Asa terkejut saat membuka matanya semua orang justru memanggilnya dengan nama Zia Anggelina, sosok tokoh jahat dalam sebuah novel best seller yang menjadi trending topik paling di benci seluruh pembaca novel.
Zia kehilangan kasih sayang orang tua serta kekasihnya, semua terjadi setelah adiknya lahir. Zia bukanlah anak kandung, melainkan anak angkat keluarga Leander.
Asa yang menempati raga Zia tidak ingin hal menyedihkan itu terjadi padanya. Dia bertekad untuk melawan alur cerita aslinya, agar bisa mendapat akhir yang bahagia.
Akankah Asa mampu memerankan karakter Zia dan menghindari kematian tragisnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 31
Pemuda itu terkekeh pelan. Ia melangkah mendekat ke arah Zia. "Ah, iya juga. Kayaknya kita sama-sama gak waras, jangan-jangan kita jo—"
Zia menyela cepat. "Gak usah diterusin, cringe tau gak!" ketusnya.
Jawaban Zia malah kembali membuat pemuda itu tertawa. "Zia, Zia, ternyata lo lucu juga, ya."
Pemuda itu menatap Zia dengan sorot mana menilai. Penampilan Zia saat ini seperti kucing tidak diberi makan berhari-hari, melihat tampilan gadis itu hampir serba kuning seperti pisang, dari mulai topi, cardigan, dan tas yang dikenakannya. Sangat fashionable dan tidak terlihat norak sama sekali, malah terkesan lucu meski jarang ada yang memakai pakaian seperti itu.
Kening Zia mengernyit seumur-umur ia belum pernah memberi tahu namanya pada pemuda itu, tapi kenapa ia bisa tahu namanya?
Zia menaikan sebelah alisnya dan mengamati pemuda itu yang tak lain adalah Gery. "Tunggu, kok lo tau nama gue? Pas turnamen basket lo bilang gak kenal gue."
"Gue bilang gak kenal sama lo bukan berarti gue gak tahu nama lo, Zia."
Zia terdiam.
"Padahal selain turnamen basket, sebelumnya gue juga pernah ketemu sama lo. Mungkin lo lupa."
Mata gadis itu membuka lebar. "Kapan?"
Seingatnya setelah memasuki tubuh ini ia tidak pernah bertemu atau berhubungan dengan Gery selain saat kejadian pelukan memalukan di lapangan itu.
"Waktu lo datang ke basecamp gue buat nemuin Arza. Lo datang sambil nangis dan marah-marah karena Arza nolak buat ketemu lo sampai akhirnya lo diusir sama orang suruhan Arza. Lo inget kan? Mungkin lo gak sadar kalau gue ada di sana saat itu," jelas pemuda itu dengan datar dan tidak memperhatikan raut wajah Zia yang sudah berubah keruh.
Rasanya Zia ingin masuk ke dalam karung saat ini juga. Memalukan! Sumpah dari banyaknya kelebihan karakter yang Zia memiliki kenapa hanya embel-embel "Mengejar Arza" yang paling terkenal?
Di mana pun keberadaannya, orang yang mengenal namanya pasti langsung menyematkan nama Arza di belakangnya. Layaknya prangko dirinya dan Arza kerap kali terlibat dalam setiap adegan yang membuatnya terlihat memiliki sifat jelek dan tak tahu malu.
"Kenapa, ada yang salah sama ucapan gue?" tanya Gery ketika melihat Zia terdiam dengan wajah tanpa ekspresi.
"Gak! Tapi ada baiknya lo gak usah ungkit-ungkit itu lagi, bikin mood gue tambah hancur aja."
Gery menarik sudut bibirnya ketika Zia memalingkan wajah terlihat sekali sedang malu dengan kelakuannya sendiri.
"Ternyata lo masih punya malu juga, gue pikir urat malu lo udah putus sampai ngacir segitunya."
"Heh, bawel banget mulut lo!" sungut Zia kesal.
Zia memutar bola matanya malas melihat Gery kembali menertawakannya. Ia sama sekali tidak sedang malu, tapi pemuda itu tertawa seolah dirinya adalah pelawak. Namun, sedetik kemudian Zia menggigit bibirnya sebelum memfokuskan tatapannya kepada Gery.
Kakinya bergerak semakin mendekati pemuda itu lalu berjongkok menyesuaikan tubuhnya dengan wajah Gery.
Zia menatap intens pemuda itu sampai-sampai membuat Gery kebingungan. Gery menjentikkan jarinya di depan wajah Zia.
"Terpesona, hah?" Gery menyeringai.
Zia tersadar lalu mendengus. "Najong!"
Ia hanya ingin memastikan orang di depannya ini sungguh bukan Shaka dan setelah diperhatikan dengan cermat sepertinya orang ini benar-benar bukan Shaka. Gaya penampilan mereka sangat berbeda, Shaka itu culun dan sangat introvert, tidak seperti pemuda ini yang cerewet dan menyebalkan.
Ya, mereka berdua adalah orang yang berbeda.
***
"Nah kan bener nih anak ada di sini." Brian berseru setelah membuka pintu apartemen Arza dan mendapati sahabatnya tengah memejamkan mata di sofa.
"Gak usah pura-pura tidur, Za! Keliatan banget lo bohongnya," Bayu melempar bantal sofa ke tubuh Arza sebelum menghempas tubuhnya ke sebelah Arza diikuti dengan Brian dan Kevin yang memilih duduk di lantai.
Setelah kejadian mencengangkan di kantin tadi mereka tidak berhenti memikirkan Zia. Iya, Arza membolos setelah membawa Zia ke gudang sekolah. Ketika mereka bertanya kepada Zia mengenai keberadaan Arza, gadis itu malah menyembur mereka dengan cacian dan makian.
"Lo kenapa sih, Za? Zia sama Haris, mereka punya masalah apa sama lo? Sampai lo lost control kayak tadi." Arza membuka matanya mendengar ucapan Bayu.
"Sumpah, Za! Lo kaya cowok yang lagi cemburu brutal tadi. Walaupun gue tau gak mungkin lo cemburu. Impossible." ujar Brian.
"Jadi, kenapa lo nonjok Haris?" Tanya Bayu lagi.
Arza masih tidak menyahut, ia hanya menatap langit-langit apartemennya dengan sorot mata acuh tak acuh.
"Rapet amat mulut lo kek pantat ayam, mual gue ngeliatnya," Bayu mendengus jengkel.
"Eh, tapi serius, Za. Zia lo apain di gudang? Gue tanya dia, eh dia malah marah-marah sama gue. Katanya 'Bilangin tuh sama temen sinting lo gak usah macam-macam sama gue!' terus dia gak berhenti ngumpatin lo, Za. Kayak gini, 'Arza tolol! Brengsek! Sinting! Idiot! Setan! Babi!'" ucap Brian sambil menirukan gaya bicara Zia.
Arza menghela napas kasar. Ia juga tidak tahu kenapa dirinya bisa kehilangan kontrol seperti tadi. Semua itu dipicu oleh gejolak panas di hatinya karena tidak terima melihat Zia semakin menunjukkan kedekatannya dengan Adam.
Zia.
Arza meremas rambutnya, nama itu tidak sedikit pun bisa hilang dari kepalanya.
"Atau lo mau jilat ludah sendiri, Za?" tanya Kevin yang sejak tadi diam saja.