Arga, lulusan baru akademi kepolisian, penuh semangat untuk membela kebenaran dan memberantas kejahatan. Namun, idealismenya langsung diuji ketika ia mendapati dunia kepolisian tak sebersih bayangannya. Mulai dari senior yang lihai menerima amplop tebal hingga kasus besar yang ditutupi dengan trik licik, Arga mulai mempertanyakan: apakah dia berada di sisi yang benar?
Dalam sebuah penyelidikan kasus pembunuhan yang melibatkan anak pejabat, Arga memergoki skandal besar yang membuatnya muak. Apalagi saat senior yang dia hormati dituduh menerima suap, dan dipecat, dan Arga ditugaskan sebagai polisi lalu lintas, karena kesalahan berkelahi dengan atasannya.
Beruntung, dia bertemu dua sekutu tak terduga: Bagong, mantan preman yang kini bertobat, dan Manda, mantan reporter kriminal yang tajam lidahnya tapi tulus hatinya. Bersama mereka, Arga melawan korupsi, membongkar kejahatan, dan... mencoba tetap hidup sambil menghadapi deretan ancaman dari para "bos besar".
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 : Panggung Jakarta
Bagong menghela napas panjang lagi, kali ini lebih dramatis, seperti aktor sinetron yang baru ditinggal kekasih. Dia menatap Danu dan Yudha dengan ekspresi penuh harapan—ya, harapan yang mungkin sedikit mustahil kalau melihat track record bocah-bocah ini.
"Dengerin gue baik-baik, ya. Lo berdua ini beda, tapi gue yakin lo bisa saling melengkapi. Danu, lo ini anak yang kuat. Tapi sayangnya, otak lo kayak lemari kosong. Apa pun yang gue masukin, mental lagi!"
Danu membuka mulut untuk protes, tapi Bagong langsung mengangkat tangan, tanda jangan potong pembicaraan.
"Tapi lo punya tanggung jawab sekarang. Lo harus jagain Yudha. Dia itu lemah. Lo lihat nggak tadi, dia ditonjok sekali aja udah kayak pohon pisang kena angin kencang? Jadi tugas lo, Danu, adalah jadi pelindung. Kalau ada yang mau ganggu dia, lo harus maju duluan. Tapi jangan jadi sok jagoan, ya, atau gue yang tonjok lo nanti!"
Danu mengangguk perlahan, meski ekspresinya masih kesal. Yudha di sampingnya tersenyum puas, merasa menang dalam perdebatan yang nggak pernah ada.
Bagong beralih ke Yudha. "Nah, lo, Yud. Lo ini pintar, gue akuin. Tapi kepintaran lo harus ada gunanya, bukan buat ngadu-ngadu atau ngehina orang. Gue mau lo bantu Danu belajar. Biar dia nggak tambah bego."
"Eh, Bang! Kok gue dibilang bego terus, sih?" protes Danu, tapi Bagong menatapnya tajam.
"Lo diem dulu, gue belum selesai! Nah, Yud, lo bantuin dia, ya. Mulai dari hal kecil. Kasih tau dia kalau 2 tambah 2 itu 4, bukan 22. Kalau dia udah ngerti, baru ajarin yang lain."
Yudha mengangguk cepat, terlihat bangga karena dapat tugas lebih berbobot daripada Danu.
Bagong melanjutkan, suaranya penuh emosi. "Gue nggak minta lo berdua jadi dokter, insinyur, atau apa pun yang tinggi-tinggi. Gue cuma minta satu hal: LULUS. Gue nggak peduli nilai lo berapa, mau pas-pasan, mau remidi tiap hari, asal lo nggak dikeluarin dari sekolah. Pokoknya, gue mau lo lulus SMA, ngerti?!"
Dia menatap Danu dengan tajam. "Lo ngerti, Danu? Gue mau lo lulus. Nggak kayak gue, yang SD aja nggak tamat. Gue ini cuma bisa ngeceramahin lo karena pengalaman hidup gue banyak, bukan karena gue pintar. Jadi tolong, jangan jadi kayak gue."
Ruangan itu hening sesaat, kecuali suara tikus yang lari di atap seng rumah. Danu dan Yudha saling pandang, lalu menatap Bagong yang terlihat sangat serius.
"Oke, Bang. Gue janji," kata Danu akhirnya, meski wajahnya seperti habis kalah taruhan.
"Gue juga, Bang," sahut Yudha sambil menepuk pundak Danu dengan gaya sok akrab.
Bagong tersenyum lebar, lalu berdiri dan merentangkan tangannya. "Nah, gitu dong. Kalian bikin gue bangga! Sekarang, ayo kita pelukan biar dramatis, kayak di TV!"
Danu dan Yudha saling melirik, lalu dengan setengah hati maju untuk pelukan. Saat pelukan itu terjadi, Bagong menepuk punggung mereka keras-keras sampai keduanya terbatuk-batuk.
"Ingat, ya! Kalau kalian lulus SMA, gue traktir kalian makan ayam geprek level 10. Tapi kalau nggak lulus, lo bakal gue kasih makan sambel terasi tiap hari sampai lo kapok!"
Dan di bawah lampu redup yang hampir putus itu, Bagong tersenyum puas melihat dua bocah itu akhirnya mengerti apa yang dia inginkan—atau setidaknya berpura-pura mengerti.
...****************...
Suasana haru di rumah sempit itu pecah seketika ketika suara khas cowbell penjual ketoprak terdengar dari luar.
"Ketoprak! Ketoprak! Campur telur, campur tahu, tambah lontong!"
Danu dan Yudha yang tadinya penuh janji haru biru tiba-tiba berubah jadi bocah-bocah lapar tak terkendali. Mata mereka berbinar seperti anak kecil melihat es krim.
"Ketoprak! Om, gue mau beli ketoprak!" teriak Yudha dengan semangat berlebihan.
Tanpa menunggu jawaban Bagong, Danu sudah melesat duluan keluar pintu, hampir menjatuhkan kursi reyot di dekatnya. Yudha pun tak mau kalah, ikut berlari mengejar si abang ketoprak.
"Eh, eh, eh! Tunggu dulu! Lo mau bayar pake apa? Gue nggak ada duit, lho!" Bagong berteriak dari belakang, tapi Danu dan Yudha sudah terlalu jauh untuk peduli.
Bagong menghela napas, menunduk memandangi dompet lusuhnya yang sudah seperti celengan ayam kampung: bunyi koinnya ada, tapi isinya nggak cukup buat hidup mewah. Dia membukanya dengan dramatis, berharap ada mukjizat.
Tapi yang menyambut hanyalah satu lembar uang lima puluh ribu rupiah yang sudah hampir sobek, serta beberapa receh yang bahkan nggak cukup buat beli segelas es teh. Bagong menatap langit-langit, seolah meminta jawaban dari semesta.
"Ya Allah, kenapa anak-anak itu kalau urusan makan semangatnya kayak ikut lomba lari? Kalau urusan sekolah, jalan aja kayak siput koma..." gumamnya sambil memijit pelipis.
Tak lama, suara Danu dan Yudha terdengar dari luar, beradu dengan suara abang ketoprak.
"Bang, tambahin telur, Bang! Jangan pelit ya, Bang! Kasih bumbu yang banyak juga!"
Bagong hanya bisa menggeleng, mencoba menahan tawa campur kesal. Dia bangkit perlahan, meraih sandalnya yang sudah bolong di ujung, dan berjalan keluar menyusul dua anak yang sedang tawar-menawar seperti juragan kaya.
"Kalau lo bikin abang ketoprak itu bangkrut, gue sumpahin lo makan tahu busuk seminggu penuh!" teriaknya sambil mengatur langkah, meski dalam hati sudah pasrah.
Di ujung gang, di bawah lampu jalan yang redup, terlihat Danu dan Yudha sibuk memandangi abang ketoprak yang sedang meracik pesanan mereka dengan wajah penuh kebahagiaan. Bagong menatap mereka dari jauh, perasaan antara bangga, kesal, dan lapar bercampur aduk.
"Ya sudahlah," gumamnya sambil menepuk dompetnya sendiri, "yang penting mereka nggak pukul-pukulan lagi. Meski gue yang harus puasa, ya gapapa lah..."
...****************...
Di sebuah klub malam mewah di tengah hiruk-pikuk Jakarta, Ivan berjalan masuk dengan gaya bak pahlawan pulang dari perang. Setelan jasnya mengilap seperti baru keluar dari iklan deterjen, lengkap dengan kacamata hitam yang sama sekali tidak relevan untuk ruangan remang-remang.
"Woooo, I’m back, baby!" teriak Ivan, membentangkan tangan seperti sedang menyapa massa pendukungnya. Padahal, yang ada di depannya hanyalah DJ yang tampak kebingungan dan seorang pelayan yang hampir tersandung nampan minuman.
Ivan melangkah penuh percaya diri ke lantai dansa, seolah dunia adalah panggungnya. Tatapan orang-orang langsung tertuju padanya, sebagian heran, sebagian jijik, dan sebagian lagi terlalu mabuk untuk peduli. Tapi Ivan? Dia menikmati semuanya.
"Biarin aja mereka ngeliatin, gue kan spesial," pikirnya sambil menyeringai.
Di meja VIP, teman-temannya—yang lebih tepat disebut pengikut—sudah menunggu. Mereka menyambut Ivan dengan tepuk tangan ala kadarnya, lebih karena takut daripada tulus. Ivan mengambil botol sampanye dan menuangkan isinya ke gelas-gelas mereka dengan gaya sok ramah.
"Kita rayakan! Gue bebas, bro! Gue bersih! Justice has spoken!" teriaknya, mengangkat gelasnya tinggi-tinggi.
Salah satu temannya, yang sebenarnya ingin mengingatkan bahwa kasus Jessica bukanlah sesuatu yang pantas dirayakan, hanya bisa menelan ludah. Akhirnya dia ikut mengangkat gelas dan tersenyum kaku. "Iya, bro. Justice..."
Ivan lalu melangkah ke lantai dansa, bergoyang seperti ayam kehilangan arah. Dia jelas tidak peduli dengan irama musik, apalagi opini publik.
"Eh, eh, liat tuh Ivan. Masih aja nampang," bisik seorang pengunjung klub kepada temannya.
"Iya, berani banget. Padahal kan dia baru aja lolos dari kasus berat..." temannya menjawab, sambil terus mengawasi Ivan dengan tatapan tajam.
Namun Ivan tidak memedulikan apapun itu. Di kepalanya, dia adalah bintang utama.
"Gue nggak terkalahkan! Bokap gue mau jadi gubernur, dan gue? Gue bakal jadi pangeran Jakarta!" pikirnya sambil memutar tubuh di lantai dansa. Sayangnya, kakinya malah tersangkut kabel speaker.
"Bruuuukk!"
Ivan terjatuh dengan gaya dramatis, gelas sampanye di tangannya pecah, dan semua orang berhenti sejenak untuk memperhatikan.
"Gue nggak apa-apa! Gue nggak apa-apa!" Ivan berusaha bangkit dengan ekspresi sok santai, meskipun lututnya jelas sakit.
Teman-temannya segera membantu, tapi tawa kecil sudah terdengar di sana-sini. Ivan melotot ke arah orang-orang itu, berusaha menjaga sisa-sisa martabatnya.
"Ketawa aja! Gue nggak peduli! Gue bebas, bro! BEBAS!" teriaknya lagi, mencoba mengembalikan wibawanya, meski rasanya sudah melayang bersama pecahan sampanye di lantai.
Di sudut ruangan, seorang bartender berbisik pada rekannya.
"Katanya dia nggak bersalah, tapi kok auranya kayak pelaku sinetron jahat, ya?"
Rekannya hanya mengangguk sambil menahan tawa. "Yah, biarin aja. Panggung Jakarta kan gede, semua aktor dapet giliran."
...****************...