Hagia terkejut bukan main karena dirinya tiba-tiba dilamar oleh seorang pria yang jauh lebih muda dari usianya. Sebagai seorang janda beranak satu yang baru di ceraikan oleh suaminya, Hagia tidak menyangka jika tetangganya sendiri, Biru, akan datang padanya dengan proposal pernikahan.
"Jika kamu menolakku hanya karena usiaku lebih muda darimu, aku tidak akan mundur." ucap Biru yakin. "Aku datang kesini karena aku ingin memperistri kamu, dan aku sadar dengan perbedaan usia kita." sambungnya.
Hagia menatap Biru dengan lembut, mencoba mempertimbangkan keputusan yang akan diambilnya. "Biru, pernikahan itu bukan tentang kamu dan aku." kata Hagia. "Tapi tentang keluarga juga, apa kamu yakin jika orang tuamu setuju jika kamu menikahi ku?" ucap Hagia lembut.
Di usianya yang sudah matang, seharusnya Hagia sudah hidup tenang menjadi seorang istri dan ibu. Namun statusnya sebagai seorang janda, membuatnya dihadapkan oleh lamaran pria muda yang dulu sering di asuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Starry Light, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
"Jadi ini bukan rumah kamu, Mas?" tanya Dewi setelah kepergian Hagia. Heru hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan.
"Kamu gimana sih Mas! Terus kita mau tinggal dimana? Aku gak mau tinggal sama ibu kamu! Dia itu cerewet banget, apa-apa Hagia, dikit-dikit Hagia." kesal Dewi karena selalu dibanding-bandingkan dengan Hagia oleh Fatma.
"Dia ibuku, Dewi." bela Heru.
"Iya, ibu kamu yang bawel itu!" seru Dewi marah. "Pokoknya aku gak mau tahu, aku udah suka sama rumah ini, lingkungannya juga aku suka, mas harus beli rumah ini dari mbak Hagia!" kata Dewi tidak ingin meninggalkan rumah itu.
"Gak bisa gitu dong, rumah ini mahal. Aku gak punya uang sebanyak itu buat belinya," kata Heru mendengus kasar.
"Kamu kan kerja, masa iya gak punya uang."
"Kamu lupa kalau aku juga membiayai adik dan orang tuamu? Belum lagi pengeluaran kamu yang boros, bukannya bantu aku cari uang, bisa nya cuma ngabisin uang aku aja." keluh Heru. Dulu saat berumah tangga dengan Hagia, Heru tidak pernah kesulitan tentang uang. Apalagi Hagia dengan suka rela menggunakan uangnya untuk keperluan rumah tangga.
Berbeda dengan Dewi, yang tidak bekerja, boros, belum lagi Heru harus memenuhi kebutuhan orang tua dan adiknya Dewi. Rasanya, belum seminggu menerima gaji, Heru sudah tidak punya pegangan lagi, belum lagi harus membayar cicilan mobil, yang masih tiga bulan lagi lunasnya.
"Kamu kok nyalahin aku sama orang tua aku sih, Mas! Kan kamu yang janji sama mereka untuk membiayai hidup mereka, dan aku. Kamu lupa, dulu kamu bilang kalau aku hanya perlu dirumah ngurus anak, gak bolah capek-capek kerja!" ungkit Dewi tak terima jika Heru menyalahkannya dan keluarganya.
"Iya, Mas tahu. Kalau begitu kamu jangan minta Mas buat beli rumah ini, karena Mas gak punya uang sebanyak itu. Mas gak bermaksud nyalahin kamu," ucap Heru pelan.
"Terus kita tinggal dimana?" tanya Dewi.
"Ya, dimana lagi. Kita ngontrak aja dulu." kata Heru sambil menggaruk kepalanya.
"Apa! Ngontrak? Gak ya, aku gak mau tinggal dirumah kontrakan." sahut Dewi.
"Jadi kamu mau tinggal dimana? Rumah ibu?" tanya Heru lembut.
"Kamu lupa kalau aku udah diusir sama ibu kamu!" sungut Dewi. Heru meraup wajahnya dengan kasar.
"Ya, makanya kamu yang sabar sama ibu. Ibuku itu baik lho, kamu harus pintar-pintar ngambil hatinya." bujuk Heru.
.....
Biru membawa sepiring bakwan yang masih panas, lengkap dengan saus dan cabe rawit. Dengan langkah pelan, Biru menghampiri Salma yang sedang duduk santai di dekat kolam renang. Wanita paruh baya itu terlihat sedang membaca sebuah buku filsafat.
"Umi," panggil Biru pelan, Salma hanya melirik dengan ekor matanya. Biru meletakkan piring bakwan itu di meja, lalu duduk di kursi kayu yang ada disebelah meja.
Pria itu menghela napas berat melihat respon Salma yang masih mengabaikannya. "Umi, maafin Biru, kalau keputusan Biru melukai hati Umi. Biru gak bermaksud membuat Umi marah atau sakit hati." Biru menatap sendu pada wanita yang telah memberinya kehidupan itu.
"Umi, Biru sedang bicara dengan, Umi." biru menarik lengan gamis Salma.
"Ya bicara saja," sahut Salma tanpa melihat putranya.
Biru kembali menghela napas berat sebelum bicara. "Menjadi seorang janda itu bukan cita-cita atau suatu pencapaian yang bisa di banggakan. Biru yakin, jika hanya orang-orang tertentu yang bisa menyandang gelar itu. Menjadi janda itu berat, Umi. Dia harus bekerja keras menafkahi dirinya sendiri, kadang juga menafkahi anak-anaknya, harus berperan ganda sebagai ibu dan ayah di waktu yang sama. Setiap langkah harus di pikirkan matang-matang, karena status janda sering kali jadi bahan spekulasi tanpa melihat latar belakangnya. Banyak yang berasumsi negatif, seolah-olah janda identik dengan wanita yang tidak baik."
Salma terdiam mendengar ocehan Biru, entah kenapa hatinya sedikit terusik. "Jadi kamu mau bilang kalau Hagia itu hebat?" kata Salma sinis.
Biru tersenyum. "Semua perempuan itu hebat, Umi. Bahkan Umi adalah wanita hebat, dimata Abi, Bilal, dan Biru. Menjadi perempuan hebat, tidaklah harus menjadi seorang janda." Biru menyodorkan piring bakwan itu pada Salma.
"Bakwan ini buatan Biru, lho. Umi yakin gak mau cobain?" kata Biru. Gorengan satu itu memang menjadi salah satu favorit Salma, apalagi jika Biru yang membuatnya.
Salma mengambil satu bakwan plus cabe rawitnya. "Umi gak akan luluh hanya karena bakwan." katanya mulai menggigit bakwan.
Lagi-lagi Biru hanya tersenyum. "Biru tahu. Biru cuma pingin bilang sama Umi, kalau Hagia itu tidak seperti yang Umi pikirkan." Biru menatap lurus kedepan, memilih kata-kata yang akan ia sampaikan pada Salma.
"Dari segi usia, mungkin Hagia lebih dewasa, pengalamannya lebih luas, pintar dan mandiri." Salma berhenti mengunyah. "Tapi Biru yakin, bahwa semua itu tidak akan membuat Hagia lupa akan posisinya sebagai istri, yang harus menurut dan menghormati suaminya, selama tidak melanggar norma dan agama. Biru tidak akan kehilangan harga diri sebagai seorang suami dan kepala keluarga, meskipun usia Biru lebih muda." Biru menatap Salma yang kini terdiam mendengarkan.
"Umi jangan khawatir kalau Hagia tidak akan menghargai dan menghormati Biru sebagai suaminya. Umi cukup percaya dan yakin, jika Hagia adalah wanita yang tepat, untuk menjadi pendamping hidupku." Biru meyakinkan Salma. Wanita paruh baya itu terlihat menghela napas dalam-dalam.
"Apa kamu benar-benar yakin dengan keputusan kamu? Umi hanya tidak mau kalau suatu saat kamu menyesal," Salma masih berharap jika putranya akan berubah pikiran.
Biru menggelengkan kepalanya. "Insyaallah Biru yakin dengan pilihan Biru." sahut biru mantap. Salma hanya bisa mengangguk pasrah, setelah mendengarkan perkataan Biru yang panjang lebar itu, membuat Salma sedikit sadar. Jika apa yang dijalani oleh Hagia bukan hal yang mudah.
Salma sangat tahu jika Hagia adalah wanita yang baik, namun setelah tahu betapa Hagia keras kepala untuk belajar dan bekerja keras, membuat Salma sedikit tidak suka. Atau, lebih tepatnya iri, karena saat masih muda, Salma menyerah begitu saja pada cita-citanya.
Jika saja dulu Salma juga keras kepala seperti Hagia, mungkin saat ini Salma bukan hanya menjadi ibu rumah tangga. Tapi seorang wanita mandiri, dengan karir atau bisnis cemerlang.
"Semuanya sudah berlalu, mungkin sebagai gantinya, menantuku yang memenuhi segala impianku." batin Salma mulai menerima keputusan putranya untuk meminang Hagia.
"Jadi, Umi setuju kalau Biru melamar Hagia?" tanya Biru memastikan.
Salma tersenyum tipis dan mengangguk pelan. "Bukannya kamu tetap akan melamarnya, meskipun Umi tidak setuju." sindir Salma.
Biru tertawa pelan. "Biru cinta banget sama Mbak Hagia, mungkin terdengar jahat. Tapi Biru sangat senang saat Bilal bilang kalau Mbak Hagia bercerai dengan suaminya." kata Biru membuat Salma terkejut.
"Jadi selama ini kamu doain...,"
"Ya nggak lah, Biru gak sejahat itu. Tapi Biru selalu minta sama Allah untuk menghapus perasaan Biru padanya, kalau memang dia bukan jodoh Biru." ya, mungkin saja salah satu penyebab perceraian Hagia adalah doa-doa tulus yang dipanjatkan oleh Biru setiap malam. Hingga akhirnya menjadi jalan untuk Biru memperistri Hagia, mungkin saja.
*
*
*
*
*
TBC