Shana dan Kaivan, pasutri yang baru saja menikah lima bulan lalu. Sikap Kaivan yang terlalu perfeksionis kadang menyulitkan Shana yang serba nanti-nanti. Perbedaan sikap keduanya kadang menimbulkan konflik. Shana kadang berpikir untuk mengakhiri semuanya. Permasalahan di pekerjaan Kaivan, membuatnya selalu pulang di rumah dengan amarah, meluapkan segalanya pada Shana. Meski begitu, Kaivan sangat mencintai Shana, dia tidak akan membiarkan Shana pergi dari hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bastiankers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 31
Shana masih tidak sadarkan diri, bahkan setelah operasi dinyatakan selesai. Dia belum juga membuka matanya. Selepas terjerembab ke lantai saat itu, Shana mengalami cidera ringan dan trauma. Dia mengalami pendarahan hebat dan pecah ketuban dini. Yang mengharuskan dia masuk ke meja operasi dan bayi di kandungannya harus segera dikeluarkan.
Naasnya, bayinya setelah dilahirkan, dia harus diinkubasi terlebih dulu. Terpasang selang infus dan selang pernapasan yang melilit hampir setengah tubuh kecilnya. Bayi kecil itu lahir dalam berat badan yang sangat rendah, tidak sampai dua kilo. Jadi, mau tidak mau bayi itu harus melewati masa yang panjang sendirian. Terpisah dengan ibunya.
Tante Mona mondar-mandir kantor polisi dan rumah sakit. Dia tidak akan meloloskan lelaki yang menyebabkan keadaan Shana seperti sekarang.
Sampai berhari-hari kemudian, barulah Shana terbangun dari tidur panjangnya. Dia menangis meraung-raung. Untungnya kali ini ada Tante Mona yang bisa memeluknya. Meski begitu, Shana masih menginginkan Kaivan datang. Walau harapnya tidak sama seperti dulu. Sisa beberapa persen saja harapnya kini.
Tangan Shana terulur. Dia menyentuh beberapa kelopak bunga Lavender dengan tangannya sendiri. Matanya menerawang. Entah apa yang sedang dipikirnya. Dia banyak terdiam selama keluar dari rumah sakit.
Kedatangan Nana yang sedang berjalan dari arah gerbang, membuat mata Shana terbuka. Berbinar saat melihat perempuan itu melangkah dengan antusias ke arahnya. “Aaaaaa!!!! Senang banget lihat Mbak udah di sini.”
Mereka berpelukan.
“Saya pikir, nggak ada yang bakal kangen sama saya. Ternyata … Wah, makasih ya,”gumam Shana saat pelukannya dilepas.
“Santai, Mbak. Maaf ya, saya sama Lila waktu itu nggak langsung nolongin Mbak. Kita nggak bisa langsung nolongin karena harus telepon Ibu dulu,”terang Nana. Tampak menyesali keterlambatannya saat itu.
Shana menyunggingkan senyum tipis, tangannya mengusap lengan Nana. “Nggak kok. Saya harusnya berterimakasih sama kamu dan Lila. Tanpa kalian, mungkin Om Vito nggak akan mendapatkan balasan. Sekali lagi, terimakasih.” Meski berat dan sesak saat menyebut nama lelaki brengsek itu, namun dia tetap menyebutnya.
Percakapan keduanya harus usai karena beberapa pengunjung sudah datang. Shana banyak bertemu pengunjung hari ini. Dia terjun langsung untuk menemui mereka. Membahas dan menanyakan apa yang mereka inginkan. Juga, kedatangan beberapa vendor yang ingin bekerja sama dalam mengadakan event penting di kantor mereka.
Tepat di jam tiga sore, Shana baru bisa bernafas lega. Dia akan menyediakan waktunya kali ini untuk berkunjung ke rumah sakit. Baru saja dia mengambil tas kecil dan berpamitan pada Nana dan Lila, seorang pengunjung melangkah masuk.
Nana segera menyambutnya dengan ramah. “Selamat datang di outlet kami. Ada yang bisa kami bantu?” Namun, Nana seperti menangkap gelagat aneh dari wanita dewasa di hadapannya.
Seolah wanita itu memang masuk hanya untuk menemui … Shana. Nana menoleh singkat pada Shana yang baru saja menelepon supir pribadinya.
“Maaf, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?” Nana menanyakan ulang kehadiran wanita itu. Tampaknya dia tidak ingin melakukan pemesanan. Terlihat pada saat telapak tangannya di angkat dan langkahnya terayun menuju Shana.
“Kamu … Shana, kan?”
Mendadak sekali. Pandangan Shana tertuju pada Nana, namun dia langsung mengangguk begitu saja. “Ada yang bisa kami bantu? Atau … mau lihat beberapa—”
“Kamu istrinya Kaivan, kan?”tanyanya lagi.
Kernyitan di dahi Shana tampak seperti bertanya-tanya apa maksud kedatangan wanita itu. Atau lebih tepatnya, siapakah dia?”Iya. Ada keperluan apa? Apa kita pernah bertemu?”
“Bisa kita bicara sebentar?”
...***...
Kedua cangkir teh yang disuguhi oleh pelayan tampak tidak mengeluarkan uap lagi. Wanita yang Shana tidak kenal itu masih belum berbicara. Dia masih sibuk menelpon di luar ruangan. Yang anehnya, sesekali wanita itu terlihat menoleh singkat pada Shana.
Shana tidak mencurigai apapun. Namun, harapnya kembali muncul. Dia berharap suatu keajaiban datang. Ponsel yang dia letakkan di saku roknya bergetar. Ada nama Ibu di sana. Shana segera menggeser panel hijau saat melihat wanita itu sudah berjalan mendekati mejanya. “Halo, Bu?”
“Kamu di mana, Shan? Ibu dengar dari Nana bahwa ada perempuan yang ingin berbicara denganmu?”
Hening sejenak. Shana tersenyum saat wanita itu melayangkan senyuman manis setelah menyesap tehnya. “Iya, Bu.”
“Tentang Kaivan?” Terdengar helaan nafas panjang, lalu, “Apa kamu masih berharap pada Kaivan? Setelah dia meninggalkan kamu selama ini?”
Iya. Shana masih mengharapkan peruntungan kali ini. Namun, Shana memilih diam. Kertas yang diberikan ibunya pagi tadi masih dia simpan di dalam tas kecilnya.
“Shana. Kaivan meninggalkan kamu. Membiarkan kamu melewati masa-masa sulit sendirian. Kenapa, sih? Hah?” Ibunya menghela nafas lagi, “Kamu ke rumah sakit sekarang. Kamu harus lihat keadaan anak kecil yang bahkan bapaknya tidak bertanggungjawab atas kehadirannya.”
Panggilan itu terputus. Benar-benar menampar wajah Shana dan menusuk tulang rusuk Shana dengan paku. Nyeri sekali.
Wanita di hadapannya itu berdehem. Dia mengangkat kedua alisnya saat melihat raut wajah Shana berubah. “Apa kita bisa memulainya?”
Shana termangu. Pandangannya tertuju pada wanita itu. “Siapa kamu sebenarnya?” Suaranya terdengar bergetar karena sesak yang ditahannya.
Wanita itu mengulurkan tangan kanannya, “Perkenalkan, saya Resa.”
Kening Shana mengernyit heran. Seingatnya, tidak pernah bertemu dengan wanita yang bernama Resa ini. “Apa kita pernah bertemu?” Akhirnya pertanyaan itu lolos juga.
Dan, “Ya. Kita pernah bertemu. Satu kali. Saat acara kami. Kamu dan Kaivan datang.” Terdengar kejujuran di sana. “Apakah kamu lupa? Emm … bagaimana dengan Pak Reyhan? Apa kamu ingat?”
Ah! Shana mengingatnya. Namun, dia tidak langsung mengangguk. Ingatannya berputar, mencoba mengingat perempuan yang ada di hadapannya ini. Dan … sedetik kemudian, Shana baru mengingat jelas. Perempuan yang ada di hadapannya sekarang adalah perempuan yang berdiri di dekat Pak Reyhan. Malam itu, Shana memang tidak terlalu banyak bicara. Juga perempuan itu. Jadi, “Kamu istrinya?”
Dan Resa mengangguk. “Bagus. Akhirnya kamu mengingat saya.” Dia terkekeh pelan. “Begini … apakah kamu sudah mendengar kabar Kaivan?” Suaranya berubah menjadi rendah.
Shana menggeleng. “Dia benar-benar hilang. Bahkan, saat ibunya meninggal.” Embusan nafas Shana terdengar lirih. Matanya berubah sendu saat mengingat Indung.
Resa mengangguk. Dia baru saja memberikan ponselnya pada Shana, “Kamu bisa lihat sendiri di—” Belum sempat tangan Shana memegang ponsel itu. Belum sempat ucapan Resa selesai. Ponsel Shana kembali bergetar. Dan itu membuat Resa menarik tangannya.
Shana melihat layar ponselnya. Itu panggilan dari ibunya. “Halo, Bu?”
“Cepat ke sini, Shana. Keadaannya kritis!”
Dan tanpa berpikir panjang lagi, Shana segera bangkit. Dia berjalan tergesa meninggalkan Resa yang keheranan. Langkah Shana terasa tidak menyentuh tanah lagi. Hatinya berdegup kencang. Dia was-was dengan apa yang baru saja dia dengar.
Resa melihat sosok Shana yang sudah menghilang dari pandangannya. Dia menghela nafas pelan. Mungkin ini bukan waktu yang tepat. Jadi, dia menekan satu nomor di kontaknya. “Aku harap … pernikahanmu baik-baik saja.”
“Ya. Terimakasih, Mbak. Kamu sudah mengusahakannya.”