“Perut itu harusnya di isi dengan janin, bukan dengan kotoran mampet!”
Ara tak pernah menyangka, keputusannya menikah dengan Harry—lelaki yang dulu ia percaya akan menjadi pelindungnya—justru menyeretnya ke dalam lingkaran rasa sakit yang tak berkesudahan.
Wanita yang sehari-harinya berpakaian lusuh itu, selalu dihina habis-habisan. Dibilang tak berguna. Disebut tak layak jadi istri. Dicemooh karena belum juga hamil. Diremehkan karena penampilannya, direndahkan di depan banyak orang, seolah keberadaannya hanyalah beban. Padahal, Ara telah mengorbankan banyak hal, termasuk karier dan mimpinya, demi rumah tangga yang tak pernah benar-benar berpihak padanya.
Setelah berkali-kali menelan luka dalam diam, di tambah lagi ia terjebak dengan hutang piutang—Ara mulai sadar: mungkin, diam bukan lagi pilihan. Ini tentang harga dirinya yang terlalu lama diinjak.
Ara akhirnya memutuskan untuk bangkit. Mampukah ia membuktikan bahwa dia yang dulu dianggap hina, bisa jadi yang paling bersinar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
“Gue penasaran deh, lo udah pake gaya apa aja sih sama Elan?” Pertanyaan tak pantas itu meluncur dari bibir Varell.
Ara merasa dilecehkan secara verbal, api mulai tersulut—kedua tangannya mengepal erat.
PLAK!
Ara tersentak, kepala Varell digeplak renyah dari belakang. Dengan tubuh yang menegang, Ara menoleh ke belakang.
Audra sudah mendelik geram, napasnya memburu.
“Brengsek!” teriak Varell. Ia berbalik badan, menatap nyalang Audra yang tak gentar. “Berani lo main tangan sama gue?!”
“Main kaki juga gue berani—selagi lo emang layak ngedapetin itu!” Telunjuk Audra menoyor kening Varell. “Elan udah mati-matian nyelamatin perusahaan ini dari ambang kehancuran, Lo malah seenak-enak jidat ngelakuin pelecehan verbal ke orang yang udah mengabdi di perusahaan ini! Kalau Mbak ini nggak terima, terus speak up ke media, lo kira ... siapa yang bakal rugi di sini? Elo? Perusahaan, Rell!”
Wajah Varell memerah dalam sekejap. Tangannya mengepal erat.
“Kalau lo nggak punya kemampuan bikin perusahaan ini semakin berkembang, setidaknya lo jangan bikin hancur! Syukur-syukur lo masih dikasih posisi yang enak di perusahaan ini. Lo pikir, lo layak ngedapetin posisi itu? Kalau bukan karena nyokap lo ngerengek-rengek ke bokap gue, nggak bakal lo dapat posisi penting di perusahaan ini. Bahkan jadi cleaning servis pun lo nggak layak, Rell!” Begitu tajam mulut Audra menjatuhkan harga diri Varell.
Sampai-sampai Varell pun tersulut. Kedua tangan pria itu sudah mencengkram erat kerah pakaian Audra.
“Jaga ya mulut lo, jangan sampai gue kasih pelajaran, lo!” desis Varell.
Bukannya takut, Audra justru menyodorkan pipi kanannya. “Silahkan kalau lo punya nyali.” Gadis itu tersenyum remeh.
Varell semakin panas, telapak tangannya mengudara, siap-siap akan menampar.
Ara panik setengah mati karena harus berada di posisi yang menyulitkan. Apalagi, Varell sudah benar-benar mengayunkan tangannya.
‘Duh, gimana nih?’ jeritnya di dalam hati. ‘Bodo amat, ah!’
Janda berparas ayu itu memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam. Lalu sedetik kemudian ....
“HIYATTTTT!”
BRUGH!
Arrrggghhh!
Varell terjerembab di sudut lift setelah Ara menyundul tubuhnya dengan kepala. Bibirnya terhantuk dinding lift yang dingin.
“Brengsek!” Varell menatap Ara nyalang.
Beruntungnya, pintu lift pun terbuka.
“Ayo, Mbak!”
Ara tersentak ketika Audra menarik pergelangan tangannya. Mereka melangkah keluar—meninggalkan Varell yang masih menjerit-jerit di dalam sana.
“Sialan! Awas kalian berdua!”
...****************...
“Oh, jadi Anda adiknya Pak Elan?” Bibir Ara membulat. Moodnya tiba-tiba membaik begitu saja.
Audra mengangguk.
“Di minum dulu, Mbak.” Kata Audra setelah dua gelas minuman dingin disajikan pelayan.
Audra membawa Ara ke cafe depan perusahaan setelah menelpon Elan dan menceritakan kejadian yang terjadi pada mereka berdua di dalam lift.
“Varell itu memang begitu orangnya, sengak! Mirip banget sama bokapnya!” jelas Audra tiba-tiba.
Ara hanya bisa mengangguk-angguk kepala.
“Elan sebenarnya nggak mau si Varell ada di perusahaan ini. Tapi nyokapnya ngedesak, ngerengek—biar anaknya dapat posisi. Mereka iri sama Elan yang baru pulang dari Sydney—terus langsung bisa menjabat sebagai CEO di SW Group.” Audra kembali bercerita.
“Sydney?” kening Ara berkerut.
Audra mengangguk. “Setelah selesai kuliah, Elan langsung di kirim ke salah satu anak perusahaan di Sydney. Situasi perusahaan lagi genting-gentingnya.”
‘Ah, pantesan aja. Nggak ada informasi apapun lagi tentang dia dari anak-anak kampus. Waktu itu, dia kayak ngilang ditelan bumi. Ternyata dia di Sydney.’ Batin Ara menyimpulkan.
Setelah makan malam mereka berdua dulu batal tanpa alasan—dan panggilan telepon dari Ara tak dihiraukan, Ara tak lagi pernah berbicara dengan Elan. Sekedar menyapa pun tidak. Ia benar-benar mempertahankan harga dirinya—tak ingin dicap sebagai gadis yang mengejar-ngejar cinta dari seorang pria.
Namun, meskipun begitu, Ara secara sembunyi-sembunyi tetap memperhatikan Elan. Mencari tau tentang pria yang berhasil mencuri hatinya, diam-diam.
“Mereka bilang, Kakek pilih kasih karena ngasih posisi tinggi ke Elan begitu aja. Padahal, Elan ngedapetin posisi itu karena udah berjuang mati-matian, udah ngorbanin dan kehilangan banyak hal. Termasuk kehilangan kamu, Mbak.”
Bola mata Ara langsung berkedip-kedip. “Gimana ... gimana?”
“Elan ditekan untuk ninggalin kamu, Mbak. Dan Varell mempunyai andil besar dalam insiden itu. Dia yang selalu ngehasut Ayah. Dia juga yang selalu mata-matain Elan di kampus.”
Mulut Ara terbuka lebar, ia lekas membekap dengan telapak tangannya.
“Sampai sekarang juga, Varell masih sering ngasih informasi ke Ayah. Baru bulan lalu, Elan dipanggil Ayah ke ruangan kerjanya, kembali dihakimi.”
“Gara-gara?”
“Ya kamu lah, Mbak. Tapi kerennya kali ini, Elan dengan tegas berani memperingati Ayah agar nggak ngusik kamu, Mbak.”
Rona wajah Ara berubah perlahan, memerah. Entah karena dia akhirnya tau alasan Elan pergi, atau karena Elan berani melindunginya.
“Maka dari itu, kalau Elan datang berlutut di hadapan Mbak, aku harap—kamu mau maafin dia, Mbak. Karena ... Elan nggak pantes ngedapetin kebencian ataupun kekecewaan dari kamu, Mbak.” Kata-kata Audra sejenak membuat Ara tertegun.
Audra kembali melanjutkan ucapannya. “Waktu berdebat sama Ayah, Elan bilang ... kalau Mbak Ara nggak pantas menjalani kehidupan semenyakitkan itu. Dia bener-bener mau narik Mbak dari jurang gelap itu—”
“Tunggu ... tunggu, kehidupan menyakitkan? Jurang gelap? Elan tau tentang permasalahan hidupku selama ini?” kedua alis Ara sontak beradu.
Audra tertawa renyah, matanya melirik ke arah pintu cafe sekilas, lalu kembali menatap Ara.
“Mbak, kamu tuh polos banget sih. Kamu tau nggak, tentang biaya ganti rugi mobil—”
“AUDRA!”
Suara bariton seseorang menggema di dalam cafe tak seberapa luas.
Audra melirik ke arah sumber suara, ujung bibirnya terangkat sebelah. Ara pun lekas menoleh ke belakang, melihat siapa yang datang. Bola matanya otomatis membeliak.
*
*
*
Dengan menjadi istri sholehah, itu udah termasuk sempurna
Wah dari judul dan cover nya kelihatan wah banget Kak, gak sabar nunggu launching nya🥳
Bisa jadi belum dikabulkan, biar kamu bisa lebih mengenal sosok suamimu, menghabiskan waktu berdua sebelum punya bayi.
makasih untuk cerita yang apik ini kk😘😘😘