Diumur yang tidak lagi muda, susah mencari cinta sejati. Ini kisahku yang sedang berkelana mencari hati yang bisa mengisi semua gairah cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhang zhing li, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ngompol Akibat Terborgol
Akhirnya bisa mengerjai pengawal sendiri dengan mencari celah ingin kabur.
Ceklek, pintu kamar mandi telah kubuka.
"Astagfirullah hal adzim," Kekagetanku beristigfar, sebab Dio telah berdiri tepat disamping pintu kamar mandi.
"Aaah ... Dio, kamu ngagetin aja! Untung saja aku tidak ada riwayat penyakit jantung. Kalau ngak, pasti majikan kamu ini langsung mati ditempat," gerutu marah padanya.
"Baguslah kalau Non mati, berarti aku tidak perlu repot-repot menjaga kamu," ejek Dio.
"Iiiiiih ... kamu benar-benar ngeselin," geram diiringi tangan *******-***** ingin kuberikan pada wajah Dio. Tertahan akibat tak mau cari masalah.
Ceeekliek, sebuah borgol tiba-tiba terpasang ditanganku.
"Apa ini? Apa yang kamu lakukan?" Keterkejutanku.
"Aku akan menahan kamu, sebab non Dilla telah berencana mau kabur," cakapnya serius.
"What?" Kekagetanku yang kedua kali.
"Hadeh, tidak usah pura-pura.
"Siapa bilang aku akan keluar, kamu jangan ngacau kalau ngomong! Jadi sekarang lepaskan borgol ini dari tanganku," pinta pura-pura tak mengerti.
Benar-benar sial, ketika bocil tahu akan rencana bulusku.
"Gak usah bohong Non Dilla yang cantik. Aku dengar lho apa yang kalian bicarakan tadi. Kayaknya ada yang mengatakan aku gila juga."
"Gak ada, siapa bilang. Mungkin kamu salah dengar."
"Mau bukti?"
"Mana?"
"Nih ada jejak juga. Dengarkan baik-baik, nah!" tunjuknya memegang gawai.
Tangan Dio sibuk memutar sebuah rekaman, dan telinga mulai kupasang baik-baik.
"Apa? Kok bisa?" tanyaku penasaran.
"Ya bisalah, aku 'kan memang pintar walau cuma lulusan SMA," Kesombongannya menjawab.
"Waaah, bener-bener makin pinter dan kurang ajar kamu itu. Masak handphone majikan sendiri disadap. Aah ... iih, kamu memang ngeselin Dio," ucapku sudah gondok marah, dengan kaki kuhentakkan kuat diubin keramik.
"Sekarang, Non gak usah kemana-mana malam ini, cukup berbaring nyenyak dikasur saja, oke!" cakapnya lemah lembut.
"Iiiiih ... hhhhh, terserah kamu bocil," geramku ingin kuremas-remas betulan wajah Dio.
Kalau bukan orang suruh orangtua, pasti akan kutendang duluan sebelum banyak ulah mencegah ini itu.
Ceeeklieek, borgol kembali berbunyi, yang ternyata ruang kosong borgol telah terpasang ditangan Dio.
"Nah, ini baru aman!" cakap Dio seorang mencoba pamer.
Aku hanya mengeryitkan kening tak suka, atas apa yang telah dia lakukan. Kamipun mencoba tidur ditempat kasur masing-masing, dimana kasur kami begitu berdekatan. Jadi jarak tubuh kamipun tak jauh, sehingga kemungkinan tangan tak akan lelah karena terborgol.
"Kamu kapan sih memasang alat itu? Perasaan handphone bersamaku terus?" Keherananku bertanya, sambil tangan kiri membuka majalah.
"Waktu Non Dilla kemarin siang tidur."
"Berarti kamu kemarin masuk kamar tanpa permisi dan melihatku tidur?" ucapku dengan wajah tak senang.
"Yaap, betul banget."
"Aaah ... Dio, kamu itu benar-benar ngak ada sopan-sopannya dan tata krama, patut aja kamu betah lama-lama bertapa dalam kampung," ejekku kesal, yang langsung menutup majalah.
"Aku bukan gak sopan, Non. Sebab aku sudah meminta izin sama tuan dan nyonya besar," jawabnya santai yang kini telah mengolekkan kepala dibantal.
Wajahnya menatap seksama langit atap.
"Itu sama saja tidak sopan, sebab kamu ngak izin sama aku."
"Iya ... iya Non. Aku minta maaf. Tuan berpesan padaku untuk menjaga Non Dilla baik-baik, dan itulah salah satu caraku menaruh alat penyadap, agar bisa tahu keberadaan Non itu dimana, sebab jika suatu saat nanti akan hilang," jelasnya.
"Ciiih, siapa juga yang mau hilang?."
"Aku cuma berjaga-jaga, Non."
"Ya ... ya, aku kalah debat sama kamu, banyak betul ngejawabnya."
"Hehehe, tahu aja kamu, Non. Aku selalu menang debat dalam kelas lho," pamernya.
"Dih, siapa juga yang tanya.
"Memang ngak ada. Cuma kasih tahu, siapa tahu kepo sama kehidupanku."
"Dih, PD akut kamu."
"Orang tampan harus mengedepankan kepedean biar pesona utuh."
"Diih, sok kegantengan kamu."
"Emang. Tapi beneran tampan 'kan?"
"Hadeh. Muka bocil gitu saja bangga."
Kami berduapun sudah memejamkan mata, dengan tangan masih terborgol oleh kelicikan si bocil Dio. Rasanya sungguh tak enak tidur menghadap kanan terus, tapi apa boleh buat jika tangan ditarik tangan Dio akan ikut.
Tengah malam telah sampai, dan rasanya akupun kebelet sekali ingin buang air kecil.
"Aah .. sial, ngak ingat kalau tangan terborgol. Mana bocil Dio sudah tidur nyenyak pulak," rancau hati antara ingin membangunkan Dio atau tidak.
"Dio ... Dio?" panggilku pelan, dengan cara menguncang-guncangkan tangannya.
"Dio ... Dio!" panggilku sekali lagi.
"Eeh ... heeh, ada apa, Non?" tanyanya yang sudah bangun.
"Cepetan buka borgolnya, aku mau ke kamar mandi nih!" pintaku yang sudah tak tahan.
"Ooh iya, Non. Sebentar-sebentar aku akan ambil kuncinya."
"Iiish. Kelamaan dah."
"Sebentar. Kutaruh dimana ya kuncinya tadi?" kebinggungan Dio mencari disekitaran kasur.
Kiri kanan samping dia sudah diraba-raba, namun tak kunjung jua kunci itu bisa membuka.
"Ayo Dio, cepetan! Aku sudah tak sabar nih, cepet ... cepetan," cakapku tak sabar.
"Nanti Non, aku beneran lupa menaruhnya. Dimana ya?" Kesibukkan Dio yang sudah mencari-cari.
"Aaah ... lama banget sih nyarinya! Ayo cepetan ikut aku ke kamar mandi, aku sudah tak tahan nih," ucapku yang sudah menarik tangan Dio, untuk mengikutiku.
"Eeeh ... tunggu ... tunggu, Non. Jangan main tarik saja," pintanya yang ingin aku berhenti.
Ceklek, pintu kamar mandi sudah terbuka.
"Eeiiit ... tunggu, masak aku akan ikut juga masuk ke dalam," cegah Dio.
"Aaah ... banyak omong betul kamu. Aku sudah tak tahan nih!" jelasku yang sudah gelisah dengan kaki tak bisa tenang terus saja bergerak-gerak.
"Aku gak bisa, Non. Kamu 'kan perempuan."
"Ayolah Dio, ayo! Aku benar-benar ngak tahan."
"Aduh Non aku juga gak enak jika ikut masuk. Sebentar, kita cari dulu kuncinya."
"Aaah ... aduuh, Dio gak usah banyak ngomong, ayo ikut ... ayo!" pintaku sudah menarik tangannya.
Sialnya tangan kiri Dio telah berpegangan dipintu kamar mandi, sehingga tubuhnyapun tak bisa benar-benar kubawa masuk dalam kamar mandi.
"Aaaah .... yah ... yah ... sial," umpatku yang tenyata sudah ngompol dibaju.
"Kenapa ... kenapa, Non?" tanya Dio panik.
"Huhuhu, aah ... sial ... sial. Jangan lihat kesini!" bentakku marah sambil menangis merengek.
"Kamu kenapa, Non? tanya Dio penasaran.
"Hia ... hiks haaa, aku kencing dicelana Dio," tangisan pura-puraku yang pecah sebab malu.
"Benarkah itu, hahahahha," gelak tawa Dio mengejek.
"Diam kamu. Semua akibat kamu juga."
"Hihihihi, iya. Mmmph ... mppph, hahahahahah," ulang tawa Dio puas, walau sekuat tenaga sudah menahannya.
Terpaksa baju kusiram sebentar. Walau dalam keadaan baju basah, tetap ikut bocil mencari kunci. Ingin kutabok muka dia yang tanpa henti ingin tertawa mengejek. Sekian detik mencari akhirnya kunci ketemu dibawah kasur, mungkin efek Dio tidur banyak gerak jadi jatuh menyenggolnya.
anyway bagi satu perusahaannya ga akan bangkrut kalii bole laa
jangan suka merendahkan orang lain hanya karna orang itu dari kampung..
ntar km kena karma.
semoga dio bisa tahan y jadi pengawal Dilla
nekat banget sih km,,agak laen y cewe satu ini.. 😂🤦♀️