NovelToon NovelToon
Naik Status: From Single To Double: Menikah

Naik Status: From Single To Double: Menikah

Status: tamat
Genre:Tamat / Nikah Kontrak / Mengubah Takdir / Fantasi Wanita / suami ideal
Popularitas:6.4k
Nilai: 5
Nama Author: Ai

Embun, seorang wanita berumur di akhir 30 tahun yang merasa bosan dengan rutinitasnya setiap hari, mendapat sebuah tawaran 'menikah kontrak' dari seorang pria di aplikasi jodoh online. Akankah Embun menerima tawaran itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 32

Aku tertidur dan terbangun saat gelap. Ruangan begitu gelap, tapi aku bisa melihat cahaya samar dari jendela. Cahaya itu tidak cukup. Jantungku mulai berdetak tidak karuan. Bayangan-bayangan buruk mulai memenuhi pikiranku. Aku duduk, berusaha berdiri karena tidak menemukan kursi rodaku. Aku melangkah ke arah pintu.

Tertatih-tatih aku melangkah menuju pintu. Aku tidak bertenaga, sulit bagiku  hanya untuk menggerakkan kakiku, apalagi untuk membuatnya melangkah lebih dari sepuluh langkah ke pintu.

Aku terus melangkah, keringat dingin mulai membasahi dahiku. Aku mengerahkan seluruh tenagaku, tapi ketakutan langsung menyergapku sehingga aku tidak bisa fokus. Gambaran ruang gelap dengan kursi dan meja di depanku tampak jelas di depan mataku. Aku berhenti, memperhatikan sekeliling kamar. Berbeda, tidak ada kursi dan meja di seberang pintu di ruangan ini. Tapi, apa itu? Adasesuatu di pojok. Gelap, tinggi. Apa itu? Siapa itu?

Jantungku mulai berdetak cepat. Kakiku kupaksa untuk mempercepat langkahnya, sebelum dia mendekat. Cepat... cepat....

Bruk. Aku jatuh di depan meja di depan ranjang. Masih ada beberapa langkah lagi menuju pintu. Aku melihat pojok, semakin dekat. Tidak....

Aku merangkak, mencoba mencapai pintu. Semakin dekat, dekat....

Aku semakin dekat ke pintu ketika sepasang kaki berdiri di depanku. Tidaaaaak!!!

Cahaya terang membanjiri kamar. Dengan gugup aku mengangkat wajahku.

Si tampan. Dia berdiri di depan pintu yang terbuka. Aku ingin berteriak, aku ingin menangis saking takut dan panik. Tapi, aku tahu itu tidak perlu lagi. Aku selamat.

“A...daa... o-rang.” Suaraku gemetar. Aku berusaha mengangkat tanganku menunjuk ke pojok, tapi tidak bergerak. Hanya kepalaku yang mendongak ke pojok.

Tidak ada siapapun. Hanya bayangan rak di sampingnya.

Tubuhku gemetar, berusaha menahan tangis dan ketakutanku. Aku tidak ingin dia melihatnya.

Dia mengangkatku berdiri dan mendudukkanku ke ranjang.

“Sebentar lagi makan malam.” ucapnya kemudian meninggalkanku sendirian.

Tidak bisa lagi aku menahan air mataku. Ini pertama kalinya aku menangis semenjak insiden itu. Aku menangis sejadi-jadinya, ingin melupakan semua yang telah terjadi. Di mana pria itu sekarang?

Entah berapa lama aku menangis, sekarang tidak ada lagi air mata yang keluar, meskipun aku masih ingin mengeluarkannya dari mataku. Mulutku pun terasa kering. Aku haus, ingin minum, tapi tidak bergerak, aku diam sesenggukan. Kepalaku tertunduk, mataku menatap tanganku dan kakiku. Aku masih mengenakan baju rumah sakit.Seketika bau obat menguar dari baju ke hidungku.

‘Cukup menangis, kamu aman di sini.’ Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri. Aku menyapukan pandanganku ke sekeliling kamar, tidak ada siapapun, di jendela pun hanya tampak halaman luar yang kosong di antara cahaya remang-remang. Aman, Embun.

Aku duduk di kursi roda, lalu menuju meja, di mana tasku diletakkan si tampan, dan membukanya. Baju, peralatan mandi, kosmetik ada di dalamnya. Aku mengeluarkan sepasang baju rumah berlengan panjang dan celana panjang, lalu berganti pakaian dengan pikiran menerawang kosong. Aku menatap diriku di cermin setelahnya. Itu aku?

Badanku begitu kecil, kurus. Rambutku lepek, sangat berminyak. Aku tampak seperti seorang nenek pesakitan. Tidak enak dipandang.

Aku membersihkan wajahku dan memakai pelembab. Ada luka lebam di dahi kananku, aku tidak menyadarinya sebelumnya. Aku menyisir rambutku dan tersangkut di bagian belakang. Darah, darah yang mengering kini tersangkut di sisir. Apa yang sebenarnya telah terjadi padaku? Aku telah berusaha mengingat runtutan kejadian itu, tapi ada bagian-bagian yang hilang,yang tidak tersambung. Terlebih, sangat mengerikan untuk mengingat itu semua.

Aku keluar dengan tampang lebih baik dari sebelumnya. Setidaknya itulah yang kupikir.

Di ruang tamu tidak ada siapapun. Aku berpindah ke ruangan lainnya. Tidak ada siapapun di manapun, setidaknya di tiga ruang yang aku masuki. Satunya seperti ruang santai, satunya ruang yang hampir kosong, hanya berisi sebuah piano dan kursi di belakangnya. Apakah si tampan bisa memainkan piano? Kalau tidak, untuk apa ada piano di sini?

Di ruang berikutnya, aku menemukan sebuah ruang makan yang beraroma harum makanan. Ada sebuah pintu yang menghubungkan ke dapur, dari sanalah aroma harumnya berasal. Aku menuju pintu itu perlahan dan mendapati dua kompor menyala dengan panci dan penggorengan di atasnya. Harum sekali, apa yang sedang dimasaknya?

“Duduklah.”

Suara di belakangku membuatku terperanjat. Aku menoleh dan melihatnya dengan celemek hitam di perutnya. Keren sekali. Dia sedang memasak makan malam, untukku? Untuk kami? Lebih keren lagi. Tapi, kenapa dia menyuruhku duduk? Bukankah aku sedang duduk sekarang, di kursi roda?

“Duduklah di depan meja.”

Haruskah aku duduk di kursi yang ada di depan meja atau tetap duduk di kursi roda menghadap meja? Di bagian meja makan yang berada di samping kepala meja telah ditata alat makan dan di balik meja ada sebuah kursi. Aku berpindah ke kursi dan membiarkan kursi roda di samping kiriku.

Semenit setelah aku duduk, dia datang membawakanku sepiring penuh daging dan sayuran beraroma kuat yang menggugah selera yang tadi aku cium. Lalu, dia meletakkan segelas air putih di sebelah kiri depan piring. Masakan si tampan.

“Makanlah.” katanya dan duduk di kursi sebelah kanan meja, di kepala meja. Tidak ada alat makan di meja di depannya. Aku makan sendirian? Canggung sekali.

“Tidak makan?” tanyaku kepadanya.

Hening. Tidak ada jawaban. Tangannya dipangku di dadanya, duduk bersender di kursi dan menatapku. Kenapa dia memandangi aku makan? Ini bukan acara mukbang.

Perutku bereaksi terhadap aroma lezat makanan di depan hidungku. Dengan tangan agak gemetar, bukan karena rasa takut, melainkan karena rasanya tidak ada tenaga dalam tubuhku, aku mengangkat garpu yang diletakkan di samping kanan piring, lalu menusuk salah satu wortel yang dipotong dadu. Suapan pertama yang lezat. Sausnya benar-benar enak, pas rasa asinnya. Aku suka.

Uhuk… uhuk…. Aku tersedak. Wortel itu tersangkut di kerongkonganku. Aku meraih gelas air dengan tangan kiriku yang juga gemetaran dan meminumnya. Seteguk, dua teguk.Aku menghabiskan seluruh isinya. Aku memang haus sedari tadi, pantas saja wortel itu tidak berjalan mulus masuk ke ususku.

Setelah minum, aku merasakan perutku hampir penuh, tapi makanan di depanku benar-benar menggugah selera. Kali ini garpuku mengarah ke buncis dan jagung, tapi berhenti di tengah jalan. Kepalaku berpaling dari makanan di depanku ke pria di kananku yang merupakansumber tatapan yang rasanya menusuk.

“Tidak bisakah aku makan tanpa dipandangi?”suaraku terdengar sangat pelan.

Tidak ada respon. Mungkin dia tidak mendengarnya? Tapi, aku menunggu sambil terus menatapnya,berharap dia akan mengalihkan pandangannya atau bahkan beranjak dan meninggalkanku sendirian. Tapi, tidak terjadi. Aku menjadi kikuk. Pandanganku kembali ke makanan di depanku dan bingung harus menusuk jenis sayuran yang mana kali ini. Aku terus menimbang-nimbang apa yang akan aku makan. Mungkinkah dia berharap aku berkomentar tentang masakannya?

“Makanannya lezat.” Suaraku seperti tercekat di tenggorokan. Aku berdeham mencoba membersihkan suaraku dan membuat suara ribut di keheningan malam. suasana terasa semakin canggung.

Tidak ada respon apapun setelah pujian itu. Aku kembali ke makananku, tapi masih ragu untuk memakan yang mana sekarang. Aku ingin mencicipi dagingnya, tapi sekarang takut kalau-kalau aku membuat kesalahan dengan mementalkan dagingnya ke luar piring. Sampai hari ini, aku masih kurang terbiasa menggunakan pisau untuk makan. Jika aku makan sendirian di rumah, aku pasti memotong dagingnya menjadi bagian-bagian yang kecil sebelum dimasak.

Ujung mataku melirik si tampan, mencari tahu apakah dia masih memandangiku atau tidak. Sepertinya masih.

Aku menusuk sebuah jagung dan memasukkannya ke dalam mulut, lalu sepotong wortel dan meliriknya. Dia masih memandangiku. Kenapa sih dia? Apakah dia diminta untuk mengawasiku? Kapanpun?

Perasaan risih semakin memenuhiku. Aku meraih gelas dan minum seteguk kecil dari sisa air di gelas. Aku meliriknya lagi dan menyadari kalau dia berdiri. Perasaan lega memenuhiku. Aku menghela napas. Terlalu kencang sepertinya, kuharap dia tidak mendengarnya.

Buru-buru aku mengiris dagingku dan tepat setelah potongan terakhir, dia kembali, bahkan datang ke sisi kiriku. Lapaaar... ingin menangis rasanya. Kenapa dia harus kembali sekarang? Kenapa tidak setelah aku menghabiskan makananku?

Gelasku diisi penuh dengan air dari ketel di tangannya. Ternyata dia hanya keluar untuk mengambilkanku air minum.

Dia berjalan kembali ke tempat duduknya semula dan duduk dengan posisi yang sama dan memandangiku. Aku ingin menyuap tapi memikirkannya yang memandangiku. Tapi, aku lapar. Peduli amat dengannya, yang penting aku bisa makan sekarang. Ini pertama kalinya aku bisa makan daging, setelah.... kejadian itu.

Aku menusukkan garpu ke daging yang berwarna cokelat tua dan memasukkannya ke dalam mulutku. Wow...dagingnya benar-benar meleleh di mulut dan saosnya benar-benar berpadu pas sekali dengan dagingnya.

“Wow.” Spontan kata itu keluar dari mulutku. Aku menoleh memandangnya dan tidak ada ekspresi apapun dari wajahnya.

Aku mengosongkan piring dalam hitungan menit sejak suapan daging pertamaku. Rasanya seperti ini adalah makanan terlezat di dunia yang pernah aku cicipi. Aku mengakhiri makan malamku dengan segelas penuh air yang dituangkan tadi.

Dengan puas aku memandangnya dan tersenyum. Itu juga reaksi yang spontan, karena makanan yang lezat. Aku tersadar ketika melihat wajahnya, dia bukan temanku. Ekspresi wajahku langsung berubah terasa panas. Buru-buru aku memalingkan wajah.

“Terima kasih untuk makanannya.” suaraku sangat pelan, terdengar olehnya?

Berpegangan di meja, aku berdiri. Kakiku terasa lebih kokoh berdiri sekarang. Secepat itukah efek dari makanan yang baru saja aku santap?

“Ceritakan.” suara itu menyelaku yang ingin berpindah ke kursi roda. Aku berdiri memandangnya, diam.

Beberapa saat lewat, lalu aku berkata dengan ekspresi datar, “Aku tidak ingat.”

Hening. Waktu seolah berhenti di antara kami.

“Kamu ingat.” serunya tegas.

Aku diam, mengalihkan pandangan ke kursi roda dan duduk. Aku hendak meninggalkan ruang makan ketika dia kembali berseru.

“Tak akan berakhir kalau kamu tidak bicara.”

Kata-katanya menghentikanku menjalankan kursi roda. Setelah berpikir sejenak, aku beranjak meninggalkannya. Sebenarnya aku akan membereskan piring dan gelas makanku, tapi setelah dia berkata demikian, aku mengurungkan niatku dan memutuskan untuk kembali ke kamar.

Kata-katanya terus terngiang di telingaku. Apa maksudnya dengan ‘berakhir’? Insiden itu tidak akan berakhir? Apakah pelakunya belum tertangkap? Akankah pelakunya mencari aku lagi? Bagaimana aku bisa berada di rumah sakit? Adakah yang menyelamatkanku dari pria itu? Atau aku dibiarkan di tempat itu dan ditemukan orang? Apa motifnya melakukan itu? Berbagai pertanyaan yang sempat aku lupakan setelah keluar dari rumah sakit kembali memberondongku. Aku ingin tahu ceritanya. Seperti pria ini juga.

Pria ini. Siapa dia sebenarnya? Kenapa aku seperti seolah mengenalnya? Rasanya aku belum pernah bertemu dengannya sebelumnya.

1
Alletaa
mampir lagi Thor
Ai: Makasih
total 1 replies
xoxo_lloovvee
satu mawar untukmu thor, jangan lupa mampir ya 😉
Ai: Makasih, ya
total 1 replies
xoxo_lloovvee
Apa ini akuu? 😭😭
Ai: Semangat /Smile/
total 1 replies
Bilqies
aku mampir lagi Thor /Smile/
mampir juga ya di karyaku
Ai: Makasih /Smile/
total 1 replies
dianasaur🦖
semangat thor,nanti mampir lagi
Ai: Makasih /Smile/
Semangat juga
total 1 replies
Zeils
Bagus, pemilihan kata dan alurnya cukup baik dan mudah dipahami.
Hanya saja, perbedaan jumlah kata di bab satu dan dua membuatku sedikit tidak nyaman saat membacanya. Perbedaannya terlalu signifikan.
Ai: Makasih udah berkunjung.
Novel pertamaku mmg banyak kekurangannya, makasih udah diingatkan lagi.
Bisa mampir di novel keduaku, bisa dibilang lbh stabil dr yg ini. Mohon sarannya jg 🙏🏻
total 1 replies
Arvilia_Agustin
Aku kasih bunga ni thor
Arvilia_Agustin: sama-sama
Ai: Makasih /Heart/
total 2 replies
Alletaa
done ya, sudah mampir nih
Bilqies
hai Thor aku mampir niih
dianasaur🦖
mampir thor nyicil wkwkkw,semangat updatenya walau aku bacanya nyicil😄
Bilqies
aku mampir lagi Thor /Smile/
Bilqies
aku mampir Thor /Smile/
Bilqies
aku mampir lagi Thor
mampir juga ya di karyaku
terima kasih 🙏
Angel Beats
sudah mampir yah kak
Aris slow
wah dah lama gk liat soalnya kehalang pondok
Bilqies
aku mampir lagi Thor..
Shinta Ohi (ig: @shinta ohi)
Jadi was2, antara mau masuk kehidupan bahagia, atau tertipu dan sengsara
Ai
Buat Kak @Lala_Syalala, komentarny ga nemu lg disini, tapi makasih sarannya ya, nanti akan direvisi /Smile/
Syiffitria
semangat ka /Smile/
Ai: Pasti, makasih. Semangat juga, ya
total 1 replies
Bilqies
aku mampir lagi nih kak
Ai: makasih. sudah mampir juga di situ /Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!