lagi novel-novel lama dengan sampul lusuh.
“Kakek suka baca?” tanya Jingga sambil meniup debu dari sebuah buku.
“Dulu, iya. Sekarang mata Kakek cepat lelah. Kalo kamu suka baca, ambil saja salah satunya.”
Jingga menatap buku-buku itu.Tangannya berhenti pada sebuah novel tua berjudul Langkah Kecil. “Kayaknya menarik.”
“Itu favorit Alma,” kenang Kakek Arga.
Jingga menundukkan kepala di balik buku, entah kenapa ia merasa terharu.
“Kek…”
“Hmm?”
“Apa Kakek nggak keberatan kalau saya anggap Kakek seperti…” Jingga tidak melanjutkan kalimatnya. Heningnya suasana membuatnya sulit meneruskan kalimatnya.
Namun Kakek Arga tersenyum, memotong jedanya berbicara.
“Kamu boleh anggap Kakek apa pun yang membuat hatimu tenang.”
Jingga menggigit bibir, menahan air mata haru yang nyaris jatuh.
Dan untuk pertama kalinya sejak ibunya meninggal, ia merasa memiliki sosok tua yang bisa ia hormati dan percayai.Dan tentunya penuh harapan.
Dan malam itu, sebelum tidur, Jingga memandang kamar kecil itu berbeda.Seolah dinding kayu itu menyimpan cerita baru yang siap menampung luka lamanya.
Ia berbaring, memeluk bantal sambil menatap langit-langit.
“Aku… nggak sendiri,” lirihnya
Di luar kamar, cahaya hangat dari ruang tamu masih terlihat sedikit. Kakek Arga belum tidur, mungkin sedang membaca atau menyelesaikan pekerjaannya.Keberadaan sosok itu membuat Jingga merasa aman.
Dan di tengah kesunyian rumah tua itu, Jingga tahu satu hal,Hidupnya baru saja menemukan titik terang.
Di rumah kecil yang sunyi, ia menemukan seseorang yang memberinya tempat tanpa syarat, tanpa tuduhan, tanpa meminta apa pun sebagai balasan.
Pertemuan itu bukan akhir.
Tapi awal dari kisah panjang yang akan mengubah keduanya.
...🍀🍀🍀...
...🍃 Langit Jingga Setelah Hujan 🍃...