NovelToon NovelToon
Penyesalan Anak Dan Suami

Penyesalan Anak Dan Suami

Status: tamat
Genre:Tamat / Keluarga / Penyesalan Suami
Popularitas:4.7M
Nilai: 4.9
Nama Author: D'wie

Sikap anak dan suami yang begitu tak acuh padanya membuat Aliyah menelan pahit getir segalanya seorang diri. Anak pertamanya seorang yang keras kepala dan pembangkang. Sedangkan suaminya, masa bodoh dan selalu protes dengan Aliyah yang tak pernah sempat mengurus dirinya sendiri karena terlalu fokus pada rumah tangga dan ketiga anaknya. Hingga suatu hari, kenyataan menampar mereka di detik-detik terakhir.

Akankah penyesalan anak dan suami itu dapat mengembalikan segalanya yang telah terlewatkan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PAS 30

Seperti rencananya, pagi-pagi sekali Amar telah pulang ke rumah. Semenjak Aliyah koma, Amar jadi lebih perhatian pada anak-anaknya. Bahkan setiap pagi Amar pulang lebih awal untuk mengurusi segala keperluan anak-anaknya termasuk menyediakan sarapan. Meskipun ada ibunya di rumah, tapi Amar tidak serta-merta menyerahkan segala urusan rumah tangga pada sang ibu. Perlahan, ia mulai menyadari betapa berat tugas Aliyah selama ini.

Amar pulang ke rumah sebelum subuh. Setibanya di rumah, ia mengumpulkan pakaian kotor dan mencucinya. Amar mendesah lelah. Ternyata mencuci pakaian itu tak semudah yang ia kira. Apalagi tak ada mesin cuci di rumah itu. Ia mencuci menggunakan kedua tangannya sendiri. Baru berapa hari mencuci pakaian saja, telapak tangan Amar sudah terasa tak nyaman.

"Bagaimana Aliyah bisa melakukan segalanya sendiri?"

Seandainya ia sadar lebih awal, mungkin semuanya takkan menjadi seperti ini desahnya seraya menyelesaikan setiap pekerjaannya. Mulai dari mencuci pakaian, menyapu dan mengepel lantai, mencuci piring dan gelas kotor. Untuk sarapan, ia akan membeli di warung yang tidak jauh dari rumah mereka. Di sana terdapat berbagai macam makanan mulai dari nasi uduk, lemper, risoles, pempek, dadar gulung, bakwan, dan lain-lain. Amar tidak memiliki basic memasak jadi untuk makanan ia akan membeli. Namun karena beberapa hari ini ada ibunya di rumah, maka untuk makan siang dan makan malam ibunya lah yang memasaknya.

"Am, biar bunda yang memandikan Amri dan Gaffi. Kamu sebaiknya segera bersiap. Ini sudah hampir jam 7. Bukankah kau harus kembali bekerja hari ini," tukas sang ibu saat Amar hendak meraih Amri ke dalam gendongannya untuk dimandikan.

Amar melirik jarum jam di dinding, membenarkan perkataan sang ibu.

"Adek mandi sama Eyang dulu ya, Sayang. Ayah harus segera siap-siap pergi kerja," ujar Amar pada sang anak. "Abang Gaffi juga ya, Nak. Nggak papa kan?"

"Ibu ana ayah? Abang Affi hayu ibu," cicit Gaffi dengan tatapan sendu.

Amar lantas menurunkan Amri dan merengkuh anak keduanya ke dalam pelukannya.

"Ibu masih sakit, Sayang. Abang doain ibu ya supaya ibu segera sembuh," tutur Amar lembut sambil mengusap pipi Gaffi yang tidak segembul dulu. Sungguh sesak Amar rasa di dadanya. Ternyata ketiadaan Aliyah bukan hanya membuatnya kelimpungan, tapi anak-anaknya pun ikut merasakan kesulitannya. Sungguh ibu itu adalah pelita dalam sebuah rumah. Ibu itu adalah nyawa dalam sebuah keluarga. Ketiadaan ibu akan membuat rumah terasa hampa, mendung, dan seakan tidak bernyawa. Perbedaannya sungguh kentara. Tidak dapat dipungkiri, Aliyah adalah nyawa dalam rumah mereka. Sungguh ia membutuhkan Aliyah. Bukan untuk dirinya jadikan babu seperti dulu, tapi untuk ia jadikan pelita bagi rumah tangganya.

'Bangunlah, Al. Bangunlah. Kami membutuhkanmu. Kami merindukanmu.'

...***...

Amar telah tiba di kantor dimana ia berkerja hampir 10 tahun ini. Ya, Amar telah membaktikan dirinya hampir 10 tahun di sana. Amar pernah mencoba beberapa jenis pekerjaan dari kasir minimarket, sopir barang, karyawan toko, hingga penjaga gudang, dan hanya di perusahaan inilah ia sanggup bertahan lama. Selain karena ada jenjang karir, gaji yang didapat pun lumayan.

Amar sudah mulai bekerja sejak masih menempuh pendidikan di bangku kuliah. Ia tak tega membebani sang ibu yang merupakan single parent untuk membiayai kuliahnya.

Kalau ditanya bagaimana dengan ayahnya?

Apakah ia tidak memberikan nafkah sama sekali untuk biaya hidupnya selama ini?

Maka jawabannya adalah tidak. Bahkan ia menghilang begitu saja setelah ibunya menggugat cerai karena ketahuan telah mendua dengan rekan kerjanya sendiri.

Padahal usia Amar saat itu baru 13 tahun, sedangkan adiknya, Amara baru 10 tahun. Ibunya dijandakan karena janda. Sungguh kejam. Oleh sebab itu, Amar dan Amara sangat membenci ayahnya. Entah bagaimana kabarnya saat ini, mereka tak tahu dan tak ingin tahu sama sekali.

Amar memasuki kantor dengan raut wajah dingin. Tak ada senyum sedikitpun di bibir Amar.

Amar langsung mendudukkan bokongnya di kursi meja kerjanya. Ia langsung menyalakan komputer untuk melihat daftar pekerjaan yang mungkin harus ia kerjakan.

Tak lama kemudian, Budi dan Nafisa datang bersamaan. Amar sadar, tapi pura-pura tidak melihat.

Melihat keberadaan Amar, Budi dan Nafisa terkejut. Namun dengan sekejap mereka mengubah ekspresi wajah mereka. Bersikap biasa saja, seolah-olah mereka tidak sengaja datang bersamaan.

"Mas, kamu udah masuk lagi. Syukurlah. Kamu tahu, divisi kita terasa sepi banget karena ketiadaan kamu," ucap Nafisa antusias. Jangan lupakan senyum lebarnya seakan begitu senang melihat keberadaan Amar.

"Fisa benar, Mar. Ah, kamu tahu, aku benar-benar kerepotan karena kamu cuti. Hampir seluruh pekerja kamu dilimpahkan ke aku. Bahkan aku juga diikutsertakan dalam beberapa rapat dengan klien. Ternyata rasanya menyenangkan juga ya bisa bertemu dengan klien. Apalagi kalau pertemuannya di restoran mewah, benar-benar menyenangkan," tutur Budi bahagia.

Sontak Amar menoleh dengan mata memicing. Tapi dalam sekejap tatapan itu ia ubah menjadi binar bahagia. Ia berpura-pura ikut berbahagia dengan apa yang Budi lakukan.

"Wah, sepertinya ada yang akan segera naik jabatan nih!" ucap Amar dengan tersenyum lebar.

Budi tak dapat menutupi rasa bahagianya. Ketiadaan Amar di perusahaan ternyata begitu menguntungkannya. Ia mulai dipercaya apalagi setelah memberikan laporan yang diinginkan sang bos. Hasilnya yang sangat memuaskan membuat sang bos jadi memberikan kepercayaan padanya untuk ikut serta dalam beberapa pertemuan.

"Mas Amar kok dari tadi cuekin aku sih?" rajuk Nafisa dengan bibir mengerucut.

"Ah, iya, maaf. Apa kabar, Sa? Maaf, aku tidak pernah merespon pesan maupun teleponmu. Kau tahu sendirikan, aku benar-benar sibuk. Semenjak Aliyah koma, apa-apa harus aku kerjakan sendiri. Termasuk urusan anak-anak. Ini aja untung ada bunda yang bela-belain nginap di rumah supaya bisa bantu jagain anak-anak. Kalau nggak ada bunda, entah bagaimana dengan nasib anak-anak."

Ekspresi Nafisa seketika berubah sendu, "maafin sifat Fisa yang masih kekanak-kanakan ya, Mas. Mas sih, seharusnya bilang ke Nana supaya bisa bersikap seperti dulu ke Fisa. Padahal Fisa ikhlas lho mau jagain mereka. Eh, mereka malah kayak gitu. Fisa yakin, anak laki-laki Mas jadi kayak musuhin Fisa itu karena pengaruh Nana. Seharusnya Mas bisa yakinin anak-anak supaya bisa nerima Fisa. Fisa dengan senang hati kok jagain mereka selama mbak Aliyah koma," tutur Nafisa mencoba meyakinkan Amar sambil mencari simpati.

Amar tersenyum tipis membuat pipi Nafisa seketika merona.

"Aku nggak mau repotin kamu, Sa. Apalagi urus anak itu nggak mudah lho. Aku aja baru tau urusin anak itu rupanya serepot itu. Bahkan terkadang mau makan pun susah. Baru aja mau makan, eh anak-anak teriak mau pup lah, manjat jendela lah, numpahin air lah, main sabun lah. Pokoknya repot banget. Aku malah salut sama Aliyah, selama ini ia selalu mengurus semuanya dengan kedua tangannya sendiri. Meskipun terkadang mengeluh sampai membuat aku marah, sekarang aku sadar keluhannya itu ternyata hanya untuk berbagi cerita. Ia tidak menuntut untuk aku turun tangan membantunya. Hanya sekedar ingin didengarkan. Itu saja. Tapi dengan bodohnya aku mengabaikannya."

Wajah Amar berubah sendu.

Entah mengapa Nafisa merasa kesal dengan penuturan Amar mengenai Aliyah. Ada rasa terima saat Amar tampak begitu memuji Aliyah.

"Namanya juga seorang ibu. Udah jadi tanggung jawabnya mengurus semuanya," jawab Nafisa sekenanya. Namun nadanya terdengar sedikit sewot. Amar bisa merasakannya.

Bila dia adalah Amar yang dulu, ia pun pasti akan membenarkan. Namun sekarang tidak. Ia justru kesal saat Nafisa berkata semaunya.

Untung saja jam kerja dimulai. Semua orang kini tengah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Namun saat hendak mengerjakan pekerjaannya, dahi Amar mengernyit. Beberapa data di komputernya raib. Amar yakin ada yang sudah menyabotase komputernya.

Amar bingung, ia harus mulai menyelidikinya dari mana. Ingin meminta rekaman cctv ruangan itu dengan tim IT perusahaan, sayangnya tidak bisa. Semuanya harus sesuai instruksi sang atasan. Tanpa izinnya, tidak ada yang boleh meminta rekaman cctv perusahaan. Amar mengepalkan tangan. Sepertinya memang ada yang ingin menjatuhkannya di perusahaan itu. Kalau ditanya siapa, maka ia hanya mencurigai satu orang.

...***...

...HAPPY READING ❤️❤️❤️...

1
Mirani Rani
Lumayan
Mirani Rani
Luar biasa
Husnul Khalifah
baru baca pala udah puyeng apalagi kalo ada di posisi aliyah
Yovita Vita
gak seru,polisinya polisi india
Yovita Vita
pasti si penjahat budi
Yovita Vita
ayahnya amar yg datang
Yovita Vita
budibyg mukul amar
Yovita Vita
dasat nafisa sundal
Yovita Vita
aliyah😭😭😭
Yovita Vita
alaram yg berbunyi di ponsel aliyah
Yovita Vita
amar dn fisa kakak beradik
Yovita Vita
baru tau rasa,amar laki brengsrk
Vivi Abdi Aza
Luar biasa
Vivi Abdi Aza
Lumayan
Yovita Vita
gk tega q,Ikutan 😭😭
CikCintania
perkara paling menakutkn di dunia kehilangan org paling d sayang.. 😭😭
CikCintania
lah kenapa xpenjarakn saja.. nanti d luar makin teruk pula🤭🤭
CikCintania
Ayok adik beradik kali🤭🤭
Yovita Vita
batu baca bab 1 udh mancing emosi
CikCintania
Didikn Bundanya sdh betul anaknya sendiri yg maw jadi setan ..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!