Lanjutan dari novel Iblis penyerap darah, untuk baca season 2 gak wajib baca season 1,tapi kalau mau baca itu lebih bagus.
Kaisar Mo Tian adalah tirani hidup. Dikenal sebagai Iblis Darah Abadi, ia memimpin Kekaisaran dengan tangan besi dan kegilaan yang disengaja. Bagi Mo Tian, kesetiaan adalah segalanya; pengkhianatan dibalas dengan pembantaian brutal—seperti yang dialami para pemberontak Sekte Tinju Api, yang dihancurkan tanpa sisa olehnya dan Liu Bai, sang Tangan Kanan yang setia namun penuh kepedulian.
Di mata rakyatnya, Mo Tian adalah monster yang mendamaikan dunia melalui terror. Namun, di balik dominasinya yang kejam, bersembunyi luka lama dan kilasan ingatan misterius tentang seseorang Seorang wanita cantik misterius yang mampu memicu kegelisahan tak terkendali.
Siapakah dia? Apakah dia adalah kunci untuk menenangkan Iblis Darah, atau justru pedang bermata dua yang akan menghancurkan Takhta Abadi yang telah ia bangun?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agen one, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20: Perjuangan penuh darah
Setelah kematian tragis Jenderal Li, kekosongan komando segera diisi. Sang Jenderal dengan Zirah Perak yang berkilauan, yang memanggul tombak panjang, menderu penuh kesedihan dan amarah. "Jenderal Li sudah gugur! Balaskan dendam Jenderal Li!"
Teriakan itu seperti pemantik api spiritual yang mampu membuat amarah pasukan Kekaisaran meningkat tajam. Pasukan Kekaisaran berteriak histeris, melupakan rasa takut, dan mulai membunuh musuhnya dengan brutal.
Setiap tebasan adalah penentu siapa yang akan hidup dan siapa yang akan menjadi mayat. Pasukan Kekaisaran berkurang sangat cepat, barisan mereka menipis, karena jumlah musuh yang jauh lebih banyak dan tak henti-hentinya mendesak.
Tapi mereka tidak gentar dan takut. Mereka semua justru semakin membara dan maju tanpa ampun, didorong oleh kesetiaan mutlak.
Teknik Tombak: Kincir Angin Baja!
Sang Jenderal Perak memutar tombaknya seperti kincir angin yang berputar gila, menciptakan pertahanan dan serangan dalam satu gerakan. Ia lalu menusuk-nusuk musuhnya seperti daging yang ditusuk oleh tusukan bambu, cepat dan tanpa celah. Musuh-musuh itu diangkat ke atas dan dilemparkan ke depan sehingga menabrak musuhnya sendiri.
Jenderal Perak tidak hanya melakukan itu, ia mencambuk kudanya agar berlari lebih cepat. Kecepatan kudanya sangat cepat, melesat seperti anak panah, sehingga setiap serangan dari tombaknya menambah kekuatan dorongan yang mematikan.
Sang Jenderal menusuk jantung setiap musuhnya yang berada di depannya. Tapi ia harus berhenti di tengah jalan karena musuh berhasil melukai kaki kudanya dengan panah qi tersembunyi. Kuda itu tersentak, merintih kesakitan, dan ia jatuh, tertimpa kuda besarnya.
Dengan cepat ia bangkit dari timpaan kuda, melompat sambil memutar tombaknya, dan bersiap untuk bertahan. Di sekitarnya ia dikelilingi oleh pasukan berkuda musuh, seperti terkurung layaknya semut di dalam lingkaran racun.
Sang Jenderal menguatkan kuda-kudanya, lututnya sedikit ditekuk. Ia harus waspada dengan serangan tidak terduga dari berbagai sisi. Sang Jenderal berusaha bertahan sambil fokus melihat gerakan musuhnya.
"Lihat dia, menyedihkan sekali!" Salah satu musuh yang mengelilinginya tersenyum sinis, penuh penghinaan. Karena dia berada di kuda, itu memudahkannya untuk menyerang Jenderal.
Musuh pertama menyerang dengan pedang qi dan Jenderal menangkisnya dengan tombak. Tapi musuh yang berada di belakang dan arah lainnya ikut menyerang secara bersamaan. Untuk saat ini Jenderal masih dapat bertahan, ia melompat ke atas, gerakan yang cepat dan sulit diantisipasi, sehingga berhasil menghindari tusukan tombak yang datang.
"Kalian lah yang akan mati!" Jenderal memutar tubuhnya di udara, memanfaatkan momentum, lalu menusuk cepat ke arah salah satu musuh sampai kepalanya tertembus dan hancur seperti buah busuk.
Musuh itu tumbang dan menyisakan beberapa musuh yang mengepung. Jenderal mendarat di tanah gersang penuh akan darah, keseimbangannya sedikit goyah. Musuh yang lain berhasil melukai tangan kirinya, untung saja Jenderal menghindar, memutar badannya, sehingga luka yang diterima tidak parah, hanya sayatan dalam yang mengeluarkan darah deras.
Sambil menahan rasa sakit yang menusuk, Jenderal menggeretakkan giginya. Dengan satu tangan tersisa, ia menguatkan pegangan tangannya yang memegang gagang tombak.
Teknik Tombak Berputar: Badai Pertahanan!
Jenderal berputar-putar seperti gasing yang menciptakan hembusan angin cepat, melindungi tubuhnya. Musuh yang melihat itu secara bersamaan menyerang, pedang dan tombak menusuk, tapi dengan mudahnya Jenderal menangkis dan menyerang balik dengan ujung tombaknya.
Beberapa musuh dengan kecepatan gila tiba-tiba tumbang dengan tubuh tertembus oleh tombak dan berakhir mati.
Jenderal terus melakukan tekniknya selama beberapa menit yang terasa seperti jam, sampai ia kelelahan parah. Ia berhenti dengan napas terengah-engah, paru-parunya seperti terbakar, ia bertumpu dengan tombak yang ditancapkan di tanah.
Sedangkan musuhnya semakin banyak mengeroyoknya, formasi mereka kembali rapat, seakan tidak ada habisnya. Jenderal menatap tajam musuhnya, ia tahu bahwa kemungkinan untuk selamat itu hanya sedikit, bahkan hampir mustahil.
"Haah... Huuh... Aku tidak akan mati, demi keluargaku!" Dia mencabut tombaknya lalu mengarahkan ujungnya yang berdarah ke arah musuh.
Dia berlari ke depan, serangan terakhir dari seorang pahlawan, dan membantai musuh dengan kecepatan tombak gilanya, walaupun begitu ia tetap beberapa kali terkena serangan yang fatal.
Tubuhnya tersayat dan penuh akan luka terbuka, baju zirahnya hancur. Ketika ia sudah menghabisi banyak musuh, ia berlutut dengan bantuan tumpuan tombaknya.
Ia tersenyum penuh kemenangan dan merasa akan selamat. "A-aku berhasil. Setelah ini aku akan bermain dengan anak-anakku." Senyum itu terukir tulus di wajahnya, tapi ia merasa seperti melayang dan kilasan ingatan bermunculan cepat.
"A-ayah, aku takut!" Anaknya memeluk ibunya dengan erat. Jenderal menatap mereka dan berusaha bersikap tenang, menyembunyikan terornya. "Ada ayah, nak, ayah akan melindungimu apapun yang terjadi."
Anak-anak Jenderal yang lain bergetar hebat, begitu pula dengan istrinya. Saat itu tempat mereka tinggal sedang terjadi perang sengit antara Kerajaan Darah Abadi yang dipimpin oleh Kaisar melawan Kekaisaran Lama.
Kaisar dan pasukannya menyerbu dan membunuh setiap musuhnya dengan kejam. Dan pada akhirnya Kaisar berhasil menemukan keberadaan sang Jenderal (yang saat itu masih rakyat biasa) bersama keluarganya.
Pintu rumah mereka dihancurkan dengan mudah. Kaisar masuk dengan menunggangi kudanya, aura membunuhnya tebal. Tatapan tajam dan dingin Kaisar sudah dapat membuat Jenderal merinding, tapi ia tidak mungkin kabur karena ada orang yang disayangi yang harus dilindungi.
Saat itu Kaisar memegang Pedang Iblisnya yang baru ia ciptakan, bilahnya hitam kelam. Jenderal mengacungkan tombaknya dengan gemetaran. Kaisar yang melihat itu berniat membunuhnya dengan satu kali tebasan.
Tapi ia tidak jadi melakukan itu karena melihat sesosok anak-anak dan wanita yang saling berpelukan. Tiba-tiba Kaisar berbalik dan meninggalkan mereka dengan tenang. "Pergilah yang jauh! Tempat ini akan menjadi lautan darah!"
Walaupun ia dijuluki sebagai orang yang sangat kejam, sisi belas kasihnya yang dingin ini membuat Jenderal tersentuh dan merasa berutang budi, bahkan sampai saat ini.
Kilasan ingatan singkat itu tertampar di mata Jenderal seperti layar lebar yang menghibur jiwanya. Perlahan matanya menjadi kosong dan hampa—yang ternyata kepalanya sudah berpisah dari tubuhnya.
Kepala Jenderal terguling dan terinjak-injak oleh kuda musuh dan hancur seperti buah tomat yang dipecahkan. Pada akhirnya, mimpinya gagal terwujud, dan keluarganya berharap ia kembali dengan keadaan hidup yang sia-sia.