Wanita tegar dan nampak kuat itu ternyata memiliki luka dan beban yang luar biasa, kehidupan nya yang indah dan bahagia tak lagi ada setelah ia kehilangan Ayah nya akibat kecelakaan 10 tahun lalu dan Ibunya yang mengidap Demensia sekitar 7 tahun lalu. Luci dipaksa harus bertahan hidup seorang diri dari kejinya kehidupan hingga pada suatu hari ia bertemu seorang pria yang usianya hampir seusia Ayahnya. maka kehidupan Luci yang baru segera dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahayu Dewi Astuti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wanita Pemberani
William sudah membuka matanya, ia melihat jika Luci masih terlelap dengan tenang sehingga ia memutuskan kembali kekamarnya dan bersiap-siap pergi kekantor. Banyak hal yang perlu ia kerjakan hari ini karena kemarin semua pekerjaannya tertunda.
Baru saja William membuka pintu kamar, Luci terbangun menyusul. Ia langsung bangkit dari tidurnya, duduk menyapa William.
"Pagi, Daddy... apa kau akan pergi kekantor hari ini?" Tanya Luci sembari mengucek matanya.
"Iya, banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Jika masih mengantuk lanjutkan tidurmu aku akan mandi."
Luci menggelengkan kepalanya, ia kini berjalan mengikuti William, "Mandilah, aku akan menyiapkan sarapan untukmu."
William mengangguk, ia kini bergegas pergi kekamarnya dan Luci mulai sibuk melihat isi lemari es mencari bahan baku untuk ia masak.
Sekitar lima menit berpikir, akhirnya Luci memutuskan untuk membuat banana pancake itu merupakan sarapan kesukaan dirinya sehingga William pun perlu mencobanya.
"Sepertinya Daddy akan menyukai ini." Gumam Luci sembari tersenyum bangga.
Tiga puluh menit berlalu, kini Luci telah selesai menyiapkan sarapan untuk mereka berdua dan William pun sudah selesai bersiap hanya part memasangkan dasi tidak ia lakukan sendiri ini adalah tugas rutin Luci.
Tok....
Tok...
Tok...
Luci mengetuk pintu kamar William, setelah mendengar ada sahutan dari dalam ia segera membuka pintu kamar itu.
"Apa kau sudah siap? ayo kita sarapan bersama." Ujar Luci.
"Tentu saja, hanya aku belum memasangkan dasi saja." Jawab William sembari menyemprotkan parfum ke tubuhnya.
Mendengar hal itu Luci memutuskan untuk masuk dan memasangkan dasi untuk William dengan rapi. William senang melihat Luci dari jarak yang dekat ini, sangat menenangkan jiwa.
"Jangan menatapku seperti itu, nanti kau bisa jatuh cinta." Luci menggoda William yang sedari tadi menatapnya.
"Sepertinya aku sudah jatuh cinta sejak pertama kali bertemu." ungkap William sembari mencubit gemas pipi Luci.
Wajah Luci memarah, dan hal itu disadari oleh William. "Ah.. mengapa kau mencubitku." Luci marah pada William padahal sebenarnya ia hanya malu.
Luci keluar dari kamar itu, duduk lebih dulu dimeja makan dan meneguk satu gelas penuh air. Untung saja kini wajahnya tidak terlalu panas.
William kini sedang menikmati sarapan yang dibuatkan oleh Luci, ia sangat menikmatinya hal itu membuat Luci merasa senang.
"Dad, bolehkan hari ini aku mengunjungi rumah sewaku? aku harus mengosongkannya dan lagi aku harus menjual scooter milikku. apakah boleh?"
"Hmm, aku tidak bisa mengantarmu tapi aku akan memerintahkan Simon untuk menemanimu." Jawab William.
"Simon? Apakah dia pria yang mengantarkanku kemarin?" Tanya Luci.
William mengangguk, "Ya, apa kau tak tau namanya selama ini?" tanya William.
"Iya... aku hanya mengingatnya sebagai pria berkaca mata." Luci tertawa.
William mencubit pipi Luci gemas melihat tingkahnya yang begitu lucu. Selepas selesai sarapan William segera berangkat kekantor meninggalkan Luci sendiri sedangkan Luci kini harus membereskan apartemen terlebih dahulu sebelum ia pergi.
Waktu semakin siang, tiba-tiba seseorang menekan bel apartemen. Saat Luci lihat ternyata Simon sudah datang menjemputnya.
"Hai, akhirnya kau datang juga." Sapa Luci mencoba mengakrabkan diri.
"Anda sudah siap?" tanya Simon dengan datar.
"Ya, tunggu sebentar aku akan mengambil tas terlebih dahulu." Luci berlari mengambil tas miliknya kemudian mereka pergi bersama.
Cuaca hari ini sedikit berawan, jalanan juga cukup sepi sehingga perjalanan mereka dapat ditempuh dengan waktu yang singkat.
Mobil yang mereka kendarai melewati toko roti tempat Luci bekerja dulu namun kini toko itu sudah berubah menjadi butik, jalanan pun nampak lebih sepi dari biasanya.
"Kita sudah sampai, aku akan menunggu disini." Ujar Simon pada Luci.
"Tidak bisa, sepertinya aku membutuhkan bantuanmu."
Simon menghela napas panjang dengan wajah tanpa ekspresi itu. Tanpa memberi jawaban apapun pria itu segera melepaskan sabuk pengamannya keluar membuntuti Luci.
Gedung itu terlihat cukup tua dan lembab, selain itu udaranya pun tidak terlalu bagus, Simon yang tak biasa dengan lingkungan seperti ini sempat terbatuk beberapa kali.
Kini mereka sampai di kamar sewa milik Luci, saat masuk ruangan itu tidak terlalu berantakan karena Luci memang pandai bebenah ruangan. Ia sedikit berkaca-kaca melihat betapa pedihnya dulu ia berjuang seorang diri disini sebelum bertemu dengan William.
"Apakah ini tempat tinggal anda dulu?" Tanya Simon.
"Iya, sangat sempit dan lembab bukan?" Luci tertawa ketir.
"Padahal dulu kita sering melewati tempat ini." Gumam Simon pelan.
"Untuk apa kau datang ke wilayah ini?" tanya Luci. Meskipun Simon bergumam pelan namun ia masih bisa mendengarnya dengan jelas.
"Ah... Tidak, beberapa kali kebetulan saja." Jawab Simon kikuk.
"Ahhh baiklah, jika begitu tolong bantu aku mengemas seluruh barang disini karena waktu sewanya akan segera berakhir."
Simon mengangguk, kemudia mereka berdua mulai memilah barang mana yang perlu di bawa dan barang mana yang akan ia buang saja. Barang Luci tidak terlalu banyak, setelah dirapikan seluruh barang Luci cukup dalam satu koper ukuran sedang sudah termasuk seluruh pakaian yang ia punya.
"Luci... apa itu kau?" Tiba-tiba seorang wanita berubuh gempal datang menghampiri mereka. Rupanya ia adalah pemilik gedung.
"Nyonya.. apa kabar? aku kira kita tidak akan bertemu." Luci memeluk wanita itu.
"Hampir setiap hari aku datang kesini melihat kamarmu, tapi kau tak kunjung datang, bahkan nomer ponselmu sudah tak bisa ku hubungi."
"Maafkan aku, banyak hal yang terjadi sehingga sulit untuk aku datang kesini. ponselku hilang dalam sebuah tragedi." Luci mencoba menjelaskan.
"Malang sekali nasibmu, syukurlah jika kau kini baik-baik saja." Nyonya pemilik gedung terharu melihat kedatangan Luci kemari meskipun ia tau jika ini adalah terakhir kalinya mereka bisa bertemu.
"Luci aku akan turun terlebih dahulu." Ujar Simon.
"Oh iya pergilah, aku akan segera menyusul." Jawab Luci pada Simon.
Semua telah selesai, tak ada barang yang tertinggal kamar itupun sudah sangat kosong. Luci kini diantar kedepan oleh wanita pemilik gedung. Baru saja akan pergi tiba-tiba wanita itu menahan Luci.
"Tunggu dulu Luci, aku lupa menyampaikan sesuatu." Ujar wanita itu.
"Ada apa Nyonya?" tanya Luci.
"Sepertinya ada seorang wanita yang sering datang kemari. Wajahnya cukup cantik dan rambutnya panjang. Namun ia terlihat lusuh."
Luci berpikir, siapa wanita yang dimaksud itu? Wanita cantik, berambut panjang tetapi lusuh. Rasanya Luci tidak memiliki kenalan atau teman yang dimaksud oleh pemilik gedung.
"Itu dia orangnya." Pemilik gedung menunjuk seseorang yang berada dibelakang Luci.
Tubuh Luci berbalik cepat, ia melihat wanita itu dari jarak 10 meter dengan tatapan tak percaya.
"LUCI..." Wanita itu berteriak dari sebrang jalan.
"Sabrina?" gumam Luci tak percaya.