Pria Dingin & Angsa

Calvin yang berada di ruang kantornya, sedang berbicara dengan seseorang melalui ponselnya. Tidak tahu dengan siapa ia bicara, terlihat raut wajahnya yang murung dan penuh tekanan. Pandangannya sesekali menerawang ke jendela, menatap keluar dengan sorot mata yang kosong.

Di sisi lain, Robin dan Kitty berlari terbirit-birit dikejar oleh Maggie yang mengamuk setelah mengetahui kejadian yang mereka alami. Selain motor yang mengalami kerusakan, banyak telur angsa yang hancur akibat ulah mereka. Hal tersebut membuat Maggie semakin emosi, dan ia menggunakan rotan panjang untuk mengejar suami dan putrinya.

"Kalian kalau bekerja tidak pernah becus, menyuruh kalian mengumpul telur angsa, tapi malah menghancurkan 125 butir telur. Selain itu, motor juga rusak," bentak Maggie dengan suara menggelegar, rotan panjangnya melayang-layang di udara saat ia mengejar mereka berdua ke sana-sini.

"Mama, Papa yang mulai melemparku dulu, bukan aku," jelas Kitty dengan nada putus asa sambil terus berlari menghindari rotan ibunya.

"Kalian sama saja! Setiap kali kalau bersama melakukan sesuatu pasti tidak ada yang beres," ketus Maggie tanpa belas kasihan, kemarahan terpancar dari matanya.

"Maggie, motor bukan aku yang merusakannya, jadi jangan salahkan aku!" kata Robin yang berusaha membela diri, terengah-engah mencoba menjaga jarak dari rotan yang terus mengayun.

"Kau sudah tahu kalau Kitty tidak bisa membawa motor, kenapa masih memaksanya," bentak Maggie, nafasnya mulai tersengal namun semangat amarahnya tak kunjung mereda.

"Aku hanya lupa kalau dulu dia belajar mengemudi mobil," jawab Robin, berusaha keras mencari alasan yang masuk akal di tengah kekacauan ini.

"Itu karena Papa sudah tua, makanya lupa ingatan," ujar Kitty sambil berlari.

Maggie akhirnya berhenti sejenak, menatap Robin dan Kitty dengan mata yang berkilat penuh kemarahan. "Aku tak peduli alasan kalian! Mulai sekarang, kalau kalian melakukan kesalahan yang sama. Angkat kaki dari sini!" kata Maggie dengan tegas.

"Angkat kaki kemana, Ma?" tanya Kitty, yang tidak mengerti.

"Maksudnya kita kena usir, bodoh," ujar Robin sambil melipat tangan di dada, jelas-jelas kesal dengan putrinya.

"Ma, kalau Papa pasti sangat berharap diusir, dia paling bahagia bisa terjadi," ujar Kitty, suaranya sarat dengan sengaja.

"Kenapa kamu bisa bicara seperti itu?" tanya Robin, alisnya berkerut heran.

"Papa selalu berharap bisa bertemu janda itu, jadi kalau papa diusir pastikan segera menjumpai dia, kan? Setelah itu, Papa tidak akan ingat lagi dengan rumah apalagi dengan mama," jawab Kitty dengan sengaja, memprovokasi kedua orangnya.

"Dasar durhaka, kalau tidak bicara sembarangan, apa kau bisa mati," ketus Robin dengan kesal, wajahnya memerah.

"Papa, tenang saja aku pasti hidup lebih lama darimu," jawab Kitty, suaranya tenang tapi menusuk.

Robin, yang sudah kehilangan kesabarannya, menepuk kepala putrinya dengan keras. "Kenapa saat itu mamamu tidak melahirkan anak lelaki saja. Malah melahirkan anak sepertimu. Hanya tahu membuatku marah."

Saat perdebatan mereka memanas, tiba-tiba Calvin masuk ke dalam rumah dan menuju ke halaman belakang rumah Kitty. Dia melihat aksi kejar-kejaran mereka bertiga, dengan Maggie yang tanpa henti mengejar sambil memegang rotan itu.

Calvin tersenyum kecil melihat kekacauan yang berlangsung di hadapannya.Dari kejauhan, Calvin bisa merasakan betapa dekatnya hubungan keluarga itu. Meskipun dari luar terlihat sering bertengkar, mereka sebenarnya saling menyayangi dan melindungi.

"Mereka adalah keluarga sederhana, tidak kaya. Tapi bahagia," batin Calvin, merasa sedikit iri. "Berbeda jauh dengan keluargaku yang memiliki segalanya. Tapi jauh dan tidak bahagia," pikirnya lagi, menyadari betapa hampa hidupnya selama ini.

Dia berdiri sejenak, membiarkan pemandangan keluarga yang hangat itu meresap ke dalam hatinya. Dalam hati kecilnya, dia berharap suatu hari bisa merasakan kebahagiaan yang sama.

Malam hari terasa tenang dan damai. Lampu-lampu kota bersinar lembut dari jendela restoran, menciptakan suasana yang romantis. Calvin mengajak Kitty untuk makan malam bersama di sebuah restoran kecil yang tersembunyi di sudut kota. Namun, suasana hati Calvin tidak secerah biasanya. Dia lebih banyak diam daripada berbicara seperti biasanya.

Kitty menatapnya dengan penasaran, mencoba menebak apa yang sedang mengganggu pikirannya."Kenapa kamu diam saja? Apakah terjadi sesuatu?" tanya Kitty dengan suara lembut, mencoba membuka percakapan.

"Tidak ada! Habiskan makananmu!" jawab Calvin, nada suaranya tegas tapi terkesan memaksa.

Kitty menatapnya dengan kening berkerut, tidak puas dengan jawaban singkat itu. "Kalau ada apa-apa, katakan saja! Wajahmu telah menunjukkan kalau dirimu sedang menyembunyikan sesuatu," katanya.

Calvin akhirnya menatap gadis itu dengan mata yang penuh dengan rasa bersalah dan keraguan. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Aku akan ke luar negeri, tidak tahu kapan aku akan pulang. Apakah kamu akan menungguku?" tanya Calvin dengan suara rendah, hampir seperti bisikan.

Kitty terkejut dengan pengakuannya. "Apa ada urusan kerja? Kenapa pertanyaanmu sangat aneh. Kalau berbisnis ke luar negeri wajar-wajar saja," tanyanya, mencoba memahami situasinya.

"Ada urusan penting, tidak tahu kapan baru bisa diselesaikan. Jadi, aku hanya ingin tahu isi hatimu. Andaikan dalam satu bulan atau lebih lama dari itu. Kau akan menungguku?" tanya Calvin, matanya memancarkan keraguan dan harapan.

Kitty terdiam sejenak, merenungkan pertanyaan Calvin. "Apakah aku bisa percaya padamu?" tanya Kitty dengan memastikan.

"Tentu saja!" jawab Calvin dengan yakin, mencoba meyakinkan dirinya sendiri dan Kitty.

"Kalau kamu setia, tidak ada alasan aku menolak menunggumu," jawab Kitty akhirnya, suaranya lembut namun tegas. "Kamu belum menjawab pertanyaanku. Urusan apa sehingga begitu lama baru bisa pulang?" tanyanya, matanya penuh dengan rasa ingin tahu dan kekhawatiran.