NovelToon NovelToon
RAMALAN I’M Falling

RAMALAN I’M Falling

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Romantis / Cinta Seiring Waktu / Keluarga / Enemy to Lovers
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Tinta Selasa

Soraya adalah gadis paling cantik di sekolah, tapi malah terkenal karena nilainya yang jelek.
Frustasi dengan itu, dia tidak sengaja bertemu peramal dan memeriksa takdirnya.

Siapa sangka, selain nilainya, takdirnya jauh lebih jelek lagi. Dikatakan keluarganya akan bangkrut. Walaupun ada Kakaknya yang masih menjadi sandaran terahkir, tapi Kakaknya akan ditumbangkan oleh mantan sahabatnya sendiri, akibat seteru oleh wanita. Sementara Soraya yang tidak memiliki keahlian, akan berahkir tragis.

Soraya jelas tidak percaya! Hingga suatu tanda mengenai kedatangan wanita yang menjadi sumber perselisihan Kakaknya dan sang sahabat, tiba-tiba muncul.



Semenjak saat itu, Soraya bertekad mengejar sahabat Kakaknya. Pria dingin yang terlanjur membencinya. ~~ Bahkan jika itu berarti, dia harus memaksakan hubungan diantara mereka melalui jebakan ~~

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tinta Selasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 31

Meski seru, tapi mereka tidak melanjutkan percakapan itu lagi, karena mobil telah memasuki pekarangan rumah. Soraya yang sempat tertawa, kembali tegang dibuat saat akan memasuki rumah. Diliriknya jam yang menunjukkan hampir sebelas malam.

“Jangan takut, Kakak disini.” Ujar Rafael, yang dengan sayang memegang tangan Soraya lagi.

Melihat kesungguhan, serta usaha menenangkan oleh Kakaknya itu, Keputusan Soraya untuk melindungi kehancuran keluarga mereka, khususnya berdua mereka, sangatlah sebanding.

PUK. PUK. PUK.

Soraya menggunakan tangan lainnya, menepuk pundak Rafael. Dia merasa sangat berharga sekarang. “Kak, … kau tidak akan lebih keren dariku sampai kapanpun. Karena meskipun aku bodoh, aku tidak berkhianat pada keluarga. Itu kuantitas.”

“Kualitas. Kualitas adikku, bukan kuantitas.”

“Ya sama saja.” Ucap Soraya dengan kedua bahu terangkat acuh.

Mendengar ini, Rafael tertawa kecil. Setidaknya itulah yang tampak di permukaan, padahal jauh dalam hatinya dia sangat pahit. Tidak perlu baginya bertanya, tentang kualitas dari sikap tidak berkhianat. Pada akhirnya, itu adalah kebenaran. Dia memang terlalu takut tinggal dalam kesederhanaan bersama sang Ibu, sehingga menyitas tempat milik adiknya itu.

Dan meskipun Soraya masih sekitar enam atau tujuh tahun kala itu, tapi Rafael sangat tahu, bahwa sosok gadis kecil dalam dirinya, tidak akan lupa bagaimana Rafael meminta tempatnya dan berjanji akan segera menjemputnya kembali. Yang jelas telah dia lupakan, hingga kematian Ibu mereka sendiri.

“Ayo masuk,” Ajak Soraya, sambil memasang headset bluetooth di telinganya. Memutuskan semua kenangan pahit di masa lalu.

~~

Soraya mengira Ros masih menunggunya untuk jam pertengkaran malam. Namun seperti kebiasaan orang-orang lanjut usia, mereka kembali ketempat tidur lebih awal, pikir Soraya.

Ini membuatnya membuang nafas lega, “Sudah kuduga, Gamma tidak akan bertahan melawan waktu. Dia sudah tua dan lemah. Hiihiii….”

Rafael yang berdiri di belakang, juga mengangkat sudut bibir. Siapa bilang dia tidak gugup. Nyatanya dia lebih gugup dari Soraya, sampai-sampai ikut mempertimbangkan imajinasi konyol.

“Malam ini kamu tidur di kamar Kakak, biar—”

“Heh, ….”

“Dengar dulu! Kamu di tempat tidur, dan Kakak di sofa. Kamu nggak mau kan, lagi tidur tapi bangunnya sudah di negara lain.”

Mendengar ini, Soraya langsung setuju. Entah kenapa dia ngeri membayangkan hal itu. Padahal baik dia maupun Rafael sama-sama tahu, bahwa hal seperti itu tidak mungkin terjadi. Namun demi keamanan emosional, mereka tetap melakukan hal itu.

Sementara Ros yang mendengar ini dari balik pintu kamar, mengepal tangannya geram. Merasa kesal karena dianggap seperti penculik. Belum lagi tambahan ejekan Soraya mengenai dia yang tua dan lemah, benar-benar membuatnya kesal. Ya walaupun dia tidak bisa mengelak, karena memang tangannya sakit hanya karena mengepal geram.

Malam ini dia bertoleransi dengan tidak mempermasalahkan, tapi besok dia berjanji semua harus berjalan sesuai dengan rencananya.

•••

Beberapa jam kemudian, di hari yang sudah berganti. Suasana diluar masih sangat gelap, dan udara sangat dingin, tapi Ros sudah mendapatkan ketukan di pintu kamarnya. Mengambil bando rambut, dia menatap jam yang menunjukkan pukul empat lewat dua puluh pagi.

Tidak perlu rasa bertanya, untuk apa atau siapa yang berani mengetuk pintunya di jam seperti ini, kalau bukan karena kedatangan sang putra satu-satunya.

“Selamat pagi Ibu,” Sapa pria itu ketika pintu dibuka.

Ros menahan nafas melihat sosok setengah usianya di depan mata. Pekerjaan tampaknya telah menggerus anak semata wayangnya, membuat tubuh bagusnya menjadi sedikit kurus dalam pandangan mata Ros.

Setiap kali mengingat ini, Ros selalu sama dan sama mempertanyakan soal kapan pernikahan kembali sang anak.

“Benedict, apa kabar kamu?”

Benedict mengulum senyum tipis, rasanya aneh meski wajar ditanya seperti itu, mengingat dua bulan dia tidak di rumah. “Aku baik-baik saja, Ibu bagaimana?”

Mendengar pertanyaan balik itu, Ros mengambil langkah ke ruang tengah dengan wajah masam. “Ingin sekali Ibu mengatakan baik, tapi mana mungkin! Kamu tahu sendiri, bahwa anak perempuanmu tidak mungkin membuat Ibumu ini baik-baik saja.”

Benedict yang mendengar ini, segera menyusul dari belakang. Mereka baru saja sampai, tapi sang Ibu telah langsung pada inti pembicaraan.

Ya, mereka yang dimaksud Benedict, adalah dia yang tidak sendirian. Hingga ketika Ros sampai di ruang tamu, langkahnya terhenti kaku.

Nafas Ros yang sudah sesak nafas pada usianya, semakin sesak melihat wanita yang duduk dengan kaki bersilang di sofa.

“Hay Tante Ros.” Ujar wanita itu dengan senyuman nakalnya.

Melihat wanita yang dibencinya, duduk di sofa dengan pakaian serba minimnya, Ros merasakan sakit dada yang hebat.

Rok pendek berbahan satin, kemeja senada berwarna hijau menyala, rambut pendek sebahu lurus, dan tidak sempurna tanpa lipstik merah menyalanya. Siapa lagi, kalau bukan bibi dari dua keponakannya.

“Benedict, berani kamu membawa masuk perempuan ini hah!” Marah Ros.

Tapi Benedict dengan posisi tengah-tengahnya, jelas kesulitan untuk menjelaskan. Perempuan yang datang bersamanya itu mungkin adalah mantan adik iparnya, tapi disatu sisi masihlah Bibi Rafael dan Soraya, dan tidak akan pernah menjadi mantan Bibi.

Tapi bukan berarti dia dengan sengaja membawa wanita itu, melainkan bertemu dengannya saat dalam penerbangan yang sama.

“Ibu, Luna tidak—”

“Tante Ros gitu amat. Baru juga sampai, sudah dimarah-marah, toleran banget sama keriput. Heran aku.” Potong Luna pada ucapan Benedict.

Mendengar ini, jangankan Ros, Benedict sendiri sampai harus mengelap keringat wajah di dinginnya subuh.

“Ka-kamu lancang sekali, be-beraninya kamu bawa-bawa kerutan saya.” Ucap Ros, yang sudah sedikit gemetar. Faktanya, wanita kebanyakan sama saja. Ketika kritik itu datang pada penampilan mereka, rasa tidak aman akan datang meskipun hanya kecil.

Melihat bagaimana mantan mertua Kakaknya masih sangat sensitif padanya, Luna semakin berani menunjukkan ejekannya. Riwayat yang jelek diantara mereka bukan lagi hal baru. Bahkan di dalam hatinya, Luna selalu mencurigai bahwa Ros ingin menyingkirkan keponakan tersayangnya, yaitu Soraya. Dia bukanlah Bibi yang akan tinggal diam jika sesuatu yang buruk terjadi pada ponakan favoritnya itu.

Seperti saat ini, mendengar bahwa Soraya akan di berangkatkan ke luar negeri dia langsung bergegas datang. Berjanji tidak akan membiarkan Soraya kehilangan hak, tempat, atau statusnya, meskipun dengan cara yang terburuk sekalipun. Dia adalah Bibi jahat milik film-film, yang diidolakan semua keponakan, kecuali Rafael seorang.

~~

Rafael yang begitu sensitif, sempat mengira dia berhalusinasi mendengar suara-suara. Tapi karena terlalu jelas, dia memutuskan untuk keluar kamar. Dari lantai atas, dengan ruang tamu dan keluarga yang terbuka luas, dia akhirnya bisa melihat jelas semua di bawah.

Jangankan melihat sang Ayah, melihat Bibinya saja, sudah cukup untuk menarik semua perhatian Rafael tertuju padanya. Ini membuat Rafael tanpa sadar mengepalkan tangannya.

Mau bagaimana lagi, tidak ada hal beres yang akan terjadi antara dia dan Soraya, kapanpun adik Ibunya itu datang. Awalnya Rafael mengira, Bibinya bukan tidak suka padanya, hanya tidak terlalu dekat.

Namun seiring berjalannya waktu, Rafael semakin tidak nyaman dengan tekanan psikologis yang dilakukan Luna padanya. Dan tepat ketika dia bertanya, Bibinya itu tidak berpikir dua kali mengkonfirmasi ketidaksukaan-nya pada Rafael. Sesuatu yang bahkan tidak Rafael mengerti alasannya.

“Bagaimana ini?” Gumamnya pelan sekali.

Sekarang melihat Luna disini, dia takut hubungannya dan Soraya akan rusak lagi.

1
Esti Purwanti Sajidin
wedewwww lanjut ka sdh tak ksh voteh
Nixney.ie
Saya sudah menunggu lama, cepat update lagi thor, please! 😭
Ververr
Aku udah rekomendasiin cerita ini ke temen-temen aku. Must read banget!👌🏼
Oralie
Masuk ke dalam kisah dan tak bisa berhenti membaca, sebuah karya masterpiece!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!