Tamparan, pukulan, serta hinaan sudah seperti makanan sehari-hari untuk Anita, namun tak sedikitpun ia mengeluh atas perlakuan sang suami.
Dituduh menggugurkan anak sendiri, membuat Arsenio gelap mata terhadap istrinya. Perlahan dia berubah sikap, siksaan demi siksaan Arsen lakukan demi membalas rasa sakit di hatinya.
Anita menerima dengan lapang dada, menganggap penyiksaan itu adalah sebuah bentuk cinta sang suami kepadanya.
Hingga akhirnya Anita mengetahui pengkhianatan Arsenio yang membuatnya memilih diam dan tak lagi mempedulikan sang suami.
Follow Instragramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bisa Membuat Cemburu
Suasana lorong menuju ruang observasi tetap terasa tenang namun sarat ketegangan bagi mereka yang menanti kabar dari dalam. Arsen berdiri bersandar pada dinding, kedua tangannya saling menggenggam di depan dada. Tatapannya terpaku pada pintu ruang observasi yang belum juga terbuka sejak dua jam lalu. Di sampingnya, Miranda duduk dengan punggung tegak, tangan terlipat rapi di pangkuan, matanya sesekali terpejam, bibirnya bergerak pelan mengucap doa yang nyaris tak bersuara.
Hening yang menyelimuti mereka akhirnya terpecah ketika gagang pintu ruang observasi bergerak. Pintu terbuka pelan dan tampaklah sosok dr. Andra yang keluar dengan langkah mantap. Ia memegang map berkas hasil pemeriksaan, dan segera menutup pintu di belakangnya sebelum menoleh ke arah keluarga pasien.
Arsen dan Miranda serempak menghampiri, menyambut kehadiran sang dokter dengan wajah penuh harap dan kecemasan. Arsen mengambil satu langkah cepat ke depan.
“Dokter Andra,” panggilnya lembut namun mendesak, “bagaimana kondisi istri saya? Bagaimana hasilnya?”
dr. Andra berhenti tepat di hadapan mereka, menarik napas singkat, lalu berbicara dengan suara tenang dan profesional.
“Saat ini, kami sudah melakukan pemeriksaan lengkap terhadap Ibu Anita, termasuk ultrasonografi dan pemeriksaan laboratorium. Namun untuk memastikan sejauh mana kondisi yang dialami Nona sebenarnya, kami masih harus menunggu hasil laboratorium lengkap yang baru akan keluar sore ini.”
Arsen mengangguk cepat, berusaha mencerna informasi itu.
“Jadi belum ada kepastian?” tanyanya, suaranya sedikit menurun.
“Belum sepenuhnya. Kami tetap akan memantau ketat karena kondisi ini bisa berkembang cepat.”
Miranda menimpali dengan nada sedikit lega, “Tapi keadaannya sekarang lebih baik?”
Dr. Andra mengangguk. “Ibu Anita sudah mendapat cairan intravena dan antiemetik. Tadi ia sudah sedikit bisa berkomunikasi, meskipun masih tampak lemah. Kami akan memindahkannya ke ruang perawatan, dan untuk kenyamanan serta pemantauan intensif, ia akan ditempatkan di ruang inap VVIP.”
Tak lama setelah penjelasan itu, pintu observasi kembali terbuka. Dua orang perawat mendorong sebuah brankar keluar dari ruangan. Di atasnya terbaring Anita, masih dalam balutan selimut rumah sakit berwarna putih kebiruan. Wajahnya tampak pucat, namun matanya terbuka, menatap lemah ke arah sekitar.
Arsen segera menghampiri, menyamai langkah perawat.
“Sayang…” panggilnya pelan, suaranya tertahan emosi.
Anita menggerakkan kepalanya sedikit, dan tersenyum tipis. “Papih….”
“Bagaimana kondisimu sekarang?”
“Lebih mendingan, Pih”
Miranda menyusul dari belakang, berdiri di sisi berlawanan. Ia mengusap lembut tangan putrinya yang terletak di atas selimut. “Syukurlah…. Kami tidak bisa tenang dari tadi, nak”
“Mama disini sejak tadi?”
Miranda mengiyakan, “Iya, sayang. Mama langsung kesini setelah Arsen mengabari jika kamu masuk rumah sakit”
Anita mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca namun tetap memancarkan kekuatan. Ia mencoba bersuara kembali, namun hanya mampu menghela napas dan menggenggam tangan suaminya erat.
Brankar terus didorong menyusuri lorong rumah sakit menuju lantai dua, tempat kamar perawatan VVIP berada. Arsen dan Miranda berjalan beriringan di sisi Anita, sesekali menatap wajahnya dan memberikan dukungan tanpa kata.
Sesampainya di depan kamar bernomor VVIP-203, salah satu perawat membuka pintu dan membantu memindahkan Anita ke ranjang yang lebih nyaman. Ruangan itu cukup luas, dengan interior bernuansa lembut, dinding berwarna krem dan perabot kayu yang menenangkan. Sebuah jendela besar memberikan pemandangan taman kecil rumah sakit yang asri.
Setelah Anita dipindahkan ke tempat tidur dan alat pemantauan sederhana dipasang, perawat segera berpamitan untuk melanjutkan tugasnya. Keheningan kembali turun, kini dengan suasana yang lebih tenang.
Arsen duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan istrinya dengan penuh kasih. Ia membelai rambut Anita yang sedikit lembap karena keringat. Miranda duduk di kursi samping, mengambil segelas air mineral yang disiapkan perawat, namun belum memberikannya karena Anita belum diperbolehkan minum hingga kondisi mualnya benar-benar membaik.
Beberapa menit berselang, suara ketukan pelan terdengar dari pintu. Arsen menoleh cepat, dan segera bangkit saat melihat siapa yang datang.
“Dokter baim? Masuklah” Arsen mempersilahkan lelaki berjas putih itu ke dalam.
Dr. Baim masuk dengan langkah cepat namun tetap menjaga ketenangan. Ia menghampiri ranjang Anita, dan tersenyum hangat melihat sahabat lamanya sudah terjaga.
“Anita…” panggilnya dengan suara rendah dan penuh keakraban.
Anita mengangkat wajahnya, dan meski lemah, sebuah senyum haru merekah di wajahnya. “Baim… Kau tau aku disini?”
“Tentu, aku mendapat informasi dari dokter yang menangani mu”
“Dan lantas kau kemari?”
“Begitu aku tahu pemeriksaanmu selesai, aku langsung ke sini,” ujar Baim sambil memeriksa kondisi Anita dengan mata seorang dokter sekaligus hati seorang sahabat. “Aku senang melihatmu baikan dan bisa tersenyum.”
Anita tertawa kecil, lalu menutup matanya sebentar, kelelahan masih melekat kuat di tubuhnya. “Aku benar-benar merasa tak enak sejak dua hari lalu… tapi sekarang sudah lebih baik, berkat kalian semua.”
Baim menoleh ke arah Arsen dan Miranda, lalu kembali memandang Anita. “Apa dokter sudah memberitahu hasilnya?”
“Belum, beliau bilang kemungkinan hasil laboratorium keluar nanti sore”
Baim menarik kursi mendekat ke sisi ranjang Anita, duduk perlahan sembari menatap wajah sahabat lamanya itu dengan pandangan lembut namun serius.
“Anita,” ucapnya pelan namun tegas, “Jangan biasakan menyepelekan rasa sakitmu sendiri,” lanjut Baim, nada suaranya sedikit berubah menjadi teguran lembut. “Aku tahu kau, sejak dulu. Kau terbiasa tahan, memendam, lalu berpura-pura baik-baik saja. Tapi tubuh kita bukan mesin, Nit. Kalau ada sinyal, itu bukan untuk diabaikan.”
Anita terdiam. Matanya menunduk pelan, seolah menyesali sesuatu. Baim tidak berhenti.
“Kau sempat muntah terus, merasa lemas, dan baru ke rumah sakit setelah benar-benar tak sanggup berdiri. Kalau kau datang dua hari lebih awal, bisa saja penanganannya lebih cepat dan kau tak perlu sampai masuk observasi.”
Arsen mengangguk pelan, menyambung dengan nada mendukung namun tidak menyudutkan. “Saya setuju dengan ucapan dokter Baim. Saya sudah berkali-kali bilang padanya… Tapi dia selalu bilang nanti dulu. Bahkan waktu dia muntah dan wajahnya mulai pucat, dia masih bilang ‘ini biasa, cuma masuk angin.’”
Arsen menarik napas panjang sembari mengalihkan pandangannya pada Anita. “Aku tahu kau takut, tapi kau juga harus memberi tubuhmu kesempatan untuk disembuhkan dengan benar.”
Anita memejamkan mata sesaat, lalu berkata lirih, “Aku… aku memang takut. Aku tidak pernah bisa tenang di rumah sakit. Ada trauma yang belum selesai sejak…. Kalian tau maksudku”
Baim mengangguk, seolah sudah menduga.
“Dan itu tidak salah,” ujarnya pelan. “Tapi kau tidak sendiri, Nit. Trauma itu bukan alasan untuk menjauh dari pengobatan. Kalau kau takut pada dokter atau suasana rumah sakit, kau bisa bicara padaku. Tanyakan padaku, aku akan bantu pilihkan dokter yang membuatmu nyaman. Bahkan kalau kau mau, aku sendiri yang akan menemani semua prosesnya. Dari pemeriksaan sampai selesai.”
”Aku tidak mau merepotkan siapapun”
“Apanya yang merepotkan? Kau sahabatku,” jawab Baim tegas. “Aku tidak akan tinggal diam kalau tahu kau sedang sakit dan menahan sendiri semua itu.”
“Baiklah…. Baiklah…. Dasar cerewet! Jangan terlalu berlebihan begitu, kau bisa membuat suamiku cemburu”
Sontak ucapan Anita membuat semua orang tertawa, mungkin saja memang betul tetapi hal itu terdengar lucu dan membuat semuanya tak bisa menahan gelak.
kena mental gak yah sama ucapan baim "jangan tinggalkan anita lagi"...
biar terseret arus aja kau sekalian! 😤
biar Anita nanti dengan laki2 yg benar2 bisa mencintainya dan membahagiakan dia dengan sempurna dan tulus ikhlas...
gak Mudi an kaya kamu!! 🤨
Mudah tergoda juga!!
dan intinya kau Egois !!!!
Hanya memikirkan diri mu saja, tanpa memikirkan bagaimana perasaan pasangan mu!! 🤨😡
Biar Tau rasa kalau kau Jadi sama cewek manja macam itu!!! 😡🤨
atau.. skalian matre!!! biar habis harta mu yg kau kerja capek-capek!!!
dan yg paling penting, Cewek macam itu Gak akan bisa di andalkan!!! hanya bagus di Awal nya aja!!! karena itu cuma sekedar Pancingan aja bagi laki2 Plin plan kaya kamu 😝😏😏
dan di jebak pun pas banget lelaki pecundang. selamat kalian pasangan serasi, tapi ingatlah karma itu nyata.
Anita berhak bahagia tanpa di sisi Arsen.
Baim jagalah Anita, kalo perlu rebut hati Anita dari suaminya yang ga tahu diri.
Masih ada laki2 baik yg bisa kau jadikan penopang kala kau kesulitan koq .. Bukan yg malah menghindar dan lari dr masalah dengan mu!!! 😤😤😤