WARNING❗
CERITA INI BUAT YANG MAU-MAU SAJA. 
TIDAK WAJIB BACA JUGA BILA TAK SUKA. 
⚠️⚠️⚠️
Setelah hampir satu tahun menjalani pernikahan, Leon baru tahu jika selama ini sang istri tak pernah menginginkan hadirnya anak diantara mereka. 
Pilihan Agnes untuk childfree membuat hubungannya dengan sang suami semakin renggang dari hari ke hari. 
Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Debby, sahabat Leon yang sekian lama menaruh rasa yang tak biasa pada Leon. 
Badai perpisahan pun tak bisa mereka hindari. 
Tapi, bagaimana jika beberapa tahun kemudian, semesta membuat mereka kembali berada di bawah langit yang sama? 
Bagaimana reaksi Leon ketika tahu bahwa setelah berpisah dari istrinya, Leon tak hanya bergelar duda, tapi juga seorang ayah? 
Sementara keadaan tak lagi sama seperti dulu. 
"Tega kamu menyembunyikan keberadaan anakku, Nes." -Leonardo Alexander-
"Aku tak pernah bermaksud menyembunyikannya, tapi ... " -Leony Agnes-
"Mom, where's my dad?" -Alvaro Xzander-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eyang-nya Al
#30
“Al.” Al menoleh ketika mendengar Rama memanggil namanya.
Siang itu Rama yang menjemput Al dari sekolahnya, namun, besok atau lusa ia harus ke Cirebon, untuk menyelesaikan pernak-pernik sewa gedung dan lain-lain, karena Agnes mempercayakan semua urusan persiapan pernikahan padanya.
Agnes akan ke Cirebon jelang hari pernikahan mereka saja. Agnes tak ingin merepotkan siapa-siapa, apalagi merepotkan dirinya sendiri. Karena kini ia sedang sibuk dengan usaha barunya, selain Al yang sudah mulai sekolah.
“Kenapa? Apa sekolahnya hari ini tidak seru?” tanya Rama sambil membawakan tas Al, kemudian menuntun calon anak sambungnya ke mobil.
Al menggeleng. “Tidak, Uncle, sekolahnya seru, hanya aku saja yang lelah.”
Al menyandarkan kepala dan punggungnya, sudah dua hari berlalu sejak Al tahu bahwa Leon adalah ayah kandungnya. Dan hingga saat ini, anak itu jauh lebih tertutup daripada biasanya.
Kemarin pagi, Leon datang untuk menjemputnya sekolah, namun, Al menolak, dan justru memilih pergi ke sekolah bersama Rama. Pagi tadi juga, kehadiran Leon kembali ditolak.
Leon tak bisa berbuat banyak, karena usahanya untuk kembali memperbaiki hubungan dengan Al, belum menemukan jalan keluar.
“Tidurlah, jika lelah,” ucap Rama sambil mengusap kepala Al.
Al hanya mengangguk lemah, senyum ceria yang biasa menghiasi wajah tampannya, kini sirna.
Mobil melaju perlahan, meninggalkan keriuhan di halaman sekolah.
Sementara itu, tak jauh dari sana, Leon menatap pemandangan tersebut dengan hati tercabik. Baru beberapa hari ia merasa bahagia, karena mengetahui keberadaan Al. Kini ia harus menelan bulat-bulat kepahitan setelah ditolak anak kandungnya sendiri.
Kemarin pagi, dan tadi pagi pun ia sempatkan untuk datang, tapi Al bersembunyi di kamarnya, tak sedikitpun menoleh padanya. Padahal Agnes dan juga Mama Wina sudah berusaha membujuk serta menjelaskan situasi saat itu, kenapa Leon tak datang menemuinya. Tapi berujung sia-sia belaka.
Dengan perasaan kecewa yang tak mampu dilukiskan dengan kata-kata, Leon pun pergi. Masa lalu telah menjauh pergi, namun, situasi tak akan membuatnya menyerah demi masa depan bersama anak kandung dan wanita yang ia cintai.
“Besok Daddy datang lagi, Al. Tak peduli seribu kali kamu menolak, maka dua langkah Daddy akan bergerak mendekat,” gumam Leon sambil memacu kembali mobilnya.
Leon menatap kaos yang mereka beli, belum sempat benda itu dipakai untuk foto bersama, dan hingga kini benda itu masih tersimpan di dalam mobilnya.
Aksi protes keras Al, membuat Leon dan Agnes tak bisa berbuat apa-apa, selain terus berusaha membujuk dan menyentuh hatinya.
Rama membawa Al ke toko Agnes, karena ia harus mendatangi salah satu cabang restorannya.
“Eh, anak Mommy sudah datang,” sambut Agnes ketika Al masuk melalui pintu depan.
“Kenapa wajahmu kusut?” tanya Agnes usai mencium dan memeluk Al.
Rama memberikan kode, agar Agnes tak banyak bertanya, karena moodnya masih buruk.
“Uncle pergi dulu, ya, Jagoan?” pamit Rama pada Al dan Agnes.
“Oke, Uncle. Thank you so much,” ucap Al, seraya melambaikan tangannya.
“Aku pergi dulu, ya.”
“Iya, Mas. Hati-hati,” jawab Agnes.
“Mungkin nanti, aku pulang malam, jadi tak akan mampir lagi.”
“Tak apa, Mas. Lebih baik Mas pulang, karena Mas juga butuh istirahat.”
Setelah mengusap kepala Al dan Agnes secara bergantian, pria itu pun berlalu pergi dengan mobilnya.
“Are you hungry, Al?”
“No, I'm not, but I want to sleep.”
“Baiklah, masuk saja ke kamar Mommy, dan tidur di sana.”
Agnes mengantarkan Al ke kamar berukuran kecil di dalam toko tersebut, kemudian meletakkan tas Al di atas meja.
Al segera berbaring, dan berusaha memejamkan mata, “Mommy kembali ke dapur lagi, ya?”
“Okay, Mom.”
Setelah menyalakan pendingin udara, Agnes pun menutup pintu kamar perlahan.
Sebenarnya, melihat Al yang terus murung, Agnes pun merasa sedih, anak itu begitu keras dengan keegoisannya, yang tak mau menemui ayah kandungnya. Padahal Leon pun tak pantang menyerah mendekatinya.
•••
“Bu, ada tamu yang ingin bertemu.”
Agnes sedang menghias cake ketika Miska mengabarinya. Wanita itu terdiam sejenak, dan bertanya-tanya siapakah gerangan tamu yang datang.
“Tolong simpan dulu di lemari pendingin, nanti aku lanjutkan.”
“Iya, Bu.”
Agnes melepas apron dan sarung tangan, kemudian merapikan penampilannya di depan cermin.
Wanita itu melongok ke dalam kamar, memeriksa apakah Al masih tidur, atau sudah bangun. Ternyata anak itu masih terlelap.
Lalu Agnes menuju ruang depan, dan kedua mata Agnes berkaca-kaca manakala melihat siapa gerangan tamu yang datang. “Ayah, Bunda.”
Walau masih dikuasai perasaan campur aduk, Agnes berjalan mendekati kedua mantan ayah dan ibu mertuanya. Ia menggosokkan telapak tangannya ke pakaian, sebelum mencium punggung tangan mereka satu persatu.
“Apa kabar, Nak?” sapa Ayah Juna.
“B-baik, Yah,” jawab Agnes gugup.
Bunda Emira seperti biasa langsung memeluknya dengan hangat. “Apakah Ayah dan Bunda mengganggu?”
Agnes menggeleng cepat, “Tidak, sama sekali tak mengganggu, aku hanya sedang mengerjakan kue untuk mengisi rak display,” jawab Agnes canggung dan sedikit gugup.
“Mari, silahkan duduk, Yah, Bund.” Agnes mempersilahkan Ayah Juna dan Bunda Emira untuk duduk di salah satu meja kursi yang ada di ruangan tersebut.
“Sebentar, aku ambilkan minum.”
“Jangan!” cegah Ayah Juna dan Bunda Emira bersamaan. “Jangan repot-repot, Nak. Kami baru selesai makan.”
“Ayah dan Bunda datang, masa aku merasa repot. Tenang saja, Bund, Yah. Ini hanya makanan dan minuman ringan.”
Agnes kembali masuk ke dalam, “Mis, tolong potong fruit cake yang ada di pendingin.”
“Tapi, Bu. Itu pesanan orang. Nanti malam di ambil.”
“Masih nanti malam, kan? Nanti kita buat lagi. Eyangnya Al datang berkunjung, aku ingin menyuguhkan yang spesial.”
Miska tersenyum paham, kemudian segera melaksanakan permintaan Agnes tanpa protes. Sementara itu Agnes menyiapkan teh hangat dengan madu yang diletakkan di pouch terpisah.
Tak lama kemudian, Agnes keluar dari dalam ruangan, dengan membawa nampan berisi fruit cake dan 2 cangkir teh. “Tuh, kan. Ini pasti repot sekali, sampai-sampai ada fruit cake segala.”
Bunda Emira menatap cake dengan topping aneka buah-buahan yang dikeringkan.
“Ini kesukaan Bunda, dan kebetulan baru selesai dibuat,” kata Agnes penuh syukur karena tepat saat Bunda Emira datang, makanan favorit beliau ada di lemari pendingin.
“Silahkan, Yah, Bund. Tehnya tawar, jika ingin manis bisa ditambahkan madu.”
“Terima kasih, ya, Nes. Kamu juga masih ingat teh kesukaan Ayah.”
Agnes mengangguk pelan, sambil meremas kedua tangan yang ada di pangkuannya.
“Bunda dan Ayah kenapa repot-repot datang? Harusnya cukup telepon, biar aku yang datang.”
Bunda Emira meletakkan cangkir di atas meja. “Kami ingin bertemu Al, masa kamu yang datang.”
“Mom—”
Tepat saat itu, Al keluar dari dalam ruangan dengan wajah khas bangun tidur.
“Sayang, sudah bangun? Sini, Nak.” Agnes memanggil Al, agar mendekat padanya.
“Ayo, salim dulu sama Eyang. Eyang Putri dan Eyang Kakung.” Walau masih setengah sadar, Al pun melakukan apa yang diucapkan Agnes.
“Mom, aku lapar,” kata Al usai bersalaman.
“Oh, lapar? Ini, Eyang punya fruit cake.” Bunda Emira menyodorkan sepiring fruit cake pada Al.
Al menoleh menatap Agnes, meminta persetujuan. Setelah mendapat anggukan dari sang Mommy, Al pun duduk dan mulai menikmati cake yang di suguhkan Bunda Emira.
“Setelah pulang sekolah, dia langsung tidur,” kata Agnes menjelaskan situasi Al.
Bunda Emira tersenyum dengan kedua mata berkaca-kaca, ingin rasanya mengusap dan memeluk sang cucu, namun, enggan, karena takut Al menolak.
“Al suka?” tanya Ayah Juna pelan.
Al mengangguk polos, “Semua yang berbau buah-buahan, Al sangat suka. Sama seperti Bunda.”
Bunda Emira tersenyum, sambil mengusap air matanya. “Nggak papa, Nak. Makan banyak buah biar badan tetap sehat dan tidak kekurangan vitamin.”
Beberapa saat kemudian, Al telah menghabiskan fruit cake-nya. “Mau lagi?” tanya Ayah Juna yang kini menawarkan cake miliknya.
Agnes tak banyak bicara, hanya menatap dengan penuh rasa haru ketika kedua mantan mertuanya memberikan perhatian penuh kasih pada Al.
Beberapa kali Agnes mengusap air mata, bukan karena sedih, tapi karena bahagia. Al dicintai, dan disayangi oleh orang-orang di sekelilingnya, tak seperti dirinya yang dahulu ditolak oleh ayah kandungnya sendiri.
Beberapa saat kemudian, Al sudah menghabiskan cake yang tersaji di meja, Agnes kembali masuk ke dalam dan kembali dengan fruit cake baru untuk Ayah Juna dan Bunda Emira.
“Mom, mereka ini siapa?” bisik Al di telinga Agnes.
Agnes tersenyum, sejujurnya ia gugup, menebak bagaimana nanti reaksi Al setelah tahu siapa kedua orang tersebut.
Agnes mengubah posisi duduknya, ia menghadap Al, serta mengusap sisa cake di sudut bibirnya.
“Beliau ini Eyang-nya Al. Ayah dan Bundanya Daddy.”
Deg!
Deg!
abaikan Debby
Al sayaang...jangan menolak eyang yaa...mereka baru tahu keberadaanmu. lihatlah cinta di mata eyang..sangaaat besar sangat luas.hiks hiks ikut sediiih
iya lah