NovelToon NovelToon
TERPAKSA MENIKAHI CEO BEJAD

TERPAKSA MENIKAHI CEO BEJAD

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Cerai / CEO / Percintaan Konglomerat / Konflik etika / Balas Dendam
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Alviona Mahira berusia 15 tahun baru lulus SMP ketika dipaksa menikah dengan Daryon Arvando Prasetya (27 tahun), CEO Mandira Global yang terkenal tampan, kaya, dan memiliki reputasi sebagai playboy. Pernikahan ini hanya transaksi bisnis untuk menyelamatkan keluarga Alviona dari kebangkrutan.

Kehidupan rumah tangga Alviona adalah neraka. Siang hari, Daryon mengabaikannya dan berselingkuh terang-terangan dengan Kireina Larasati—kekasih yang seharusnya ia nikahi. Tapi malam hari, Daryon berubah menjadi monster yang menjadikan Alviona pelampiasan nafsu tanpa cinta. Tubuh Alviona diinginkan, tapi hatinya diinjak-injak.
Daryon adalah pria hyper-seksual yang tidak pernah puas. Bahkan setelah bercinta kasar dengan Alviona di malam hari, pagi harinya dia bisa langsung berselingkuh dengan Kireina. Alviona hanya boneka hidup—dibutuhkan saat Daryon terangsang, dibuang saat dia sudah selesai.

Kehamilan, keguguran karena kekerasan Kireina, pengkhianatan bertubi-tubi

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 31: KEMBALI KE MANSION TANPA BAYI

**[HOOK PEMBUKA - PERJALANAN PULANG YANG SUNYI]**

Lima hari di rumah sakit terasa seperti lima tahun.

Lima hari dengan rutinitas yang sama: bangun dengan perut yang terasa kosong, diperiksa dokter yang menatapnya dengan tatapan simpati yang menyakitkan, makan makanan rumah sakit yang hambar, dan menatap langit-langit putih sambil mencoba—dan gagal—untuk tidak memikirkan bayi yang seharusnya masih di dalam perutnya.

Hari ini, Alviona dinyatakan cukup pulih untuk pulang.

"Fisik Anda sudah membaik," ucap Dr. Maya sambil memeriksa chart medis dengan kacamata baca di ujung hidung. "Jahitan operasi sembuh dengan baik. Tidak ada tanda infeksi."

Pause sebentar.

"Tapi secara psikologis..." Dr. Maya melepas kacamatanya, menatap Alviona dengan tatapan yang penuh kekhawatiran. "Saya sangat rekomendasikan Anda konsultasi dengan psikolog. Kehilangan kehamilan, apalagi yang traumatis seperti ini, bisa menyebabkan PTSD, depresi postpartum—"

"Aku tidak butuh psikolog," potong Alviona dengan nada datar—nada yang sudah jadi default-nya sejak lima hari lalu. "Aku baik-baik saja."

Bohong yang paling jelas.

Dr. Maya menghela napas. "Nyonya Alviona, ini bukan sesuatu yang bisa Anda tanggung sendiri—"

"Aku bilang aku baik-baik saja."

Nada yang lebih tegas kali ini—nada yang menutup pintu untuk diskusi lebih lanjut.

Dr. Maya tidak memaksa. Dia hanya menuliskan resep antidepresan ringan dan memberikannya dengan tatapan yang mengatakan: *"Saya tahu Anda tidak baik-baik saja, tapi saya tidak bisa memaksa Anda."*

---

Pukul 10 pagi, mobil mansion datang menjemput.

Bukan Daryon yang jemput. Bukan Syafira. Bahkan bukan Bi Sari.

Hanya sopir—Pak Hadi, pria paruh baya yang jarang bicara—yang menunggu di lobby rumah sakit dengan wajah yang mencoba netral tapi ada hint simpati di matanya.

"Nyonya, barang-barang sudah saya masukkan ke mobil," ucapnya sambil membantu Alviona berjalan—karena Alviona masih agak pincang, masih sakit di beberapa bagian tubuh.

Barang-barang.

Hanya satu tas kecil berisi baju ganti dan obat-obatan.

Tidak ada tas bayi. Tidak ada boks bayi. Tidak ada apapun yang seharusnya dia bawa pulang kalau semuanya berjalan seperti seharusnya.

Alviona duduk di kursi belakang dengan tatapan kosong menatap jendela.

Pak Hadi menyetir dengan hati-hati—menghindari lubang, mengurangi kecepatan di tikungan—seperti Alviona terbuat dari kaca yang bisa pecah kapan saja.

Dan mungkin memang begitu.

Perjalanan pulang yang biasanya 30 menit terasa seperti 3 jam.

Setiap pemandangan yang lewat—taman bermain dengan anak-anak kecil, ibu-ibu hamil yang jalan santai, toko perlengkapan bayi—seperti pisau yang menusuk berulang kali.

Alviona menutup mata, tangannya reflex meraih perut yang sekarang datar—gerakan yang sudah jadi habit tapi sekarang hanya mengingatkannya pada kekosongan.

*Seharusnya dia masih di sini. Seharusnya aku masih merasakan gerakan kecilnya. Seharusnya...*

Tapi "seharusnya" tidak akan mengembalikan apapun.

---

**[ARRIVAL - PULANG KE TEMPAT YANG TIDAK TERASA SEPERTI RUMAH]**

Mobil berhenti di depan mansion Prasetya.

Mansion megah dengan pilar-pilar besar, taman luas, air mancur yang mengalir—semuanya terlihat sempurna dari luar.

Tapi bagi Alviona, ini bukan rumah.

Ini penjara.

Dan sekarang... penjara yang mengingatkannya pada kehilangan terbesar hidupnya.

Pak Hadi membukakan pintu, membantu Alviona turun dengan hati-hati.

"Perlahan, Nyonya. Hati-hati dengan jahitan..."

Alviona berjalan dengan langkah pelan—setiap langkah menyakitkan, bukan hanya fisik tapi juga emosional.

Pintu mansion terbuka.

Tapi tidak ada yang menyambut.

Tidak ada "Selamat datang pulang." Tidak ada pelukan hangat. Tidak ada apapun.

Hanya keheningan yang dingin.

Alviona masuk dengan langkah gontai, melewati ruang tamu yang megah tapi kosong, naik tangga dengan pegangan erat di railing—tangga yang sama dimana dia jatuh, tangga yang mengambil bayinya.

Setiap anak tangga seperti menginjak luka yang belum sembuh.

Sampai di lantai dua, dia melihat Syafira keluar dari kamar dengan blazer hitam elegan, rambut tersanggul sempurna, makeup flawless.

Mata mereka bertemu.

Syafira berhenti, menatap Alviona dari atas sampai bawah—tatapan yang menilai, yang dingin.

"Oh, kau sudah pulang," ucapnya dengan nada yang... casual. Terlalu casual untuk situasi ini.

Alviona tidak menjawab. Dia tidak punya energi untuk ini.

"Sudah sembuh?" tanya Syafira lagi—tapi pertanyaan itu terdengar seperti formality, bukan genuine concern.

"Sudah," jawab Alviona singkat.

Syafira mengangguk pelan, lalu—dengan nada yang terdengar thoughtful tapi ada ketajaman di bawahnya—berkata:

"Mungkin memang belum waktunya keluarga kita punya cucu dari... pernikahan ini."

Pause yang loaded.

"Mungkin ini cara Tuhan bilang... ada yang tidak seharusnya terjadi."

Kata-kata itu ditusukkan dengan presisi—halus tapi mematikan.

Alviona merasakan dadanya sesak—tapi dia tidak menangis. Tidak lagi. Sepertinya semua air matanya sudah habis.

Atau mungkin dia sudah mati rasa.

Syafira berjalan melewati Alviona—bahu mereka hampir bersentuhan—lalu turun tangga dengan langkah anggun, meninggalkan aroma parfum mahal dan kata-kata yang mencabik.

Alviona berdiri di koridor dengan tangan mencengkeram tas kecilnya.

*Belum waktunya. Ada yang tidak seharusnya terjadi.*

Seperti kehilangan bayi adalah kesalahannya. Seperti bayinya tidak "seharusnya" ada.

---

**[KAMAR BAYI - PENGINGAT PALING MENYAKITKAN]**

Alviona berjalan ke kamarnya—kamar tamu lantai dua yang sudah jadi "kamarnya" sejak pernikahan.

Tapi sebelum masuk, kakinya berhenti.

Karena di sebelah kamarnya—hanya beberapa meter—ada pintu yang selama ini tertutup.

Pintu yang dia sendiri yang minta untuk dikunci sejak dia pulang dari rumah sakit (lewat pesan ke Bi Sari).

Pintu kamar bayi.

Kamar yang dia siapkan diam-diam—tanpa sepengetahuan Daryon atau Syafira—dengan uang sisa tabungannya yang sedikit dan bantuan dari Nayla.

Kamar kecil yang sederhana tapi penuh cinta.

Tangannya bergerak ke kenop pintu—gemetar—tapi kemudian berhenti.

*Jangan. Jangan masuk. Itu akan terlalu sakit.*

Tapi kakinya tidak bergerak menjauh.

Seperti ada magnet yang menariknya.

Dengan napas yang bergetar, Alviona memutar kenop pintu.

Klik.

Pintu terbuka pelan.

Dan pemandangan yang menyambutnya...

Menghancurkannya total.

Kamar kecil dengan dinding berwarna kuning lembut—warna netral karena dia belum tahu jenis kelamin bayinya.

Box bayi kayu sederhana di sudut ruangan dengan sprei bergambar bintang-bintang.

Meja ganti popok kecil dengan tumpukan popok yang belum pernah dipakai.

Lemari kecil dengan baju-baju bayi yang masih rapi terlipat—baju newborn yang sangat kecil, yang seharusnya akan dipakai oleh bayinya empat bulan lagi.

Dan di dinding—sebuah hiasan kayu dengan tulisan yang Alviona buat sendiri:

*"Welcome to the world, little one. Mama loves you."*

Alviona berdiri di ambang pintu dengan tubuh yang membeku.

Tidak bisa bergerak. Tidak bisa bernapas.

Hanya menatap ruangan yang seharusnya dipenuhi dengan tangisan bayi, tawa, kehidupan.

Tapi sekarang hanya... kosong.

"Harusnya... harusnya kamu di sini..." bisiknya dengan suara yang pecah.

Kakinya melangkah masuk—lambat, seperti berjalan dalam mimpi buruk.

Tangannya menyentuh box bayi—jari-jari gemetar menelusuri kayu yang halus.

"Harusnya ibu memandikanmu di sini... mengganti popokmu... menyusui mu di kursi goyang itu..."

Suaranya semakin bergetar.

Dia membuka lemari kecil—mengambil salah satu baju bayi yang paling kecil. Baju dengan gambar beruang kecil.

Baju yang tidak akan pernah dipakai.

Alviona memeluk baju itu ke dada—erat-erat—seperti memeluk bayinya.

Dan kemudian—

Air mata yang dia kira sudah habis... keluar lagi.

Tapi kali ini bukan air mata biasa.

Ini air mata yang datang dari tempat paling dalam—dari luka yang paling sakit—dari kehilangan yang tidak akan pernah bisa sembuh.

"KENAPA?!" Jeritannya pecah—tidak ada yang dengar karena mansion luas dan sepi. "KENAPA DIA HARUS DIAMBIL DARIKU?! APA SALAHNYA?! APA SALAH IBU?!"

Kakinya lemas—dia jatuh berlutut di tengah kamar bayi yang kosong, masih memeluk baju bayi itu dengan erat.

"Ibu janji akan jadi ibu yang baik... ibu janji akan melindungimu... tapi ibu gagal... ibu GAGAL!"

Tubuhnya meringkuk di lantai—posisi fetal—seperti mencoba melindungi sesuatu yang sudah tidak ada.

"Maafkan ibu... maafkan ibu... maafkan ibu..."

Dia mengulang kata-kata itu berkali-kali—seperti mantra, seperti doa yang tidak akan pernah dijawab.

Menangis sampai suaranya hilang. Menangis sampai tubuhnya kehabisan tenaga. Menangis sampai...

Tidak ada air mata lagi.

Hanya tubuh yang gemetar. Hanya isakan tanpa suara. Hanya... kekosongan.

---

**[DARYON DATANG - MOMEN YANG MENGUBAH SESUATU]**

Tidak ada yang tahu berapa lama Alviona berbaring di lantai kamar bayi itu.

Mungkin satu jam. Mungkin dua.

Sampai dia mendengar langkah kaki.

Langkah yang familiar. Langkah yang biasanya membuat dia tegang.

Daryon.

Dia berdiri di ambang pintu kamar bayi—masih dengan kemeja kantor, tapi dasi sudah dilepas, lengan dilipat sampai siku.

Matanya menatap pemandangan di depannya:

Alviona meringkuk di lantai. Baju bayi dipeluk di dada. Tubuh gemetar. Wajah basah oleh air mata.

Dan untuk pertama kalinya...

Sesuatu di dada Daryon terasa... sakit.

Bukan sakit fisik. Tapi sakit yang aneh, yang asing, yang dia tidak mengerti.

Sakit melihat Alviona seperti ini.

Sakit menyadari bahwa dia... dia part of the reason kenapa Alviona hancur seperti ini.

"Alviona..." Suaranya keluar pelan—sangat pelan—nada yang tidak pernah dia gunakan sebelumnya.

Alviona tidak merespon. Seperti tidak dengar. Atau tidak peduli.

Daryon melangkah masuk—langkah yang ragu, tidak biasa baginya yang selalu percaya diri.

Dia berlutut di samping Alviona—dan untuk pertama kalinya sejak mereka menikah—dia tidak tahu harus berbuat apa.

"Alviona..." ulangnya lagi.

Kali ini Alviona bergerak sedikit—mengangkat kepala dengan lambat, menatap Daryon dengan mata yang bengkak, merah, kosong.

"Kenapa kau di sini?" tanyanya dengan suara serak—suara orang yang sudah terlalu banyak menangis.

Daryon tidak menjawab. Karena dia sendiri tidak tahu.

Dia pulang dari kantor, mendengar dari pelayan bahwa Alviona sudah pulang, mencarinya di kamarnya tapi tidak ada, lalu mendengar suara tangisan yang diredam dari kamar ini.

Dan sesuatu memaksanya untuk ke sini.

Sesuatu yang lebih kuat dari logika atau ego nya.

"Aku..." Daryon mencoba mencari kata. "Aku dengar kau pulang."

Kalimat yang sangat inadequate untuk situasi ini.

Alviona tersenyum tipis—senyum paling pahit yang pernah Daryon lihat.

"Ya. Aku pulang. Tanpa bayi. Tanpa apa-apa."

Suaranya datar tapi ada ketajaman di sana.

Daryon menatap baju bayi yang Alviona peluk. Baju yang sangat kecil. Baju yang... seharusnya untuk anaknya.

Anaknya yang tidak akan pernah bisa dia temui.

Untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, realisasi itu benar-benar hit him.

Dia kehilangan anaknya.

Bukan hanya "pewaris." Bukan hanya "bukti pernikahan."

Tapi... anaknya. Darah dagingnya. Kehidupan kecil yang seharusnya jadi bagian dari hidupnya.

"Ini... ini kamar yang kau siapkan?" tanyanya pelan, menatap sekeliling ruangan sederhana tapi penuh kehangatan.

Alviona mengangguk pelan. "Dengan uang tabunganku. Diam-diam. Karena aku tahu... aku tahu kau tidak akan peduli."

Kata-kata itu menusuk.

"Aku... aku beli semua ini sambil membayangkan dia akan tidur di sini... akan ketawa di sini... akan tumbuh di sini..."

Suaranya pecah lagi.

"Tapi sekarang... sekarang kamar ini cuma... cuma makam kosong untuk mimpi yang mati."

Daryon merasakan sesuatu mencengkeram dadanya—sesuatu yang membuat napas nya pendek.

Ini... ini guilt?

Dia menatap Alviona—gadis yang dia nikahi karena kontrak, yang dia perlakukan seperti objek, yang dia sakiti berkali-kali—dan untuk pertama kalinya, dia melihatnya sebagai... manusia.

Manusia yang hancur. Manusia yang kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Manusia yang... dia sakiti terlalu dalam.

"Alviona... aku..." Suaranya bergetar—sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. "Aku tidak tahu... aku tidak..."

Kata-kata tidak keluar. Karena dia tidak tahu harus bilang apa.

"Maaf" terasa terlalu kecil untuk kehancuran yang dia sebabkan.

Tapi dia tidak punya kata lain.

Dan kemudian—dalam gerakan yang mengejutkan bahkan dirinya sendiri—Daryon mengulurkan tangan.

Dan memeluk Alviona.

Bukan pelukan possessive. Bukan pelukan yang demanding.

Tapi pelukan yang... gentle. Hati-hati. Seperti memeluk sesuatu yang sangat rapuh yang bisa hancur kapan saja.

Alviona membeku—shock total—karena ini pertama kalinya Daryon memeluknya dengan cara ini.

"Maafkan aku," bisik Daryon di rambutnya—suaranya bergetar, sesuatu di dadanya terasa panas, sesuatu di matanya terasa... basah?

Air mata?

Tidak mungkin. Dia tidak menangis. Dia tidak pernah menangis.

Tapi kenapa pipinya terasa basah?

"Maafkan aku... untuk segalanya..."

Alviona tidak merespon. Tubuhnya kaku di pelukan Daryon.

Tapi kemudian—perlahan—sesuatu di dalam dirinya... runtuh.

Pertahanan terakhir yang dia jaga runtuh.

Dan dia menangis lagi—tapi kali ini di pelukan Daryon.

Menangis untuk bayinya. Menangis untuk dirinya. Menangis untuk semua yang dia alami.

Dan Daryon—untuk pertama kalinya dalam hidupnya—membiarkan seseorang menangis di pelukannya tanpa merasa uncomfortable.

Dia justru memeluk Alviona lebih erat—seperti mencoba menahan semua kepingan Alviona yang hancur agar tidak benar-benar hilang.

"Maafkan aku..." ulangnya lagi—dan kali ini air matanya jatuh. Benar-benar jatuh.

Untuk bayi yang tidak akan pernah dia kenal.

Untuk istri yang dia hancurkan.

Untuk semua kesalahan yang dia tidak bisa diperbaiki.

Mereka berdua duduk di lantai kamar bayi yang kosong—memeluk satu sama lain di tengah kehancuran—dengan tangisan yang akhirnya menyatukan mereka dalam kesedihan yang sama.

---

**Apakah pelukan ini terlambat? Apakah air mata Daryon genuine atau hanya guilt sementara? Dan apakah Alviona... masih punya sesuatu di dalam dirinya untuk bangkit dari kehancuran ini? Atau kehilangan ini akan menjadi akhir dari segalanya?**

---

1
Eflin
.uuuuiu]uui
Eflin
pkpp
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!