Tabir Pernikahan

Harun, pria itu duduk termenung setelah melihat rekaman CCTV yang membuktikan bahwa Haura benar-benar dijebak, bukan selingkuh dengan keinginan sendiri. Tidak terasa air mata berjatuhan begitu saja membasahi pipi mulusnya.

Penyesalan dalam hati mulai berdatangan satu persatu karena tega menelantarkan dan tidak mempercayai istrinya. Harun mengusap wajahnya kasar.

"Harusnya sejak awal aku menyelidiki semuanya, bukan malah larut dalam hal yang aku lihat sendiri," gumam pria itu mengacak-acak rambutnya frustasi.

Antesi Harun teralihkan pada benda pipihnya yang tergeletak di sisi ranjang, mengambil lalu mendial nomor seseorang. Berkali-kali Harun menghubungi nomor yang sama, tapi tidak aktif, membuat hatinya semakim resah.

"Bodoh, aku memang bodoh menjadi suami. Ternyata aku yang salah bukan Haura." Pria itu memandangi foto pernikahannya yang berada di atas meja. Mengusap wajah Haura yang tersenyum penuh kebahagiaan.

Tetesan demi tetasan kembali berjatuhan tanpa diminta, pundak dan bibir Harun mulai bergetar karena tidak kuasa menahan tangis.

"Maaf, aku tanpa sengaja menyakiti hatimu. Mengores luka sangat dalam dan selalu menaburkan garam setiap harinya. Kenapa kamu mengakui semua tuduhanku Haura? Kenapa tidak mengelak meski sekali saja?" Harun terus saja mengajak foto Haura berbicara, karena ponsel wanita itu tidak aktif.

Sementara di kontrakan, tepatnya di dalam kamar. Haura tengah berbaring karena merasa lelah setelah berjalan cukup jauh, sudah dua hari ini wanita itu tidak membuat donat sebab sering kali berkeringat tidak sehat.

Wanita itu itu membuka matanya perlahan ketika mendengar ketukan pintu berulang kali. Meski terasa lemas, Haura terap saja bangun. Berjalan sempoyangan dengan wajah pucatnya menuju pintu.

"Kak Haura sakit?" tanya Diana, kurir pribadi Haura setelah wanita itu membuka pintu.

Haura lantas mengelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Aku baik-baik saja Diana, masuk dulu!" Membuka pintu semakin lebar.

Diana yang sudah akrab dengan Haura lantas saja masuk dan duduk lesehan sambil menatap wanita itu dengan tatapan penuh selidik.

"Sudah dua hari kak Haura tidak menelponku untuk mengambil orderan, jadi aku ke sini karena takut kak Haura kenapa-napa."

"Terimakasih sudah mengkhawatitkan aku, tapi ini sudah sering terjadi jika menjeleng sore, mungkin karena efek hamil muda."

Haura memang sering mendapati dirinya demam setiap sore, tapi dua hari ini cukup menyiksa sehingga untuk bergerak saja rasanya sangat malas.

Jika begini terus, entah Haura akan makan apa. Tidak berjualan otomatis tidak mendapat pemasukan.

Diana memanyungkan bibirnya, gadis cantik nan imut tersebut memeriksa suhu tubuh Haura yang bisa dibilang demam.

"Harusnya kak Haura kerumah sakit, ini malah tiduran dirumah. Memangnya kalau tiduran dan memelihara demam bisa cepat kaya?" Diana mulai mengomel, memang gadis itu sedikit cerewet.

Mungkin karena menjadi anak tunggal dan sangat di sayangi oleh orang tuanya, sehingga dia membutuhkan sosok kakak dalam hidupnya. Perlu kalian tahu, Diana bekerja bukan karena butuh uang, melainkan merasa bosan di rumah di mana segala kebutuhannya terpenuhi, membuat hidup Diana terasa sangat hambar.

"Ayo kerumah sakit!" Menarik tangan Haura.

"Aku baik-baik saja Diana, sebentar lagi demamnya turun. Apa kau mau membantuku membuat pesanan? Aku akan memberikan upah nanti," pinta Haura yang memikirkan hidupnya jika tidak berjualan.

"Tentu saja aku mau, bayarannya satu dus donat setiap hari. Aku sangat suka donat kakak." Cengir Diana. Gadis berusia 20 tahun itu lantas berdiri dan menuju dapur, karena memang sering membantu Haura mengemas kalau saja datang terlalu cepat dari jadwal yang ditentukan.

Haura tersenyum, hatinya merasa hangat mendapati orang-orang disekitarnya sangat baik. Dokter kandungan, kurir cantik dan ibu kost, kehadiran tiga orang itu dihidup Haura sangat berarti. Satu lagi, malaikat kecil yang berada di perutnya.

Lalu bagaimana dengan Harun? Entahlah, semakin hari rasa cinta Haura terkikis karena rasa sakit. Terlebih saat mengingat suaminya akan menikah lagi.

"Kak Haura tinggal beri tahu caranya saja dan pantau aku. Aku akan membuatnya sendiri. Tapi gorengnya kak Haura ya." Menyengir tanpa dosa, Diana tidak berani mengoreng karena takut mengacaukan dan membuat Haura rugi.

Diana sering kali mendapatkan omelan dari bundanya jika nekat kedapur dan menganggu para pelayan, sehingga sampai sekarang Diana tidak tahu apapun selain menghabiskan uang.