Brahma Satria Mahendra merasa lelah dengan banyak wanita yang terus mendekati serta mengejarnya. Kedua orang tuanya terutama sang ibu sering kali mendesaknya untuk segera menikah. Pernah mencintai dan berpacaran cukup lama dengan sahabatnya sejak SMA bernama Ajeng Notokusumo. Namun hubungannya kandas di tengah jalan karena Ajeng memilih fokus kuliah dan mengejar cita-citanya di luar negeri. Membuat hati Brahma tumpul dengan yang namanya cinta.
Brahma menyodorkan sebuah kontrak pernikahan pada gadis asing bernama Starla yang baru ia kenal di stasiun. Takdir membawa keduanya dalam sebuah pernikahan tanpa cinta. Hanya sekedar rasa tanggung jawab semata. Tanpa sengaja Brahma telah mengambil kesucian Starla yang dikenal sebagai primadona gang Ding Dong sekaligus klub malam ternama yakni Black Meong, karena pengaruh obat dari seseorang. Tanpa Brahma tahu, hidup Starla tak lama lagi.
Bagaimana kehidupan pernikahan kontrak mereka selanjutnya yang tak mudah ?
Bagian dari novel : Bening🍁
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Safira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 - Sebuah Undangan
"Sesuai di buku tamu namanya Ajeng Notokusumo, Bu."
"Ajeng. Ada apa lagi dia ketemu sama Mas Brahma? Apa sebenarnya ada masalah yang belum selesai antara mereka berdua?" batin Starla.
"Ya sudah, aku tunggu suamiku di ruangannya saja."
"Silahkan, Bu."
Starla pun berjalan memasuki ruangan kerja Brahma.
Sedangkan di sebuah restoran, Brahma dan Ajeng tengah makan siang bersama.
"Lain kali kalau kamu pengin bicara atau ada perlu denganku, jangan datang ke Polsek."
"Kenapa? Kan aku ketemu sama kamu juga ada perlunya,"
"Aku tahu, tapi kamu enggak lupa kan statusku sekarang sudah menikah dan punya istri."
"Terus?" sengit Ajeng.
"Ya, aku enggak enak sama anak-anak. Mereka tahu aku sudah menikah dan enggak pernah ada cewek datang ke kantor selain istriku."
"Memangnya laki-laki enggak boleh punya teman wanita?"
"Aku harap kamu ngerti posisiku, Jeng. Aku memang tetap sahabatmu tapi enggak seperti dulu lagi. Jangan sampai kedekatan kita sebagai sahabat disalahartikan sama orang lain yang melihat dan gak kenal sama kita," tegas Brahma.
"Apa istrimu yang melarang kita dekat?" cecar Ajeng.
"Bukan, tapi aku yang memang ingin kita enggak terlalu dekat. Ini juga semua demi nama baik kita berdua dan keluarga besar kamu juga aku," jelas Brahma.
Ajeng mendengus sebal karena Brahma susah sekali didekati. Setelah telepon berulang kali hingga mengirimkan pesan teks jarang direspon oleh Brahma, akhirnya Ajeng terpaksa mendekati dengan cara yang lain.
Ajeng datang langsung ke kota tempat Brahma dan Starla tinggal. Tentunya dengan dalih atau alasan yang kuat yakni membuka butik di kota tersebut. Ajeng sudah memiliki satu butik utama di Jakarta. Kini ia sengaja membuka cabang di kota lain demi dekat kembali dengan Brahma.
"Jangan lupa kamu wajib datang ke acara pembukaan butikku dua minggu lagi,"
"Aku usahakan datang kalau enggak sibuk," jawab Brahma apa adanya.
"Jangan diusahakan tapi wajib datang loh,"
"Kenapa harus buka cabang butikmu di kota ini? Bukankah di sini lumayan jauh dari Jakarta walaupun masih sama-sama di Pulau Jawa sih,"
"Ya enggak apa-apa. Pengin coba saja buka di sini siapa tahu bawa keberuntungan buatku. Ini kan juga kota besar bukan desa terpencil," jawab Ajeng agar Brahma tak curiga.
"Padahal kalau kamu buka cabang di Bandung kan lebih dekat sama Jakarta. Papa-Mamamu pastinya rindu setelah kamu jarang pulang ke Indonesia,"
"Kamu banyak berubah. Gak asyik lagi deh," sindir Ajeng. Sebab dari kalimat Brahma seakan mantan kekasihnya itu sengaja menghindarinya.
"Semua orang pastinya ada perubahan, Jeng. Kalau kita tetap di tempat, artinya kan gak maju-maju. Kalau nanti misal aku enggak bisa, apa boleh istriku yang gantikan buat datang ke acara pembukaan butikmu?"
"Memangnya dia tahu soal fashion?"
"Kan dia wanita, bukan laki-laki kayak aku. Pastinya sesama wanita lebih paham fashion walaupun sedikit daripada laki-laki. Urusan penampilanku dari ujung rambut sampai ujung kaki bahkan baju yang kupakai, semuanya tatanan dari istriku."
"Brahma yang sekarang makin rapi dan tampan, ternyata karena dia. Lumayan juga cara dia mengubah gaya dan penampilan Brahma yang sekarang daripada dulu saat masih sendiri," batin Ajeng tanpa sadar memuji kebolehan Starla sebagai istri Brahma dalam hal mengurus penampilan suami.
"Kenapa kamu enggak balik ke luar negeri, Jeng? Katanya di sana lebih menjanjikan buat karirmu,"
"Mau coba-coba pasar dalam negeri sekalian kangen Tanah Air. Aku kan sudah lama enggak pulang," jawab Ajeng.
"Oh, begitu."
"Sebenarnya aku kangen kamu, Brahma. Aku enggak terima kamu menikah sama wanita lain. Apalagi dia dari kalangan kelas bawah yang enggak banget deh. Jauh dari level keluarga kita. Masa aku kalah sih dari dia," batin Ajeng.
☘️☘️
Setelah makan siang, Brahma mengantar Ajeng ke hotel namun hanya untuk drop saja. Setelah itu, Brahma bergegas menuju Polsek. Sebab, salah satu anak buahnya baru saja mengirimkan pesan teks padanya kalau Starla sedang menunggu di kantor. Brahma segera tancap gas menuju Polsek.
Setibanya di kantor, Brahma berjalan hendak menuju ke ruangannya. Vicky yang baru saja kembali ke Polsek setelah tugas luar, langsung menyambut Brahma.
"Kasihan istri komandan sudah nunggu lama dari tadi," bisik Vicky sambil keduanya berjalan beriringan.
"Tadi Ajeng ke sini jadinya aku langsung bawa keluar. Enggak enak kalau dia lama-lama di ruanganku," jawab Brahma lirih.
"Astaga, mantan dipelihara. Kasihan Bu Komandan," cicit Vicky yang langsung mendapat delikan tajam dari Brahma. Vicky tentu saja tahu Ajeng Notokusumo adalah sahabat sekaligus mantan kekasih Brahma.
Vicky pun pergi ke arah yang lain dan Brahma masuk ke ruangannya.
Ceklek...
Brahma sengaja membuka pintu secara perlahan. Jam saat ini menunjukkan pukul tiga sore. Sempat kena macet di perjalanan dan harus mengantarkan Ajeng ke hotel, sehingga Brahma terlambat kembali ke kantor.
Langkah kaki Brahma mendadak berhenti kala melihat pemandangan di depannya saat ini. Brahma sempat tertegun sejenak. Lalu, ia melanjutkan langkah untuk masuk kembali dan mengunci rapat pintu ruangannya.
Brahma mendaratkan b0kongnya di sofa, tempat Starla yang tertidur dalam posisi duduk dan memeluk tubuhnya sendiri. Suhu ruangan kondisi normal. Tidak panas dan tidak juga terlalu dingin. Cuaca juga hari ini sedang cerah.
Brahma menatap lekat-lekat wajah istrinya yang cantik namun terlihat sedikit pucat.
"Dia pasti kecapekan nunggu aku sampai ketiduran begini. Maafin aku, La." Brahma hanya mampu berucap dalam hati.
Brahma memutuskan berdiri dan berjalan untuk duduk di kursi kerjanya. Tak lama tubuh Starla menggeliat dan membuka matanya kala telinganya mendengar derap langkah sol sepatu seseorang yang ia yakini milik suaminya.
"Mas, kamu sudah balik?"
"Iya, La. Kalau kamu masih ngantuk, tidur saja. Atau aku panggil taksi buat antar kamu pulang lalu istirahat di rumah saja,"
"Enggak perlu, Mas. Jam lima sore Mas sudah bisa pulang kan?"
"Iya, kebetulan hari ini enggak ada operasi. Semua tugas sudah aku selesaikan kemarin-kemarin makanya lembur,"
"Aku tunggu saja Mas di sini sampai jam lima sore. Enggak apa-apa kan?"
"Ya gak apa-apa. Tapi aku takutnya kamu bosan atau enggak nyaman di sini,"
"Aku seneng kok," ucap Starla seraya tersenyum di depan Brahma. Starla berusaha menutupi rasa kecewa dan sedihnya.
"Kamu ke sini kok enggak kasih kabar ke aku dulu,"
"Maaf, Mas. Aku sengaja mau kasih kejutan. Pengin makan siang bareng tapi ternyata Mas lagi pergi," cicit Starla.
"Tadi Ajeng ke sini mau anter undangan sekaligus makan siang," jelas Brahma. Ia tak mau Starla salah paham dengannya. Terlebih perihal kehadiran Ajeng yang mendadak hari ini ke Polsek.
"Undangan? Mbak Ajeng mau nikah, Mas?" tanya Starla.
"Bukan. Undangan pembukaan butiknya di kota ini. Acaranya dua minggu lagi," jawab Brahma.
Starla pun seketika lesu. Ia pikir Ajeng akan menikah dengan orang lain, ternyata bukan undangan pernikahan.
Saat keduanya asyik berbincang, mendadak bunyi perut Starla yang tengah kelaparan memenuhi ruang dengar Brahma.
Krucuk...krucuk...
"Kamu belum makan, La?"
Starla pun diam tanpa bersuara. Ia hanya mampu menganggukkan kepalanya guna menjawab pertanyaan Brahma barusan bahwa dirinya memang belum makan siang.
"Astaga Lala, kenapa kamu enggak bilang dari tadi! Kalau kamu sampai sakit, gimana coba?" Brahma seketika bangkit dari tempat duduknya dengan raut wajah cemas.
"Semisal aku sakit, apa Mas Brahma akan perhatian seperti ini ke aku?"
Bersambung...
🍁🍁🍁