Dalam diamnya luka, Alina memilih pergi.
Saat menikah satu tahun lalu, ia dicintai atau ia pikir begitu. Namun cinta Rama berubah dingin saat sebuah dua garis merah muncul di test pack-nya. Alih-alih bahagia, pria yang dulu mengucap janji setia malah memintanya menggugurkan bayi itu.
"Gugurkan! Aku belum siap jadi Ayah." Tatapan Rama dipenuhi kebencian saat melihat dua garis merah di test pack.
Hancur, Alina pun pergi membawa benih yang dibenci suaminya. Tanpa jejak, tanpa pamit. Ia melahirkan seorang anak lelaki di kota asing, membesarkannya dengan air mata dan harapan agar suatu hari anak itu tahu jika ia lahir dari cinta, bukan dari kebencian.
Namun takdir tak pernah benar-benar membiarkan masa lalu terkubur. Lima tahun kemudian, mereka kembali dipertemukan.
Saat mata Rama bertemu dengan mata kecil yang begitu mirip dengan nya, akhirnya Rama meyakini jika anak itu adalah anaknya. Rahasia masa lalu pun mulai terungkap...
Tapi, akankah Alina mampu memaafkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter - 27.
Rama kini tinggal di rumah kontrakan kecil yang hanya berjarak dua rumah dari kediaman orang tua Gendis. Meski sederhana, tempat itu terasa tentram terutama karena sambutan hangat dari keluarga Gendis. Kedua orang tua Gendis memperlakukan Rama seperti anak sendiri.
“Assalamualaikum, Le... Ibu bawa singkong goreng sama ubi rebus, baru panen dari kebun tadi pagi. Pas kamu lagi ngopi, ya..." sapa Bu Laksmi sambil tersenyum, membawa piring di tangannya.
“Waalaikumsalam, Buk. Aduh... padahal Ibu nggak perlu repot-repot." Ujar Rama sambil menerima piring itu dan meletakkannya di meja kecil di teras.
“Ah, nggak repot kok. Kamu udah Ibu anggap seperti anak sendiri.”
“Duduk dulu, Bu.“ Ajak Rama sopan.
Bu Laksmi pun duduk di bangku kayu di sebelahnya, suasana pagi yang tenang membuat percakapan mereka mengalir begitu saja.
“Mbak Gendis udah ke klinik, Bu?” tanya Rama sambil menatap langit yang mulai cerah.
“Udah, baru saja. Bapak masih di kebun, adik-adiknya juga udah berangkat sekolah semua. Yang satu bentar lagi lulus SMA, katanya mau kuliah juga kayak Mbak-nya. Yang kecil masih SMP. Alhamdulillah... mereka semua anak penurut sama orang tua.”
Rama mengangguk pelan, senyum tipis terbit di wajahnya meski ada semburat getir di matanya. “Saya juga sangat disayang orang tua, Bu. Tapi ternyata, banyak yang mereka sembunyikan dari saya. Sejak lahir saya memang diperlakukan adil, tapi baru saya tahu... kedua saudara saya dari istri pertama Ayah, mereka ditinggalkan sejak kecil tanpa mendapatkan keadilan. Dan Ibu saya... ternyata dulu merebut Ayah dari istri sahnya.”
Rama menghela nafasnya. “Rasanya malu Bu, bertemu saudara-saudara saya. Saya juga marah... kecewa. Sebelum saya sampai di sini, hati saya sangat kacau. Saya baru tahu sifat sebenarnya dari orang tua saya sendiri, bahkan saya juga baru tau... ibu saya sendiri lah penyebab perpisahan rumah tangga saya.“
Bu Laksmi tak langsung bicara, hanya mengangguk kecil dan matanya lembut penuh pengertian.
“Ngomong-ngomong, Bu... soal suaminya Mbak Gendis, ada kabar lagi?”
“Galang belum kembali datang kesini, Nak. Terakhir cuma datang bawa barang-barang anak Ibu. Dia cuma pamit, minta maaf... katanya nggak bisa lagi bareng Gendis.”
Rama mengangguk kecil. “Saya sudah minta bantuan seseorang buat cari tahu masalahnya Mbak Gendis, mudah-mudahan ada titik terang.”
Ia memang meminta asistennya di perusahaan diam-diam menyelidiki, tanpa sepengetahuan siapa pun. Rama juga meminta sang assiten merahasiakan keberadaannya disana. Uang bukan masalah, Rama punya cukup tabungan yang tak bisa dilacak oleh keluarganya.
“Matur nuwun, Le..." ucap Bu Laksmi lirih.
“Sama-sama, Bu.”
“Ibu mau ke pasar dulu, kamu kepengen dimasakin apa hari ini?”
Rama merogoh dompet dan mengeluarkan lembaran uang sebanyak lima ratus ribu. “Saya pengin dimasakin yang kayak kemarin sore, Bu. Ini buat belanja ya...”
Namun Bu Laksmi buru-buru menolak. “Mboten, Le. Uang kemarin aja masih sisa, bisa buat makan kamu seminggu.”
“Anggap ini rezeki buat Ibu, saya nggak enak makan gratis. Lagipula... saya bukan pengangguran dan masih kerja, Bu. Meski usaha kecil, alhamdulillah ada hasilnya. Ibu juga bisa beli buah, katanya Mbak Gendis lagi kepengin rujak.”
Bu Laksmi menerima uang itu perlahan, matanya tampak berkaca-kaca. “Matur nuwun, Le. Semoga Allah permudah jalanmu...”
“Aamiin, Bu. Saya juga pelan-pelan belajar agama lagi... alhamdulillah Bapak mau bimbing saya ngaji abis Magrib.”
Bu Laksmi menepuk pundak Rama lembut, seperti seorang Ibu pada anak kandung. Ia lalu berpamitan pergi ke pasar.
Rama menatap langkah Bu Laksmi dengan senyum damai. Di tengah hidup yang jauh dari gemerlap, ia justru menemukan ketenangan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Tiba-tiba seseorang datang... assisten Rama datang membawa informasi.
.
.
.
Sementara itu di rumah keluarga Bu Ningrum, hubungan antara Galang dan Ratna perlahan merayap ke arah yang tak seharusnya. Di balik dinding rumah yang tenang, sesuatu yang kelam tengah tumbuh subur dalam diam. Galang yang sedang menunggu jadwal sidang perceraiannya, memutuskan mengambil cuti dari pekerjaannya. Ia lebih sering berada di rumah dan tanpa disadari, kedekatannya dengan Ratna semakin intens.
Di meja makan, tatapan-tatapan penuh isyarat kerap mereka tukarkan secara diam-diam. Bu Ningrum dan Pak Pram tak pernah curiga, tak satu pun dari mereka membaca gelagat buruk yang perlahan menyusup dalam keluarganya sendiri. Setiap kali rumah itu sepi dan ketika kedua orang tua mereka tidak di rumah, Galang membiarkan dirinya terjebak dalam bujuk rayu Ratna lalu melakukan hal yang tak seharusnya. Sebuah keputusan, yang kelak akan ia sesali seumur hidup.
Hingga sore itu setelah mandi, Galang berjalan pelan menuju ruang tengah. Rambutnya masih basah setelah melakukan hal be-jat bersama Ratna, air menetes dari ujung-ujung rambutnya. Tapi langkahnya terhenti di ambang pintu, ketika ia mendengar suara Ratna dari balik ruang tamu.
Suara itu terdengar jelas, begitu congkak dan menusuk telinga.
“Bener, Lis... emang bego dua-duanya. Istrinya itu diem aja, padahal aku udah lama ngisep duit gaji suaminya. Dan, Galang? Sekarang malah nyembah-nyembah di kakiku, dia ketagihan servis-ku! Parah, kan?”
Ratna tertawa keras, begitu angkuh. “Editan foto pun... dia telan mentah-mentah. Apa dia nggak sadar? Dia itu abdi negara, masa iya nggak bisa bedain foto asli sama editan? Hahaha! Si Gendis tuh istri paling setia yang pernah ada, tapi malah Galang tendaang. Galang lebih percaya sama aku dan Ibunya, daripada istrinya sendiri. Padahal aku cuma mau manfaatin duit Galang doang, karena Mas Raden ngilang entah kemana. Hahaha..."
Deg!
Dada Galang seolah dihantam ribuan palu, dunianya seakan berhenti berputar. Kakinya melemas, tubuhnya limbung. Ia berdiri di sana seperti patung batu yang retak dari dalam, retak karena hancurnya kepercayaan dan terbukanya sebuah kenyataan.
Suara tawa Ratna kini terdengar seperti bisikan setan yang menertawakan kebodohannya. Matanya panas, nafasnya memburu. Tapi, tak satu langkah pun ia ambil untuk melabrak wanita itu. Tidak ada amarah, hanya... hening dan kehancuran yang membekap dirinya.
Sakit.
Bukan hanya karena ia dibodohi, tapi karena ia sadar selama ini ia telah menjadi algojo bagi seorang wanita yang seharusnya ia lindungi... Gendis.
Gadis sederhana yang tak pernah ia berikan kesempatan untuk membela diri, istri sahnya yang ia ceraikan demi fitnah keji.
Air mata nyaris jatuh dari sudut matanya, namun Galang menegakkan tubuhnya. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, pikirannya kembali jernih.
Ia berbalik, masuk ke dalam kamar mengenakan pakaian. Saat itu juga, Galang memantapkan hati. Ia akan menemui Gendis. Ia akan bersimpuh, memohon maaf... dan jika Tuhan masih mengizinkan, ia akan memohon agar wanita itu kembali menjadi istrinya.
Bukan karena ia layak untuk mendapatkan pengampunan setelah menyakiti Gendis, tetapi karena ia akhirnya sadar siapa yang benar-benar mencintainya dengan tulus.
.
.
.
Hayo, Galang diterima lagi sama Gendis gak kira-kira? Jreng... jreng...
setelah ini pasti si galang akan menyesal 🤣🤣🤣