NovelToon NovelToon
Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Era Kolonial
Popularitas:8.6k
Nilai: 5
Nama Author: Hayisa Aaroon

1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.

Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.

Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.

Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.

Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.

Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

11. Pertukaran yang Adil

"Saya ingin pertukaran yang adil.” Marius mengangguk. “Saya bantu Anda masuk kadipaten, bertemu putra Anda. Anda bantu saya dengan ... informasi. Hal-hal yang mungkin dibicarakan Soedarsono saat santai. Dokumen yang mungkin terlihat. Percakapan yang terdengar."

"Itu ... itu berbahaya, Tuan." Pariyem mulai ketakutan.

"Tidak lebih berbahaya dari hidup tanpa bisa melihat anak sendiri.” Marius menatap iba. "Lagipula, bukankah Anda baru saja berkata bahwa Anda akan melakukan apa saja?"

Pariyem menunduk, memikirkan. Ini pengkhianatan. Tapi untuk Pram … secercah harapan mulai muncul di matanya.

"Tapi … bagaimana caranya, Tuan?” Ragu-ragu Pariyem mengangkat wajah. “Penjagaan begitu ketat."

Marius tersenyum tipis. "Nyonya bisa bersembunyi di kereta saya, kereta seorang Asisten Residen tidak akan diperiksa ketat. Malam nanti, saat pesta mencapai puncak, dan kemungkinan sebagian besar mulai mabuk, akan ada pergantian penjaga. Lima belas menit celah waktu. Nyonya bisa keluar dari kereta dan menyusup."

Dia mengeluarkan secarik kertas dari laci. "Ini denah bagian dalam kadipaten. Hafalkan baik-baik. Kamar bayi ada di paviliun barat, jendela ketiga dari kiri."

Pariyem menerima peta dengan tangan gemetar. Tidak bisa membaca keterangannya, tapi gambarnya cukup jelas.

"Kenapa Tuan membantu saya?" tanya Pariyem tiba-tiba.

Marius terdiam sejenak. "Mungkin karena saya tahu rasanya kehilangan. Atau mungkin …," dia menatap foto sang istri, "karena saya muak melihat ketidakadilan yang dibungkus adat."

Dari luar terdengar tangis bayi. Marius menghela napas.

"Willem lapar. Ibu susu yang kami dapat, perempuan kisaran 45 yang anaknya sudah hampir 2 tahun. Air susu sedikit. Saya harus—"

"Saya bisa menyusui," ucap Pariyem tiba-tiba, lalu menutup mulut dengan tangan, terkejut dengan keberaniannya sendiri.

Marius menatapnya dengan ekspresi terkejut.

"Maaf, Tuan. Saya lancang. Saya hanya ingin membalas kebaikan Tuan. Dada saya masih penuh susu untuk anak yang tidak bisa saya susui."

Ada keheningan panjang. Kemudian Marius berkata pelan, "Mungkin ... itu akan membantu. Babu saya selama ini menambah susu dengan susu sapi. Tapi putra saya sepertinya tidak cocok, perutnya kembung sekali dan terus menangis."

Dia memanggil pengasuh. Perempuan tua itu masuk dengan bayi yang menangis keras.

"Bawa Willem ke sini."

Dengan canggung, Pariyem menerima bayi mungil itu. Rambutnya pirang tipis, kulitnya putih kemerahan. Begitu berbeda dengan bayangan Pram yang berkulit kuning langsat.

Marius keluar untuk memberikan ruang, dia bermain dengan anak-anaknya yang lain di taman.

Di ruangan, Pariyem membuka kancing kebayanya sembari mencoba menenangkan bayi yang merengek. Bayi itu langsung menempel, menyusu dengan rakus.

Keheningan mengisi ruangan, hanya sesekali diusik oleh suara decap bayi menyusu. Air mata mengalir di pipi Pariyem. Ini pertama kalinya dia menyusui bayi sejak Pram diambil.

Tak lama, Willem tertidur pulas di pelukan Pariyem.

“Mbok, bayinya sudah tidur.” Ia menoleh pada babu yang sejak tadi sabar menunggu sembari merapikan ruangan. “Lebih baik ditidurkan di kamar.”

“Njih … Nyai.” Dengan hati-hati bayi yang terlihat agak kurus itu dibawa keluar.

Di pintu, Marius memanggil. "Nyonya Pariyem."

"Ya, Tuan?"

"Saya mengucapkan terima kasih." Pria itu sedikit membungkuk, membuat Pariyem tersentuh dengan ucapan itu.

Seumur-umur, belum pernah ia mendapatkan ucapan terima kasih dari seorang pejabat Belanda.

Pariyem tersenyum sambil mengusap air mata di pipinya. "Itu bukan apa-apa, Tuan. Hanya susu. Sedangkan Tuan ... Tuan mengambil risiko besar menyelundupkan saya ke dalam kadipaten."

"Risiko yang sepadan." Marius kembali ke kursinya, meraih peta yang tadi dia berikan pada Pariyem. "Nah, selagi menunggu malam tiba, Nyonya bisa beristirahat dan menghafalkan denah ini. Saya sudah menandai semua ruangan penting. Kamar bayi ada di sini," jarinya menunjuk salah satu kotak di kertas. "Dapur di sini. Ruang penjaga di sini. Jalur paling aman untuk—"

"Maaf, Tuan." Pariyem memotong dengan suara pelan. "Saya ... saya tidak bisa membaca. Entah huruf Jawa maupun huruf Belanda. Tolong jangan terlalu cepat menjelaskannya."

Marius mendongak, terkejut. "Oh …."

"Kami rakyat jelata tidak bisa membaca dan menulis, Tuan. Hanya ningrat dan orang-orang yang mampu yang bisa mendapatkan pendidikan. Saya hanya abdi dalem dapur. Belajar memasak, membersihkan rumah, melayani majikan. Tidak pernah menyentuh lontar atau buku."

Hening sejenak. Marius menatap Pariyem dengan tatapan kasihan, tapi juga ada kekhawatiran di sana. Tentu saja, mata-mata yang tidak bisa membaca dokumen akan sangat terbatas kegunaannya.

Tapi kemudian dia mengangguk perlahan. "Tidak apa. Yang penting Nyonya bisa bicara dengan baik dan mengorek informasi dari Tuan Bupati. Masalah dokumen ... itu bisa kita pikirkan nanti."

Marius bangkit dari kursinya, membawa peta ke meja yang lebih rendah di sudut ruangan. Dia menarik kursi lain, mempersilakan Pariyem duduk.

"Mari saya jelaskan," ujarnya sambil sedikit mencondongkan tubuh, jari telunjuknya mulai menunjuk gambar-gambar pada denah. "Ini gerbang utama. Kereta saya akan masuk lewat sini. Begitu masuk, akan ada jalan setapak bercabang tiga. Cabang kiri menuju pendopo utama—tempat pesta. Cabang tengah ke rumah utama bupati. Cabang kanan ke paviliun-paviliun keluarga."

Pariyem mendekat, matanya mengikuti setiap gerakan jari Marius dengan penuh perhatian. Otaknya bekerja keras menghafalkan.

"Nyonya akan keluar dari kereta. Kemudian ikuti jalan setapak ini," jarinya menelusuri garis berkelok-kelok, "melewati taman bunga, melewati kolam ikan, sampai paviliun barat. Paviliun besar. Di sana ada lima kamar. Kamar bayi ada di tengah, jendela ketiga dari kiri jika Nyonya berdiri menghadap bangunan."

"Jendela ketiga dari kiri," ulang Pariyem pelan, menghafalkan. "Paviliun barat."

"Bagus." Marius tersenyum tipis. "Penjaga ada di sini dan di sini," dia menunjuk dua titik. "Tapi saat pergantian penjaga, mereka akan berkumpul di pos utama untuk serah terima. Lima belas menit. Waktu itu Nyonya harus bergerak cepat, lalu kembali ke parkiran kereta.”

Marius menatap serius. “Tunggu saya di kereta sampai acara selesai, jangan ke mana-mana. Saya akan meminta kusir untuk membantu mengalihkan perhatian jika sewaktu-waktu terjadi hal buruk di luar rencana. Dia akan melindungi Nyonya."

Pariyem mengangguk dengan semangat, matanya berbinar. Untuk pertama kalinya sejak kehilangan Pram, ada harapan nyata di dadanya. Bukan lagi mimpi kosong. Ini rencana. Rencana yang bisa dijalankan.

“Area parkir di mana, Tuan?"

"Di sini. Jauh dari kamar bayi.” Marius menunjuk kotak luas di bagian samping komplek. “Anda harus berhati-hati."

Marius menambahkan simbol-simbol yang mewakili keterangan gambar sebelum melipat peta dan menyerahkannya pada Pariyem. "Simpan ini. Kalau lupa, buka lagi. Gambarnya jelas."

Kemudian dia berdiri, berjalan ke pintu, membukanya sedikit dan memanggil, "Suti …!"

Seorang perempuan Jawa setengah baya dengan kebaya cokelat sederhana dan kain jarik batik muncul.

Rambutnya diikat rapi dalam sanggul rendah, wajahnya tenang dengan tatapan ramah. Kulitnya sawo matang penuh keriput.

"Ya, Tuan?”

1
Ricis
tetaplah waspada Yem, jangan ceroboh & mudah percaya dgn orang
Lannifa Dariyah
pariyem k t4 sumi, apa akan menggoda Martin juga?
oca
aku juga mules yem,takut kamu di apaapain😬
oca
jangan2 suruhan kanjeng ibu
oca
pinteeer kamu yem
SENJA
naaah gitu le jangan cuma nunduk2 aja,,, protes! tanya! 😙
oca
neeeh kumat merasa berjasa🤣
oca
🤭🤭🤭🤭
🌺 Tati 🐙
pokonya hati2 dan waspada Yem,mau dia baik tetep kita harus hati2
SENJA
buset pemikirannya gini amat yak 😂 astaga miris ya
SENJA
ddihhh jahat banget yah 🥺😑
SENJA
hmmn tugasmu yem buat ngorek2 tapi harus hati2 yem 😂
SENJA
kamu kan laki2 kamu imam lho! masa cemen gini yak ternyata 😪😂
SENJA
addduh sayang kau tak bisa baca tulis yem 😑
SENJA
deal sudah ! pinter juga kau yem 👌
Eniik
❤❤❤
Fitriatul Laili
mau diracun ya kayaknya
Kenzo_Isnan.
oalah yem yem karma dibayar tunai ,,tp kok yo melas men yem yem ra tegel q ngikuti kisah mu sek sabar yo yem yem
Kenzo_Isnan.
lanjut kak ayoo semagaaattt 💪💪💪💪
🌺 Tati 🐙
ditunggu kabar sumi dan keluarga besarnya...yem sekalian kamu minta maap sama sumi,kalau perlu minta bantuan sumi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!