Darah kakaknya masih basah di gaun pestanya saat Zahra dipaksa lenyap.
Melarikan diri dari belati ayahnya sendiri, Zahra membuang identitas ningratnya dan bersembunyi di balik cadar hitam sebagai Fatimah. Di sebuah panti asuhan kumuh, ia menggenggam satu kunci logam bukti tunggal yang mampu meruntuhkan dinasti berdarah Al-Fahri. Namun, Haikal, sang pembunuh berdarah dingin, terus mengendus aromanya di setiap sudut gang.
Di tengah kepungan maut, muncul Arfan pengacara sinis yang hanya percaya pada logika dan bukti. Arfan membenci kebohongan, namun ia justru tertarik pada misteri di balik sepasang mata Fatimah yang penuh luka. Saat masker oksigen keadilan mulai menipis, Fatimah harus memilih: tetap menjadi bayangan yang terjepit, atau membuka cadarnya untuk menghancurkan sang raja di meja hijau.
Satu helai kain menutupi wajahnya, sejuta rahasia mengancam nyawanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Pertemuan yang Tak Sengaja
Prang! Lampu minyak di atas meja kayu itu tersenggol lengan Fatimah hingga pecah berkeping-keping. Api sempat menjilat taplak meja sebelum Baskara dengan sigap memadamkannya menggunakan kain basah. Di tengah kegelapan yang mendadak pekat, napas Fatimah terasa berhenti saat matanya masih terpaku pada lembar foto di dalam kalung perak milik Arfan.
"Siapa wanita ini, Arfan? Mengapa fotonya ada padamu?" tanya Fatimah dengan suara yang gemetar hebat.
Arfan yang baru saja siuman dari pingsannya hanya bisa mengerang, matanya mengerjap mencoba memfokuskan pandangan. Ia melihat bayangan Fatimah yang memegang kalung kesayangannya dengan tangan yang menggigil. Rasa sakit di bahunya seolah kalah oleh rasa sesak yang tiba-tiba menyerang dadanya ketika melihat benda itu berpindah tangan.
"Kembalikan kalung itu. Itu bukan urusanmu," jawab Arfan dengan suara serak yang penuh penekanan.
"Ini urusanku jika wanita di foto ini adalah Luna, kakak sepupuku yang hilang bertahun-tahun lalu!" seru Fatimah tanpa sadar.
Baskara dan Ibu Maryam terlonjak mendengar pengakuan yang keluar dari mulut Fatimah. Suasana di dalam gubuk tua itu mendadak menjadi sangat dingin, lebih dingin dari angin malam yang menyelinap lewat celah dinding bambu. Arfan tertegun, separuh nyawanya seolah ditarik paksa saat mendengar nama Luna disebut oleh wanita bercadar di depannya.
"Kau mengenal Luna? Bagaimana mungkin?" tanya Arfan sambil berusaha duduk tegak meski tubuhnya limbung.
"Dia menghilang setelah menolak perjodohan yang diatur oleh ayahku. Kami mengira dia sudah tiada," Fatimah terisak di balik cadarnya.
"Dia memang sudah tiada, Fatimah. Dia meninggal dalam kecelakaan yang direkayasa oleh keluargamu sendiri," bisik Arfan dengan tatapan kosong.
Kenyataan itu menghantam Fatimah bagaikan godam besar yang menghancurkan seluruh sisa pertahanannya. Ia jatuh terduduk di lantai tanah, menggenggam kalung itu seolah ingin memeluk raga kakaknya yang sudah lama terkubur. Ibu Maryam segera mendekat, merangkul bahu Fatimah dan membisikkan doa-doa penenang untuk meredakan badai di hati wanita itu.
Di luar gubuk, suara deru mesin mobil kembali terdengar, kali ini jauh lebih dekat daripada sebelumnya. Cahaya lampu sorot menyapu rimbunnya pepohonan, menembus lubang-lubang di dinding gubuk dan menciptakan garis-garis cahaya yang menakutkan. Baskara segera memadamkan sisa api yang masih membara dan memberi isyarat agar semua orang tidak mengeluarkan suara sedikit pun.
"Mereka sudah sampai di pinggir sungai. Kita terpojok," bisik Baskara sambil mengintip dari celah pintu.
"Berapa banyak orang yang mereka bawa?" tanya Arfan sambil meraba pinggangnya mencari sesuatu untuk membela diri.
"Sekitar lima orang, semuanya bersenjata lengkap. Kita tidak punya pilihan selain bertahan di sini," jawab Baskara pelan.
Fatimah menghapus air matanya dengan kasar, ia tahu bahwa saat ini bukan waktunya untuk meratapi masa lalu yang pahit. Ia menatap Arfan, pria yang ternyata adalah kekasih tersembunyi dari kakaknya yang malang. Ada rasa benci sekaligus haru yang bercampur aduk, namun keselamatan mereka semua kini menjadi prioritas utama di atas segalanya.
"Kita bisa keluar lewat jalur air di bawah kolong gubuk ini. Ada lubang kecil yang menuju ke rawa," usul Fatimah sambil menunjuk ke arah lantai kayu yang rapuh.
"Itu terlalu berisiko bagi Arfan yang sedang terluka parah," bantah Ibu Maryam dengan wajah cemas.
"Tidak ada jalan lain, Ibu. Diam di sini sama saja menyerahkan leher untuk disembelih," tegas Fatimah.
Baskara mulai mencongkel papan lantai dengan sekuat tenaga agar tidak menimbulkan suara decitan yang keras. Arfan meringis menahan perih saat Baskara membantunya merosot masuk ke dalam lubang yang pengap dan berlumpur. Satu per satu mereka menyelinap ke bawah gubuk, tepat saat pintu depan gubuk itu didobrak kasar dari luar oleh sepatu bot yang berat.
"Geledah setiap sudut! Mereka tidak mungkin lari jauh dari sini!" teriak pemimpin kelompok pengejar itu.
Suara langkah kaki di atas kepala mereka terasa sangat mengancam, seolah maut hanya berjarak beberapa senti saja. Fatimah menahan napasnya, ia bisa merasakan percikan lumpur yang dingin membasahi pakaiannya yang sudah kotor. Arfan menggigit bibirnya hingga berdarah agar tidak mengeluarkan rintihan saat bahunya yang terluka bergesekan dengan tiang penyangga gubuk.
"Bos, lihat ini! Ada darah segar di lantai dan sebuah kalung perak!" seru salah satu anak buah pengejar itu dari atas.
"Mereka baru saja pergi. Kejar ke arah rawa! Mereka pasti mencoba menyeberang!" perintah sang pemimpin dengan penuh amarah.
Fatimah membelalakkan matanya saat menyadari bahwa kalung itu tertinggal di atas sana karena ia terlalu terburu-buru tadi. Arfan menatap Fatimah dengan sorot mata yang penuh kehancuran, karena benda itu adalah satu-satunya kenangan fisik yang ia miliki dari Luna. Namun, ia tidak bisa kembali lagi ke atas, karena suara kokangan senjata api sudah mulai menyalak di sekitar gubuk.
Mereka merangkak di dalam lumpur rawa yang dalam, menggunakan rimbunnya tanaman air sebagai pelindung dari sorot lampu senter. Baskara memimpin di depan, memastikan jalur yang mereka lalui tidak memiliki jebakan lumpur hisap yang mematikan. Fatimah terus memegangi tangan Arfan, memberikan kekuatan lewat genggaman jemarinya yang dingin namun penuh tekad.
"Maafkan aku, Arfan. Kalung itu tertinggal," bisik Fatimah dengan nada penuh penyesalan yang mendalam.
"Nyawamu jauh lebih berharga daripada sepotong perak, Fatimah. Luna pasti setuju dengan itu," jawab Arfan dengan napas yang pendek-pendek.
"Kita harus mencapai sisi seberang sebelum fajar menyingsing, di sana ada perkampungan nelayan yang aman," kata Baskara memberi semangat.
Tiba-tiba, suara gonggongan anjing pelacak terdengar memecah kesunyian malam dari arah belakang mereka. Pengejar itu ternyata membawa hewan buas yang bisa mencium aroma darah Arfan meski tertutup bau lumpur rawa yang menyengat. Arfan menghentikan langkahnya, ia tahu bahwa dengan kondisinya yang sekarang, anjing itu akan dengan mudah menemukan posisi mereka dalam hitungan menit.
"Kalian teruslah berjalan. Aku akan bersembunyi di balik akar pohon ini untuk mengecoh anjing itu," ujar Arfan dengan nada pasrah.
"Tidak! Kami tidak akan meninggalkanmu lagi!" tolak Fatimah dengan suara yang hampir berteriak.
"Dengarkan aku! Jika kalian tertangkap, pengorbanan Luna akan menjadi sia-sia! Pergilah sekarang!" perintah Arfan dengan sisa kekuatannya.
Fatimah menatap Arfan dengan pandangan yang tidak tergoyahkan, ia melepaskan pegangan tangannya dan mulai mengambil sesuatu dari balik cadarnya. Ia memiliki sebuah rencana nekat yang mungkin bisa menyelamatkan mereka semua namun harus mengorbankan rahasia identitasnya sendiri. Arfan hanya bisa terpaku melihat Fatimah yang kini mulai merayap kembali ke arah datangnya suara anjing pelacak itu dengan sebuah batu tajam di tangannya.
Suara gonggongan anjing itu semakin mendekat, sementara Fatimah sudah menghilang di balik kegelapan semak belukar rawa yang mencekam.