Melissa Permata Sari, gadis muda yang nekat menjual keperawanannya demi melunasi utang keluarganya sebesar 150 juta. Di hotel tempat "transaksi" berlangsung, ia justru bertemu Adrian Sutil, pria tampan dan kaya yang bukan mencari kesenangan, melainkan seorang pengasuh untuk putrinya yang berusia tiga bulan.
Adrian memberikan penawaran tak biasa: jika Melissa berhasil membuat putrinya nyaman, separuh utang keluarganya akan lunas. Namun, ada satu masalah—Melissa belum bisa memberikan ASI karena ia masih perawan. Meski sempat ragu, Adrian akhirnya menerima Melissa sebagai pengasuh, dengan satu syarat tambahan yang mengubah segalanya: jika ingin melunasi seluruh utang, Melissa harus menjadi lebih dari sekadar pengasuh.
Bagaimana Melissa menghadapi dilema ini? Akankah ia menyerahkan harga dirinya demi keluarga, atau justru menemukan jalan lain untuk bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
"Melissa !"
"Pak!
Mungkin karena terlalu canggung untuk membuka pembicaraan, sekalinya berbicara mereka bersamaan. Entahlah, semenjak perpisahan selama satu bulan dan beberapa kejadian yang mereka lalui, membuat keduanya merasa ada yang berbeda.
"Kamu mau bicara apa?" tanya Adrian.
"Bapak aja duluan!"
Saat ini Melissa sedang duduk berdampingan di bangku kamar.
Sebenarnya Adrian yang sedang menemani wanita hamilnya itu yang belakangan ini suka sekali nonton drama thriller. Hari ini, perlakuan Adrian sangat manis.
Seakan-akan menunjukkan jika ia adalah pria sejati.
"Kenapa bahasa kamu kembali ke awal?"
"Memangnya kenapa?"
Adrian menyeruput kopi, kemudian ia tunjukkan lesung pipi menawan miliknya itu. Ya, sudah mengerti. Jika terbentuknya legokan tersebut berarti ada senyuman. "Ingat Melissa, aku bukan majikan kamu lagi. Anggap saja sekarang kita suami istri!"
"Suami istri?" Melissa bertanya ulang dengan ekspresi kaget.
"Ya karena cuma suami yang bisa menghamili istri." Adrian terkekeh.
Sementara Melissa diam-diam bersemu. Entah apa yang dipikirkan, Melissapi itu selalu mengingatnya tentang malam-malam panas yang mereka lalui. "Geli!"
"Kenapa?" Tatapan Adrian menggoda, sontak Melissa membuang mukanya. Pria itu mendekati, ia ingin menyentuh tangannya. Namun, Melissa menolak. "Melissa, apa kamu sudah berdamai sama diri kamu sendiri?"
"Berdamai?" Lagi-lagi ucapan Adrian sulit dicerna oleh pemikiran Melissa sehingga membuatnya bertanya ulang.
"Hmm, maksudnya apa kamu sudah bisa menerima keadaan yang sekarang ada di diri kamu?"
"Sedikit!" Melissa menunduk, lalu memainkan bajunya. "Sulit menerima itu wajar. Sebelumnya saya gak nyangka sampai sejauh ini. Ingat pertemuan kita kayak gimana, jadi ngerasa semuanya bencana. Sekarang prioritas saya cuma anak ini, sebagai penebus hutang yang sudah dilunasi!"
"Bagus, anggap saja kamu hamil untuk membayar hutang!"
"Tapi ingat ya Pak, cuma selama sembilan bulan. Pokoknya sampai anak ini lahir. Setelah itu, saya akan pulang!"
"Sudah menjadi kesepakatan, saya akan turuti itu. Selama sembilan bulan juga saya akan bertanggungjawab menjaga kamu. Itu saya lakukan atas dasar anak ini, dan kesalahan saya yang memperlakukan kamu seperti pemuas, sebelumnya."
"Baiklah ... tanpa adanya hubungan seks lagi!"
"Ya!" jawabnya. Adrian menatap lekat-lekat, ekspresi wajahnya berubah serius. Ia semakin mendekati Melissa. "Tapi Melissa, bagaimana jika selama sembilan bulan itu saya jatuh cinta sama kamu?"
Perempuan hamil itu refleks menoleh ke arahnya. "Maksudnya? Jatuh cinta, kayak gimana?"
"Hmm, lupakan!" Adrian berdehem untuk menormalkan kondisi. "Apa setelah ini kamu akan pulang ke rumah ayahmu? Saya dengar, kamu mau melanjutkan sekolah. Saya bisa biayain sampai lulus!"
"Buat apa? Mau bagaimana pun semua orang pasti bakal tau kalau status saya sebagai perempuan yang pernah hamil.Saya akan pulang ke rumah ayah, dan kembali dengan cinta saya!"
"Cinta?"
"Iya, mantan bodyguard Bapak. Siapa lagi? Kan, hubungan kita dirusak cuma sama Bapak!" ketus Melissa.
***
Malam hari. Sudah lama kita tidak mendengar bagaimana dan seperti apa saja perkembangan si kecil. Adrian bukan menyisihkan anaknya, akan tetapi untuk kondisi Melissa seperti ini ia terpaksa menitipkan anaknya untuk beberapa bulan ke depan.
Bisa saja Adrian mengambilnya, dan membiarkan Melissa yang mengurus. Namun, mental dan psikis wanita itu belum sepenuhnya baik. Ia takut depresi yang masih membekas berimbas kepada si kecil. Menurutnya, sang mama adalah tempat terbaik saat ini.
"Sayang, sudah pulang kamu, Nak!" Samitha langsung menyerahkan cucunya kepada sang anak. Bayi yang baru beranjak 4 bulan itu menepuk-nepuk tangannya seakan gembira melihat sang ayah kembali.
"Oh my princess. Putri Daddy, cepat sekali kau besar, Sayang ...." Adrian mengangkat tinggi-tinggi si kecil, sampai suara tertawa menggema. "Hmm... Ma, gimana mengurus Chia sebulanan?"
"Mama happy Et, dibantu juga sama pembantu yang kebetulan disenangi anakmu. Sebentar lagi juga dia MPSI, pasti lebih anteng kalau dikasih makanan. Belum makan aja sekarang badannya gemukkan, 'kan?" jawab Samitha.
"Bawa pulang anakmu Adrian, jangan libatkan mamamu kalau masih tidak mau diatur orang tua!" Sahutan dari Agam membuat Adrian menoleh ke arah sumber suara yang sedang duduk di depan tv.
"Jangan dengarkan papamu!" bisik Samitha. "Mama gak keberatan sama sekali kalau Chia besar di rumah ini. Pokoknya sampai kamu menemukan perempuan lagi!"
"Dari kecil hidupku dikendalikan Papa, apa sampai aku punya anak kecil Papa masih mau meremotkan hidupku?" ujar Adrian terlontar untuk sang ayah.
Agam menoleh, setelah ia menaruh putung rokok yang telah habis. "Perlu kamu tau anakku, tanpa aku remotkan hidupmu mungkin kau tidak akan sesukses sekarang. Kau akan tumbuh jadi pria lembek, cengeng, selalu mengadu, dan hanya bertumpuan pada orang tua!"
"Papa ...." Samitha menegur dengan nada yang lembut. Namun, dihiraukan suaminya.
"Sekarang apa salahnya menikah dengan Mauren? Sudah itu saja keinginan Papa, setelahnya anak itu akanku anggap cucu!" sambung Agam.
***
Pagi ini. Yani dan Sasa yang merupakan pembantu paling dekat dengan Melissa, sedang menahan senyum di kala melihat nona dan tuan-nya berjalan beriringan seperti pasangan yang damai.
Perlu diketahui, kedua pembantu itu tidak jadi dipecat karena tekanan dari Melissa untuk mempertahankan mereka. Tentu saja dunia terasa baik-baik saja karena mereka akan tetap menjadi pelengkap. Terutama Sasa yang paling cerewet.
"Silahkan, Bapak dan Nona!"
Baru kali pertama Melissa duduk anggun di meja makan berdampingan dengan Adrian. Wajah wanita itu pun tampak malu-malu, terlebih mengingat apa-apa saja perbuatannya selama dikurung.
"Oh ya Pak, untuk makan siang bagaimana? Mau dimasakin seperti biasa?" tanya Yani.
"Melissa yang masak, dan pelayan lain yang antar!" jawab Adrian santai.
"Kok aku si, Mas-eh!" Seketika Melissa menggigit jarinya. Ia melihat wajah-wajah mereka yang menyaksikan mulai menahan-nahan senyum.
Terutama Sasa.
"Ekhem-ekhem, piu-piu, jepret. Mas gak tuh!" celetuk pembantu itu menggoda.
"Sepertinya ada yang di-upgrade hari ini," goda Yani ikut meramaikan suasana. Namun, itu semakin membuat Melissa merasa malu.
Persetan dengan permintaan Adrian tadi malam, ia manut saja ketika pria tersebut memintanya untuk mengubah panggilan. Dan kata seperti tadi lah yang diinginkan olehnya.
"Daripada aku panggil, Om!" sahutnya cuek.
"Lebih buruk sebutan 'bapak' saya belum setia itu!" cetus Adrian.
"Ya sudah kita panggil bapak dengan sebutan 'mas' aja ramai-ramai, gimana? Hehe..." usul Melissa terkekeh. Yani melotot, saat itu lah ia cemberut. "Maaf, bercanda saya mah!"
"Bosan bekerja kau!" sergah Yani.
Tiba-tiba mereka melihat ekspresi Melissa yang berubah sendu. Sontak Sasa lah yang merasa bersalah.
"Non, saya gak ada maksud apa-apa kok. Gak ada niat mau ambil bapak dari Nona." Yani sampai mencubit lengannya, merutuki kebodohan partner-nya itu. "Aww apa si, Mbak!"
"Ada apa Melissa? Apa ada sesuatu yang kamu inginkan?" tanya Adrian. Saat ini, sedang berusaha menyeimbangi mood perempuan hamilnya itu. Takut sekali pikiran buruknya kembali seperti kemarin.
"Aku rindu ayah!"
Bersambung ~