Setelah kepergian istrinya, Hanan Ramahendra menjadi pribadi yang tertutup dan dingin. Hidupnya hanya tentang dirinya dan putrinya. Hingga suatu ketika terusik dengan keberadaan seorang Naima Nahla, pribadi yang begitu sederhana, mampu menggetarkan hatinya hingga kembali terucap kata cinta.
"Berapa uang yang harus aku bayar untuk mengganti waktumu?" Hanan Ramahendra.
"Maaf, ini bukan soal uang, tapi bentuk tanggung jawab, saya tidak bisa." Naima Nahla
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Icha menuntun ibunya yang ternyata menuju kamarnya. Perempuan yang belum genap dua puluh empat tahun itu mengekor hingga tepat di depan lemari yang bersebelahan dengan pakaian Hanan dan hampir tidak pernah dibuka sebelumnya.
Deg
Hati Nahla mulai tidak nyaman saat putrinya menunjuk lemari yang bahkan sejak kedatangannya tidak pernah dijelaskan fungsinya. Hanya saja seperti terus dijaga suaminya. Ternyata di dalamnya menyimpan banyak kenangan yang mungkin tidak akan pernah terlupa.
"Di sini?" tanya Nahla lembut. Icha mengangguk yakin.
"Mama boleh lihat?" tanya perempuan itu lembut.
"Jangan, kata papa jangan dibuka, nanti bikin papa sedih," jawab Icha penurut sekali.
Nahla pun mengangguk ngerti, paham tidak akan membukanya di depan Icha. Mungkin kapan hari di waktu yang tepat, karena dirinya sungguh penasaran dengan almarhum perempuan beruntung itu. Hingga dicintai suaminya begitu dalam.
Seharusnya Nahla tidak boleh marah, apalagi cemburu. Mereka pernah disatukan dalam ikatan yang sah, dan dipisahkan karena maut. Pasti akan sangat sangat sulit kenangan itu terhapus. Namun, ia menyayangkan akan sikapnya yang tidak bisa membawa diri, padahal sekarang jelas ada dirinya yang nyata.
Setelah Icha keluar dari kamarnya, ibu dan anak itu kembali melakukan aktivitas sore seperti biasa. Nahla tidak mau kepikiran, tetapi tetap saja tidak bisa. Terlalu membuat hatinya penasaran.
Sore hari seperti biasa, setelah menemani Icha, Nahla menyiapkan makan malam untuk keluarga. Namun, hingga lewat jam delapan Hanan belum juga pulang. Sebagai seorang istri Nahla mengkhawatirkannya. Hanya saja ia bingung untuk menanyakan kabar suaminya. Nahla berharap suaminya mengabari jika pulang terlambat.
"Icha makan malam dulu ya, terus mama temani di kamar. Sepertinya papa hari ini lembur," ujar Nahla mendahului. Tetapi tidak untuk dirinya, barang kali suaminya itu di luar belum makan, jadi dirinya akan menunggu saja.
"Iya Ma," jawab Icha patuh. Nahla juga menemani gadis kecilnya makan.
"Mama nggak makan? Ini kan sudah malam?" tanya Icha keheranan.
"Icha duluan nggak pa-pa, mama nunggu papa pulang," jawab Nahla lembut.
Usai menghabiskan isi piringnya, Nahla mengantar putrinya ke kamar. Baru setelah gadis kecil itu lelap Nahla keluar.
Jarum jam pendek sudah menunjuk di angka sembilan malam. Namun, suaminya juga belum pulang. Hanan tidak mengabari dan jelas itu membuat Nahla tak tenang menunggunya.
Makanan di meja makan juga sudah berubah menjadi dingin, rasa lapar yang mendera menguap berganti rasa cemas. Akhirnya diputuskan untuk menghubunginya saja. Perempuan itu baru saja hendak mendial nomor ponsel suaminya ketika suara deru mobil terdengar memasuki halaman rumah.
Hanan pulang, tiba di rumah tepat setengah sepuluh.
"Baru pulang Mas?" sambut Nahla langsung menghampiri suaminya di depan pintu dengan senyuman.
"Iya, maaf aku lembur. Kamu kenapa belum tidur?" tanya Hanan telihat lelah.
"Aku nungguin kamu Mas, karena kamu nggak ngabarin."
"Tadi nggak sempat, maaf ya lain kali akan aku kabari bila pulang telat."
"Iya Mas nggak pa-pa, yang penting kamu sudah pulang dengan selamat."
"Mas sudah makan? Biar aku panasin lagi ya karena sudah dingin."
"Tidak usah Dek, aku sudah makan tadi di luar. Sekalian tadi ketemu klien jadi dijamu makan malam. Tolong siapkan ganti saja aku mau mandi," pinta Hanan yang langsung diangguki Nahla walau hatinya jujur agak kecewa.
Kenapa tidak memberitahu, padahal dirinya sampai belum makan hanya karena rela menunggunya. Kenapa tidak mengabari walau sibuk, seharusnya Nahla tidak harus capek-capek masak kalau pada akhirnya mubadzir. Mendadak sedikit kesal.
"Astaghfirullah ... ini bukan salahnya, seharusnya aku bertanya lebih dulu menghubunginya kalau Mas Hanan terlalu sibuk," batin Nahla berpikir dengan pandangan berbeda. Berusaha menampik pikiran negatif yang mulai bersarang di otaknya meminta penjelasan.
Nahla tidak ingin mengambil hati, dan memilih menyiapkan ganti untuk suaminya. Setelahnya membuatkan kopi panas kesukaannya. Mungkin memang dia saking sibuknya hati ini jadi tidak sempat mengabari.
"Itu gantinya Mas, sama kopinya di meja," seru perempuan itu begitu suaminya keluar dari kamar mandi.
"Terima kasih, tadi Icha tidur jam berapa? Apa masih ngeluh sakit?" tanya Hanan sembari memakai pakaiannya.
"Setelah makan malam Mas, tidak alhamdulillah," jawab Nahla jujur. Sibuk dengan buku di tangannya.
Pria itu memakai pakaiannya, lalu beranjak menyambar kopi yang jelas masih mengepulkan asap.
"Capek banget hari ini," keluh Hanan sembari duduk di kursi kerja.
"Kalau capek langsung istirahat saja Mas, ini juga sudah malam."
"Iya," sahut Hanan datar.
Terlihat pria itu kembali menyeruput kopinya, sementara Nahla sendiri menempati ranjang lebih dulu. Tanpa sadar, perempuan itu tidur dalam keadaan lapar. Namun, ia kadung malas beranjak makan sendirian.
Perempuan itu terlelap begitu saja. Pagi-pagi sekali Nahla terbangun, perutnya terasa begitu lapar. Bergegas ia ke dapur, salahnya sendiri yang semalam mengabaikan perutnya yang lapar. Dulu, ibuk yang selalu mengingatkan dirinya apabila terlambat makan.
"Duh ... kangen ibuk, besok mampir ah," batin Nahla sembari membuat teh hangat. Beberapa potong biskuit yang ada lumayan mengganjal perutnya. Setelah mendapatkan cukup energi, perempuan itu baru beraktivitas seperti biasa.
Saat kembali ke kamar, Hanan sudah bangun tengah mengerjakan fardhu pagi ini.
"Icha sudah bangun?" tanya pria itu usai salam.
"Belum sempat aku bangunin Mas, aku mau mandi dulu," jawab Nahla berlalu.
Perempuan itu menuju kamar mandi, sementara Hanan menuju kamar Icha. Pria itu membangunkan putrinya.
"Ayo bangun sayang, sudah pagi, sekolah kan?"
"Papa, semalam pulang jam berapa? Kasihan mama nungguin papa sampai nggak makan," lapor Icha turun dari ranjang.
"Owh ya ... papa pulang malam saat Icha sudah tidur. Ayo sekarang mandi, biar gantinya papa yang siapin."
Icha beranjak ke kamar mandi, sejenak Hanan merasa bersalah dengan istrinya. Ia memang semalam makan di luar, tidak tahu juga kalau istrinya ternyata menunggu dirinya makan malam.
Saat Hanan tengah menyiapkan ganti, Nahla masuk ke kamar Icha.
"Eh, Icha sudah bangun Mas?" tanya perempuan itu lalu hendak beranjak. Sedikit menghindari interaksi yang tidak begitu penting, bukan apa-apa hatinya hanya sedang sedikit malas, entahlah.
"Semalam kamu nungguin aku sampai nggak makan? Lain kali jangan begitu, makan saja dulu bila aku belum pulang," kata Hanan datar, pun tidak ada kata penyesalan dan meminta maaf, atau ini bentuk kepedulian mengenai klarifikasinya. Setidaknya mengabari lebih tepat.
"Iya Mas," jawab Nahla dingin. Berlalu begitu saja dari kamar Icha. Sesungguhnya ia tidak ingin bersikap demikian, tetapi melihat perangai suaminya yang bertambah dingin saja, membuat Nahla seakan tidak dipedulikan.
"Ya Allah ... kenapa aku baperan banget sih," batin Nahla mulai bergejolak emosi ditambah rasa penasaran tentang lemari keramat yang belum ada waktu membukanya.