NovelToon NovelToon
Saat Aku Bernafas Aku Berharap

Saat Aku Bernafas Aku Berharap

Status: tamat
Genre:Tamat / Mafia / Konflik etika / Mengubah Takdir / Romansa
Popularitas:10.4k
Nilai: 5
Nama Author: Rurri

Mengejar mimpi, mencari kebahagiaan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, Raka harus menghadapi keadaan pahit atas dosa-dosa sosialnya, juga konflik kehidupan yang tak berkesudahan.

Meski ada luka dalam duka, ia harus tetap bersabar. Demi bertemu kemanfaatan juga kebahagiaannya yang jauh lebih besar dan panjang.

Raka rela mengulang kembali mimpi-mimpinya. Walaupun jalan yang akan dilaluinya semakin terjal. Mungkinkah semesta akan mengamini harapannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rurri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kota Bahari

"Kenapa membawa perempuan ke sini, sudah gila kalian!" seruku pada mereka yang sempoyongan, satu perempuan dan tiga lelaki.

"Santai dulu, Raka. Santai ... ," sahutnya ringan.

"Pergi - pergi, jangan ke sini dulu." Mendorong. "Kamu, kan tahu sendiri, aku baru saja pulang, baru satu hari di rumah. Jangan membawa masalah ke sini." Mengusir mereka.

"Dengarkan aku sebentar, Raka." Nadanya memelas sambil memapah dua orang teman yang sedang mabok, di sisi kanan dan di sisi kirinya. "Aku juga bingung, mau dibawa ke mana. Lihat ini, keduanya sudah nggak sadar. Buruan tolongin aku, pegang ini," pintanya.

Perempuan itu hanya bergeming, sedari tadi berdiri menunduk di belakangnya Bagas. Aku mengambil Toni, menyangganya ke bahuku. "Ayo, kita ke basecamp saja," ucapku pada Bagas.

Bagas berjalan mengikutiku dari belakang dengan memapah Deni.

"Maaf, yah. Sudah ngerepotin," ujar perempuan yang belum aku kenal, dia ikut membantuku memapah Toni.

Kami berjalan menuju basecamp yang sudah tujuh tahun di tinggalkan, semenjak kita lulus SMA.

Sesampainya di basecamp. "Bagaimana ini, ceritanya?" tanyaku pada Bagas.

"Biasalah, anak muda ... ," jawabnya Bagas datar.

"Oh ... , jadi kalau masih mudah, boleh seperti ini, yah?" Aku melempar pandangan pada deni dan toni yang tergeletak di kursi panjang.

"Anjani nggak ikut-ikutan. Sungguh." Perempuan itu menyahutiku.

Aku membersikan meja yang berdebu, tak meresponnya.

"Raka!" serunya Bagas.

Aku menatap Bagas.

"Ini namanya, Anjani. Anjani, ini Raka." Bagas mengenalkan.

Aku mengangguk pada Anjani yang duduk di sebelahnya Bagas, bersekat meja, dia berada di depanku.

Anjani menyodorkan tangan. "Maaf yah, malam-malam begini jadi ngerepotin. Aku, Anjani."

Setengah bingung, aku menyambut tangannya. "Raka." Berjabat tangan.

Anjani kembali menundukkan kepalanya.

"Tumben jadi pendiam, biasanya cerewet." Bagas menyenggol Anjani yang duduk di sebelahnya. "Katanya, pengin ketemu Raka ... . Ini, orangnya ada di depan," gurauan Bagas pada Anjani, seperti sudah saling mengenal lama.

"Apa'an, sih," gumam Anjani.

"Nggak apa-apa, ngomong saja. Katanya, banyak yang mau di tanyakan pada Raka." Bagas mengusili.

"Anjani, tadi sudah dua kali ngomong. Meminta maaf tapi nggak di respon. Percuma saja kalau Anjani bertanya." Kepalanya menunduk.

Aku mengernyitkan mata.

"Iya, kah? kasihan ... ." Bagas mengejek Anjani.

Anjani bergeming.

Setengah gagu, aku berucap. "Iya. A-aku su-dah memaafkan kalian."

"Hahaha." Bagas tertawa, entah menertawakan siapa.

Anjani meninju lengan Bagas. "Diam kamu, jangan banyak bicara, jangan bikin suasana menjadi canggung."

Aku menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.

"Maaf, yah, Raka," ucapnya Anjani, lirih.

"Iya, nggak apa-apa," sahutku kebingungan.

"Hahaha ... ." Bagas tertawa puas.

"Kamu ini, kenapa?" tanyaku pada Bagas.

"Kayaknya, ia kesambet deh." Meringis. "Apa jangan-jangan, ia beneran kesambet, yah. Tadi, kan jalan yang kita lewati gelap, mana serem lagi, melewati kebun-kebun gitu. I-ih, Anjani jadi takut." Anjani mengingsut.

"Sini, lebih dekat lagi sama Abang." Candanya Bagas mengambil momen.

Anjani bergeser menjauh. "Boleh, yah, Anjani malam ini, menginap di sini. Anjani nggak mau pulang dulu, sudah malam, takut." Berpindah ke sampingku.

"Hmmm ... , bisa saja kamu, Anjani," celetuk Bagas.

"Ini, bagaimana sih, ceritanya." Mengalihkan suasana yang tak menguntungkan. "Kenapa tiba-tiba kalian datang ke rumahku, dan kenapa, deni sama toni mabok berat." Meminta kejelasan pada Bagas.

Bagas menuding Anjani.

"Maaf, ini salahnya Anjani, Bagas hanya menjemput kita bertiga dan mengantarkannya ke sini. Anjani yang meminta supaya mereka di istirahat di sini." Menunduk.

"Kok, kamu tahu aku. Kita, kan baru kenal," tanyaku.

"Anjani tahu semuanya dari toni," jawabnya cepat.

"Dia saudaranya toni." Bagas menyisip.

Aku mulai menebak-nebak. "Sejak kapan toni cerita tentang aku ke kamu?"

"Sudah lama. Semenjak Anjani masih duduk di kelas tujuh." Memainkan kukunya sendiri, menggesekan ujung kuku jari telunjuk dengan ujung kuku jempol. "Tapi, sekarang, Anjani sudah kuliah, semester akhir." Nadanya polos. "Nanti datang yah, kalau Anjani wisuda." Tersenyum kecil.

"Jadi ... , soal toni sama deni bisa mabok berat seperti ini, kenapa?" Aku mengembalikan ke pertanyaan semula.

"Mana, Anjani tahu, tanya saja langsung ke toni sama deni," sahutnya Anjani, pasrah.

Bagas kembali tertawa.

"Katanya, ini salahnya kamu." Menggaruk kepala.

"Anjani hanya di suruh menjemput toni di karokean, karena keadaannya parah, jadi Anjani menelpon Bagas, meminta tolong supaya Bagas menjemput kita bertiga."

Bagas masih tertawa.

"Iya, sudah, nanti aku tanyakan saja langsung ke orangnya, kalau mereka sudah sadar." Aku menyeringai ke Bagas.

Setelah berbasi-basi. Bagas bercerita panjang lebar tentang keadaan Kota kami sekarang ini.

Kota kami sudah seperti Kota Metropolitan di Ibu Kota, kota yang tidak pernah tidur. Tempat hiburan malam ada di setiap sudut kota, menjamur seperti cendawan di musim hujan. Hiburan malam tak pernah sepi dari pengunjungnya. Sebab, kebanyakan pekerjanya adalah gadis-gadis belia yang ramah senyum. Gemulai geraknya selalu membuat rindu para pengunjung yang datang. Gaya hidup hedonisme telah merubah wajah pribumi. Arus modernisasi yang melaju kencang tidak serta merta diimbangi dengan pendidikan moral yang memadahi. Kini, dampaknya mulai terasa, hampir semua persoalan dianggap wajar tanpa batas, tak mengenal tolak ukur yang jelas.

Dari sisi lain. Kota kecil kami memiliki perkembangan yang cukup baik. Dari tahun ke tahun pertumbuhan ekonominya mulai meningkat, karena tempatnya yang strategis, kota kami tumbuh menjadi pusat perdagangan dan jasa. Menjadi jalur penghubung perekonomian lintas nasional dan regional di pantura wilayah bagian barat, dan pantura wilayah bagian timur. Sedangkan di wilayah bagian utara terdapat kawasan pesisir pantai yang terkenal dengan kemaritiman, sehingga diberi julukan Kota Bahari.

1
sean hayati
Setiap ketikan kata author sangat bagus,2 jempol untuk author ya
sean hayati
Saya mampir thour,salam kenal dari saya
sean hayati: terima kasih sudah mau membalas salam saya,saling dukung kita ya
Rurri: salam knl juga kak 😊
total 2 replies
tongky's team
Luar biasa
tongky's team
Lumayan
tongky's team
mantap saya suka kata katanya tentang senja dan sepasang merpati
tongky's team
lanjut seru /Good/
Santi Chyntia
Ceritanya mengalir ringan dan pesan moral nya jg dapet, keren kak/Good//Heart/
Choi Jaeyi
cieeee juga nih wkwkk
Amelia
👍👍👍👍👍👍❤️❤️
Rurri
makasih kak, atas pujiannya 😊

karya² kk juga sama bagus²🌷🌷🌷
Amelia
aku suka sekali cerita nya... seperti air mengalir dan tanpa karekter yg di paksa kan👍👍👍
Jecko
Aku tersentuh/Sob/
Amelia
😚😚😚😘😘😘😘
Amelia
mantap...👍👍👍👍
Amelia
🤭🤭🤭🤭🤭🤭🤭
Amelia
wkwkwk...
😅😅
Amelia
hahahaha...🤭🤭
Choi Jaeyi
selalu suka bgt sama kata tiap katanya author😭
Amelia
bagus Thor....👍👍👍👍❤️❤️❤️❤️
Amelia
memang itu lah realita kehidupan...yg kuat dia yg akan dpt banyak...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!