bagaimana jadinya kalau anak bungsu disisihkan demi anak angkat..itulah yang di alami Miranda..ketiga kaka kandungnya membencinya
ayahnya acuh pada dirinya
ibu tirinya selalu baik hanya di depan orang banyak
semua kasih sayang tumpah pada Lena seorang anak angkat yang diadopsi karena ayah Miranda menabrak dirinya.
bagaimana Miranda menjalani hidupnya?
simak aja guys
karya ke empat saya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kemarahan Handoko
Setelah hampir seharian belanja dan perawatan, Miranda akhirnya pulang ke rumah besar itu. Ia menjatuhkan tubuh ke sofa empuk.
“Aduh… aku lelah sekali,” keluhnya.
“Tapi hasilnya mantap, Nyonya,” sahut Mila sambil tersenyum.
Miranda manyun. “Tapi aku jadi takut mandi. Nanti wajahku rusak lagi. Mahal sekali perawatannya. Dulu ibu tiriku perawatan sepuluh juta saja sudah sombong, sekarang aku hampir seratus juta. Pemborosan sekali.”
Mila dan Mili terkekeh pelan.
“Tenang, wajah Nyonya sudah cantik permanen. Tiap bulan akan ada perawatan lanjutan,” ujar Mila bangga.
Miranda menghela napas lega. “Jadi… aku boleh mandi?”
“Tentu saja, Nyonya. Mandi yang wangi, ya. Besok Anda bertemu Nyonya Besar,” ucap Mila.
Miranda tertegun. Rasa takut merayap dalam dirinya. Ibu tiriku saja sudah kejam… apalagi ibu mertua? pikirnya.
“Apakah Nyonya Besar galak?” Ia menelan ludah.
Mili mengangkat alis. “Kalau dibandingkan Tuan Rian, Nyonya Besar jauh lebih galak.”
“Ya Tuhan… apakah aku akan direbus hidup-hidup?” Miranda spontan menutup mulutnya sendiri.
Mili tertawa geli. “Tidak separah itu, Nyonya. Walau galak, mereka bukan psikopat. Mereka sebenarnya baik. Kalau tidak, mana mungkin kami betah bekerja di sini. Gaji ART saja lebih dari UMR. Anak-anak kami juga disekolahkan Nyonya Kirana.”
Miranda masih ragu. Orang kaya kadang begitu. Manis ke orang luar, tapi jahat pada satu orang yang mereka benci. Sama seperti ayah dan ibu tiriku. Ia mendesah pelan.
“Bagaimana, Nyonya? Ingin mandi?” tanya Mila lagi.
Miranda bangkit, mengangguk kecil. “Baiklah… aku mandi dulu.”
..
..
Setelah mandi miranda akan makan karena lapar
"nyonya bisakah menunggu sebentar .guru etika akan datang sebentar lagi untuk mengajarkan anda tata cara makan" ucap Mili
“Tidak usah, aku bisa,” ucapnya percaya diri.
Mila dan Mili langsung saling pandang—biasanya kalimat itu pertanda bencana.
Namun Miranda justru meraih serbet, membentangkannya lembut, dan meletakkannya di pangkuan dengan pose elegan. Lalu ia mengambil garpu dan pisau tepat seperti standar bangsawan: genggaman ringan, sudut pas, tanpa suara logam beradu.
Potongan steak dipotongnya rapi, sehalus potongan di restoran bintang lima.
Mili sampai menjatuhkan rahang. “Astaga, nyonya… Anda belajar dari mana?”
Miranda menelan potongan steaknya lalu berbisik pelan, polos, “Aku ini penggemar drama Korea. Suka memperhatikan cara mereka makan. Lumayan… bisa buat nyelamatin nyawa. Kalau aku makan benar, mungkin nyonya besar tidak jadi merebus aku.”
Mila sampai menepuk dada, setengah kaget setengah ikut tertawa.
“Nyonya… Anda bukan cuma bisa. Anda makan lebih rapi daripada putri bangsawan sungguhan.”
Miranda mengedip bangga. “Begitulah… ilmu dari menonton oppa-oppa."
..
..
Setelah makan, Miranda berbaring di kasur empuknya. Ia meraih ponsel mahal itu—ponsel pertama dalam hidupnya—niatnya ingin menelepon Bi Mirna.
Namun ia berhenti ketika melihat ikon WhatsApp menyala.
“Aku dimasukkan ke grup Aditama?” gumamnya.
Keningnya berkerut. “Apa Bi Mirna kasih nomerku ke Lena atau ayah?”
Miranda langsung menggeleng. Tidak. Bi Mirna tidak mungkin mengkhianatinya.
Ia men-scroll layar ponsel. Sebuah video dari Salma muncul.
Miranda menekan play.
Video itu memperlihatkan dirinya di butik tadi: Reza menggandengnya, kemudian adegan Reza memegang betis Miranda saat mengobati kakinya yang terkilir.
Lalu komentar-komentar muncul beruntun di bawahnya.
Salma: Ga nyangka yah… Miranda bisa jadi simpanan om-om. Memalukan banget.
Erwin: Ih dia memang sialan. Ga tahu diri banget.
Ela: Aga aneh tuh Miranda. Maluin keluarga Aditama.
Salma: Iya. Emang bikin malu aja.
Lena: Salma, hapus video itu. Jangan sebar keburukan orang lain.
Salma: Terserah gue dong. Video-video gue.
Amar: Biarin aja, Lena.
Komentarnya semakin kejam, semakin menusuk.
Tangan Miranda gemetar.
“Kenapa… apa salahku sama kalian?” bisiknya. Air mata hampir jatuh, tapi buru-buru ia sapu. Ia tidak mau terlihat lemah—bahkan di hadapan dirinya sendiri.
Ingin rasanya membalas komentar itu, tetapi ia menahan diri.
“Percuma. Buang energi saja,” gumamnya.
Namun ia tidak keluar dari grup. Matanya mengeras.
“Aku tetap di sini. Aku mau tahu apa permainan kalian. Kalian pikir aku akan depresi? Masa depresi sudah selesai. Sekarang… aku sudah gila dan sebentar lagi kalian akan melihat kegilaanku dalam membalas kalian.”
Miranda bangkit.
“Hey, kalian,” panggilnya ke arah para ART.
Lina kaget. “Ada apa, nyonya?”
“Nyalakan TV besar itu. Cari drama Korea,” ucap Miranda mantap.
“Baik, nyonya,” jawab Lina sambil menyalakan TV. Layar langsung menampilkan adegan drama Korea terbaru.
“Matikan lampu. Dan kalian tidur di sini. Temani aku,” kata Miranda.
Lina melotot. “Tidak bisa, nyonya. Ini tidak sopan.”
Miranda mendengus kesal. “Ih, sebel… tidak ada yang ngerti aku. Besok kalau rencana tuan Rian gagal gara-gara mood aku hancur, kalian yang tanggung jawab.”
Nada suaranya sedikit naik. ART itu saling pandang—pasrah.
Akhirnya, Lina dan tiga ART lain naik ke kasur besar itu.
“Tiduran,” perintah Miranda tegas.
“T-ti tiduran?” tanya Lina bingung.
Mereka pun berbaring pelan-pelan, sementara Miranda menatap TV sambil memeluk bantal—campuran sakit hati, lelah, dan perlahan tekad untuk membalas mulai tumbuh.. sementara para maid tidur dengan perasaan gugup dan takut..tidur bersama majikan itu tidak sopan tapi menentang perintah majikan lebih tidak sopan..
..
..
Pagi datang begitu cepat. Handoko terbangun dengan kepala berat karena ponselnya berbunyi tiada henti sejak semalam. Ia membuka aplikasi WhatsApp dan melihat puluhan notifikasi dari grup keluarga besar Aditama.
Dada Handoko terasa bergetar.
"Kurang ajar Salma. Ikut campur saja urusan orang," geramnya pelan.
Ia bangkit dari tempat tidur, mengambil kemeja dan celana dengan gerakan kasar. Amarahnya semakin membuncah setelah melihat unggahan di Instagram Salma yang ikut mempermalukan Miranda.
Tanpa menunggu lebih lama, Handoko keluar dari kamar. Saat melewati ruang makan, Miranti, Lena, Lusi, Amar, dan Amir sedang sarapan.
"Mas mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya Miranti heran.
"Bu-nuh orang," jawab Handoko singkat dan penuh amarah.
Semua langsung terdiam, menatap punggung Handoko yang melangkah cepat.
"Ada apa sih dengan Ayah?" tanya Lusi pelan.
"Mungkin mau ke tempat Kak Miranda," jawab Lena.
"Kenapa?"
"Ya gara-gara foto dan video di grup itu," ucap Amar.
Lusi mendengus kesal.
"Dasar si Miranda. Sudah keluar rumah pun masih saja bikin ulah."
..
..
Handoko melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah Heri, adiknya, yang juga ayah Salma. Tidak butuh waktu lama, ia tiba dan langsung keluar dari mobil.
“Salam… keluar kamu!” teriak Handoko dari depan pintu.
“Ada apa sih, Bang? Teriak-teriak begitu,” ucap Heri yang langsung kesal karena mengira anaknya dibentak.
“Anakmu itu gila ya? Kamu tahu kan perusahaan kita lagi kolaps. Kita dibantu Pak Reza. Terus kenapa dia malah buka aib keluargaku di media sosial? Hah? Bagaimana kalau Pak Reza marah dan sabotase perusahaan kita?” suara Handoko meninggi.
Heri ikut terpancing. “Salma!” teriaknya. Ia juga takut kehilangan pemasukan jika Reza benar-benar murka.
Salma keluar dari kamar dengan wajah pucat, diikuti Rianti, ibunya.
“Salma, hapus semua video dan unggahan tentang Miranda sekarang juga,” ujar Handoko tajam.
Tangan Salma gemetar. Ia menghapus semua unggahan itu satu per satu tanpa berani membantah.
“Kalau saja kamu bukan keponakanku, sudah kubunuh kamu,” kata Handoko. “Heri, didik anak kamu itu yang benar. Dia hampir membuat kita bangkrut. Dan aku tidak mau dia mengusik Miranda lagi.”
“Om jangan cuma salahkan aku. Salahkan juga Lena,” isak Salma, tidak terima terus disalahkan.
“Apa maksud kamu?” tanya Handoko.
“Om, aku disuruh Lena. Aku dapat videonya juga dari dia. Kalau om tidak percaya, ini chat aku dengan Lena.” Salma menyerahkan ponselnya. “Dan ini bukti transfer. Lena kirim dua puluh juta supaya aku menjelekkan Miranda.”
Tangan Handoko bergetar melihat semua bukti itu.
“Dengar sendiri kan, Mas? Dalangnya itu anak pungut itu,” ucap Rianti kesal. “Lagi pula kenapa sih kamu bela Lena terus? Bahkan lebih perhatian ke anak pungut daripada anak kandung. Padahal Lena itu lebih layak kamu korbankan untuk bayar hutang daripada Miranda.”
Handoko tidak menjawab sepatah kata pun. Ia membalikkan badan dan langsung pergi dari rumah Heri tanpa menoleh.
Kakak ga punya akhlak
mma Karin be smart dong selangkah di depan dari anak CEO 1/2ons yg masih cinta masalalu nya