"Aku memang lebih muda darimu, Elea," bisik Darren dengan suara rendah, nyaris berdesir di telinganya. Napas hangatnya menggelitik kulit Elea, membuat tubuhnya tanpa sadar bergetar. "Tapi, aku tetaplah seorang pria normal," lanjutnya, suaranya penuh keyakinan, meninggalkan ketegangan yang menggantung di antara mereka.
***
Darren Alaric Everleigh, pewaris tunggal sebuah perusahaan besar, memutuskan untuk menjalani kehidupan yang berbeda. Menyamar sebagai karyawan biasa, ia masuk ke perusahaan milik keluarganya tanpa seorang pun tahu siapa dirinya sebenarnya. Namun, hidupnya berubah saat ia ditempatkan sebagai asisten Elea Victoria Whitmore.
Elea adalah seorang wanita pekerja keras yang diam-diam menyimpan mimpi besar. Namun, mimpi itu selalu dihancurkan oleh suaminya, Adrian, seorang pria yang tidak pernah mendukungnya. Di tengah tekanan pekerjaan dan pernikahan yang dingin, Elea menemukan kenyamanan dalam kehadiran Darren—seorang asisten muda yang penuh perhatian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Veil of Deception
Darren mengikuti Mr. Lancaster ke salah satu ruang konferensi kecil di ujung lorong hotel di Birmingham. Ruangan itu diterangi cahaya putih yang dingin dari lampu di langit-langit, memantul pada permukaan meja kaca besar yang dikelilingi kursi kulit hitam. Aroma kayu yang lembap samar-samar tercium, bercampur dengan wangi hujan yang masuk melalui ventilasi. Di luar, hujan semakin deras, menciptakan pola-pola air yang mengalir perlahan di kaca jendela besar. Suara gemuruh samar dari jalanan di luar memberikan nuansa tegang yang menggantung di udara, menyatu dengan kesan dingin yang mencengkram.
Darren melangkah masuk, Mr. Lancaster menutup pintu di belakangnya dengan tenang. Ekspresi santai dan manjanya berubah total. Kali ini, ia tampak seperti dirinya yang sebenarnya: seorang CEO yang tangguh, dingin, dan penuh kontrol. Ia menyilangkan tangan di dada, berdiri tegak di depan meja, matanya menatap Mr. Lancaster dengan dingin, seolah sedang menimbang setiap langkah pria itu.
“Jadi, apa sebenarnya yang ingin kau bicarakan?” Darren bertanya, nada suaranya dingin, hampir penuh kebosanan.
Mr. Lancaster, pria berusia lima puluhan dengan jas rapi dan dasi biru tua, menatapnya dari seberang meja. Tangannya dengan tenang meluruskan dasinya, gerakan yang mengisyaratkan bahwa ia tidak terburu-buru. “Aku mengingatkanmu, Mr. Everleigh, sampai kapan kau akan terus memainkan sandiwara ini? Apa sebenarnya tujuanmu berpura-pura menjadi magang di perusahaanmu sendiri?”
Senyum kecil muncul di wajah Darren, senyum yang tidak sepenuhnya ramah. “Itu urusanku, bukan urusanmu. Dan aku rasa aku tidak perlu menjelaskan apa pun padamu.”
Mr. Lancaster mengangkat alis, suaranya penuh nada ejekan. “Mr. Everleigh, aku tidak peduli apa yang sedang kau coba lakukan, tetapi aku hanya mengingatkan—jangan sampai sandiwara ini membahayakan kepentingan perusahaan.”
Darren mendekat ke meja, kedua tangannya bertumpu pada permukaan kaca yang dingin. Tatapannya tajam, tidak ada jejak keramahan yang biasa ia tunjukkan saat berinteraksi dengan Elea. “Aku tidak akan membahayakan perusahaan. Justru sebaliknya, Lancaster. Aku sedang memastikan semuanya berjalan lebih baik dari sebelumnya.”
“Tapi ini terlalu beresiko,” balas Mr. Lancaster, nada suaranya terdengar semakin rendah. “Kau pikir tidak ada yang akan curiga? Kau pikir Elea tidak akan tahu? Dia wanita yang cerdas, Mr. Everleigh. Dan cepat atau lambat, dia pasti akan segera mengetahuinya.”
Mendengar nama Elea disebut, Darren merasa dadanya sedikit sesak. Namun, ia menutupi perasaannya dengan senyuman miring. “Elea tidak akan tahu. Dan sekalipun dia tahu, itu tidak akan mengubah apa pun.”
Mr. Lancaster tersenyum. “Kau mungkin terbiasa mendominasi, Mr. Everleigh, tetapi hubungan ini berbeda. Dia bukan seseorang yang bisa kau kendalikan. ”
“Hubungan?” Darren menegakkan tubuh, matanya menyipit. “Apa maksudmu dengan hubungan?”
“Aku melihat caramu memandangnya. Aku mendengar bagaimana kau berbicara dengannya. Kau lebih terlibat terlalu dalam daripada yang kau sadari. Dan jika kau tidak berhati-hati, perasaan itu bisa menghancurkanmu—dan perusahaan ini.”
Darren merasakan rahangnya mengencang. Ia ingin membantah, tetapi ia tahu Mr. Lancaster tidak sepenuhnya salah. Perasaan itu memang ada, meskipun Darren mencoba mengabaikannya. Tetapi ia juga tahu satu hal dengan pasti: ia tidak akan membiarkan siapa pun, termasuk Mr. Lancaster, menggunakan itu sebagai kelemahan melawannya.
“Lancaster,” Darren akhirnya berbicara dengan suara rendah tetapi tegas, “jika kau mencoba mengancamku, kau akan kecewa. Kau mungkin tahu tentang penyamaranku, tetapi kau lupa satu hal penting—aku adalah CEO perusahaan ini. Aku tidak butuh izinmu untuk mengambil langkah yang aku anggap perlu.”
Mr. Lancaster menyipitkan mata, bibirnya melengkung menjadi senyuman dingin. “Kau benar, tapi aku tidak akan tinggal diam jika kau lupa tujuan utamamu menjadi magang. Tugasmu bukan untuk mengencani karyawanmu sendiri Mr. Everleigh, jangan lupa.”
Darren berdiri diam sejenak, membiarkan kata-kata itu melayang di udara seperti ancaman yang belum selesai. Namun, ia tidak menunjukkan tanda-tanda gentar. Sebaliknya, ia tersenyum tipis, senyum yang penuh kepercayaan diri, penuh dengan aura tantangan yang membuat Lancaster tampak lebih tegang.
“Lancaster,” kata Darren akhirnya, “kau boleh mencoba apa saja. Tapi ingat ini—aku selalu selangkah di depan. Dan aku tidak akan pernah membiarkan siapa pun, termasuk kau, mengontrol hidupku.”
Dengan itu, Darren berbalik dan berjalan keluar dari ruangan, membiarkan pintu tertutup di belakangnya. Napasnya sedikit berat, tetapi ia tidak menunjukkan kelemahannya. Di luar, lorong itu sepi, hanya suara hujan yang terdengar samar di kejauhan. Cahaya redup dari lampu dinding menciptakan bayangan panjang yang tampak seperti menari mengikuti gerakan Darren.
Namun, saat ia melangkah menuju lounge hotel, pikirannya kembali ke Elea. Kata-kata Mr. Lancaster terus terngiang di telinganya: Ia bukan seseorang yang bisa kau kendalikan. Darren tahu itu benar. Tapi justru itulah yang membuat Elea begitu menarik baginya—dan begitu berbahaya. Ia adalah teka-teki yang menantang semua logika dan kontrol yang biasa Darren gunakan.
Ketika Darren kembali memasuki lounge, suasananya hangat dan nyaman, dengan cahaya lampu kuning yang lembut memantul pada dinding berlapis kayu. Sofa-sofa empuk berwarna krem tersebar di berbagai sudut, ditemani meja-meja kecil dengan vas bunga segar. Aroma kopi dan cokelat panas memenuhi udara, bercampur dengan suara piano yang dimainkan lembut di latar belakang. Beberapa tamu duduk dengan santai, berbicara pelan atau membaca buku, menciptakan suasana yang kontras dengan ketegangan di dalam diri Darren.
Elea duduk dengan tenang, dikelilingi dokumen dan laptopnya. Wajahnya fokus, alisnya sedikit berkerut saat ia membaca sesuatu di layar. Rambut panjangnya yang cokelat gelap tergerai, memberikan kontras dengan blazer hitam yang ia kenakan. Saat Darren mendekat, Elea mengangkat pandangannya, menatapnya dengan tatapan datar tetapi penuh arti, seolah bisa membaca pikiran Darren.
“Apa kau sudah selesai memeriksa hasil presentasi untuk besok?” tanya Elea, nada suaranya datar tetapi tegas. Suaranya seperti lonceng kecil yang menggema di tengah ruangan yang sunyi.
Darren tersenyum santai, kembali mengenakan topeng manjanya. “Belum, ada hal penting yang harus aku urus tadi.”
Elea hanya menggelengkan kepala, ekspresinya tidak berubah. “Kalau kau sudah selesai bermain-main, ada laporan yang harus kau kerjakan. Jangan lupa, tenggatnya besok pagi.”
“Ya, ya, bos,” jawab Darren dengan nada menggoda, matanya bersinar nakal. Ia duduk di sofa di seberangnya, memiringkan kepalanya untuk menatap Elea lebih dekat. “Tapi kau tahu, Elea, aku merasa pekerjaan ini akan jauh lebih mudah jika kau tersenyum sedikit. Kau terlalu serius.”
Elea mendesah pelan, kembali fokus pada laptopnya. Namun, Darren bisa melihat sudut bibirnya yang hampir tersenyum. Itu cukup baginya untuk merasa menang, setidaknya untuk saat ini. Tetapi jauh di dalam hatinya, Darren tahu bahwa hubungannya dengan Elea adalah teka-teki yang belum bisa ia pecahkan—dan itu adalah tantangan yang tidak bisa ia abaikan. Lounge yang hangat terasa semakin kecil, karena untuk Darren, hanya ada satu pusat gravitasi di ruangan itu: Elea.
***