Alana tidak pernah menyangka bahwa satu malam di kamar nomor delapan ratus delapan akan menukar seluruh masa depannya dengan penderitaan. Di bawah pengaruh obat yang dicekoki saudara tirinya, dia terjebak dalam pelukan Kenzo Alfarezel, sang penguasa bisnis yang dikenal dingin dan tidak punya hati.
Sebulan kemudian, dua garis merah pada alat tes kehamilan memaksa Alana melarikan diri, namun kekuasaan Kenzo melampaui batas cakrawala. Dia tertangkap di gerbang bandara dan dipaksa menandatangani kontrak pernikahan yang terasa seperti vonis penjara di dalam mansion mewah.
Kenzo hanya menginginkan sang bayi, bukan Alana, tetapi mengapa tatapan pria itu mulai berubah protektif saat musuh mulai berdatangan? Di tengah badai fitnah dan rahasia identitas yang mulai terkuak, Alana harus memilih antara bertahan demi sang buah hati atau pergi meninggalkan pria yang mulai menguasai hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31: Air Mata Alana Di Tengah Malam
Tepat sebelum Alana benar-benar pingsan, dia melihat bayangan seseorang yang sangat mirip dengan dirinya sedang berdiri di ujung lorong rumah sakit dengan tatapan yang sangat sedih dan penuh dengan air mata di tengah malam yang sangat sunyi. Bayangan itu seolah memudar seiring dengan pandangan Alana yang semakin gelap dan kesadarannya yang mulai menghilang sepenuhnya.
Lampu operasi yang berwarna putih terang menjadi pemandangan pertama yang menyambutnya saat dia sedikit membuka kelopak matanya yang terasa sangat berat. Suara denting alat medis yang saling bersentuhan menciptakan irama yang sangat mencekam di dalam ruangan yang sangat dingin tersebut.
"Pertahankan kesadaran Anda, Nyonya, kami sedang berusaha menghentikan pendarahan ini demi keselamatan bayi Anda," ucap seorang dokter dengan nada yang sangat mendesak.
Alana mencoba untuk bersuara namun tenggorokannya terasa sangat kering seolah ada duri yang menyumbat setiap jalur pernapasan di dalam dirinya. Dia hanya bisa merasakan remasan tangan seseorang yang sangat kuat pada jemarinya yang dingin dan sudah tidak bertenaga lagi.
Kenzo berdiri di samping ranjang dengan wajah yang sangat hancur dan pakaian yang sudah dipenuhi oleh noda darah merah yang mulai mengering. Matanya yang biasanya sangat dingin kini memerah dan dipenuhi oleh genangan air mata yang seolah siap tumpah kapan saja.
"Jangan tinggalkan aku sekarang, Alana, aku berjanji akan menghancurkan siapa pun yang telah menyakitimu seperti ini," bisik Kenzo dengan suara yang sangat parau.
Alana hanya mampu meneteskan air mata di tengah malam yang sangat menyakitkan ini saat merasakan ketulusan yang sangat langka dari pria yang selama ini dia anggap sebagai iblis kejam. Dia ingin percaya pada janji tersebut namun bayangan Clarissa dan botol merah itu terus menghantui setiap jengkal pikirannya yang sedang kacau.
Operasi darurat itu berlangsung berjam-jam hingga fajar mulai menyingsing di ufuk timur dan menyinari koridor rumah sakit yang sangat sunyi. Kenzo masih setia menunggu di depan ruang perawatan dengan kepala yang tertunduk dalam dan tangan yang saling bertautan sangat erat.
"Bagaimana keadaan istri saya dan anak yang ada di dalam kandungannya, Dokter?" tanya Kenzo saat pintu ruangan akhirnya terbuka lebar.
Dokter tersebut menghela napas panjang sambil melepaskan masker bedah yang menutupi wajahnya yang tampak sangat lelah setelah berjuang melewati malam yang panjang. Dia menatap Kenzo dengan pandangan yang sangat serius seolah sedang mempersiapkan pria itu untuk mendengar sebuah berita yang sangat berat.
"Kondisi Nyonya Alana sudah mulai stabil namun janin tersebut masih dalam masa kritis akibat pengaruh racun yang sangat kuat dan sangat mematikan," jelas sang dokter dengan nada rendah.
Kenzo memukul dinding rumah sakit dengan tinjunya hingga buku jarinya terluka dan mengeluarkan darah sebagai bentuk pelampiasan atas rasa gagalnya melindungi keluarganya sendiri. Dia merasa sangat hina karena telah membiarkan Clarissa masuk kembali ke dalam kehidupannya dan merusak segalanya dalam waktu yang sangat singkat.
Dia melangkah masuk ke dalam kamar rawat dan menemukan Alana sedang menatap ke arah jendela dengan pandangan yang sangat kosong dan sangat hampa. Air mata terus mengalir membasahi bantal putih yang dia gunakan seolah rasa sedih itu tidak akan pernah bisa mengering dari dalam hatinya.
"Makanlah sedikit agar tenagamu kembali pulih karena aku tidak ingin melihatmu terlihat seperti mayat hidup seperti ini," ucap Kenzo sambil meletakkan semangkuk bubur hangat.
Alana tidak merespons ucapan suaminya melainkan justru memalingkan wajahnya ke arah lain seolah kehadiran Kenzo hanyalah sebuah pengingat akan rasa sakit yang dia alami. Dia merasa bahwa air mata di tengah malam tadi adalah puncak dari segala penderitaannya sebagai seorang wanita pengganti yang tidak pernah dianggap berharga.
"Apakah kau puas melihatku hancur seperti ini, atau kau masih ingin menunggu sampai aku benar-benar mati bersama anak ini?" tanya Alana dengan suara yang sangat datar.
Kenzo tertegun mendengar pertanyaan yang sangat tajam tersebut hingga dia tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun untuk membela dirinya yang memang bersalah. Dia menyadari bahwa kepercayaan yang mulai tumbuh di antara mereka telah hancur berkeping-keping akibat egonya yang terlalu besar dan sangat membutakan mata hatinya.
Tiba-tiba pintu kamar rawat terbuka secara paksa oleh seorang suster yang tampak sangat panik sambil membawa sebuah amplop cokelat yang sangat rahasia. Suster itu mengatakan bahwa ada seseorang yang meninggalkan pesan ini secara khusus untuk Alana tepat di depan meja resepsionis rumah sakit.
Alana membuka amplop itu dengan tangan yang gemetar dan menemukan sebuah foto lama yang memperlihatkan ibunya sedang menggendong dua orang bayi kembar di sebuah taman bunga yang sangat indah. Di balik foto itu tertulis sebuah alamat panti asuhan yang sudah lama ditutup dan sebuah nama yang sangat asing bagi telinga Alana.
Kegembiraan kecil karena menemukan jejak masa lalunya seketika sirna saat Alana melihat bayangan seorang pria misterius yang sedang mengintip dari balik celah pintu kamar rawatnya. Pria itu memakai topi hitam yang sangat rendah dan memberikan sebuah isyarat yang sangat menakutkan sebelum dia menghilang di kegelapan lorong rumah sakit.
Alana merasa jantungnya kembali berdegup kencang karena dia menyadari bahwa musuhnya bukan hanya Clarissa melainkan ada kekuatan besar yang sedang mengincar rahasia kelahirannya. Dia menatap Kenzo dengan penuh keraguan karena dia tidak tahu apakah suaminya tersebut adalah bagian dari pelindung atau justru bagian dari rencana besar yang akan menghancurkannya.
Kenzo menemukan Alana pingsan kembali di atas ranjang rumah sakit tepat setelah dia mencoba bangkit untuk mengejar pria misterius yang baru saja menghilang tersebut secara tiba-tiba.