Apakah masih ada cinta sejati di dunia ini?
Mengingat hidup itu tak cuma butuh modal cinta saja. Tapi juga butuh harta.
Lalu apa jadinya, jika ternyata harta justru mengalahkan rasa cinta yang telah dibangun cukup lama?
Memilih bertahan atau berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ipah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Hutang
"Permisi bu, maaf mengganggu waktunya." ucap tamu wanita itu sopan pada Bu Mirna setelah dipersilahkan duduk.
"Iya, ada apa mbak?" Bu Mirna pura-pura baik. Padahal ia tahu jika kehadiran tamunya adalah untuk menagih uang WO.
"Saya kesini mau menagih uang WO Bu. Sesuai kesepakatan di awal, setelah urusan selesai, katanya mas Doni mau datang ke rumah saya untuk melunasi seluruh biayanya. Tapi saya tunggu sampai seminggu, justru malah ngga ada kabar. Makanya saya kemari."
"Oh, uang WO. Sebentar, saya panggil kan Doni dulu ya."
Bu Mirna bangkit berdiri dan berjalan menuju kamar anaknya. Terlihat Doni memiringkan tubuhnya sambil memainkan handphone.
"Don."
"Ada apa bu?"
"Mbak Ima datang, ayo keluar dulu."
Doni mengernyitkan dahi, dan sejurus kemudian ia membulatkan matanya ketika nama mbak Ima di sebut. Teringat akan janjinya melunasi pembayaran WO.
"Ibu saja yang menemui, aku kan baru sakit." Doni malas menemui tamunya, karena belum memiliki uang untuk membayar.
"Lhoh, kok ibu? Yang ada sangkut pautnya kan kamu, bukan ibu." Bu Mirna menyedekapkan kedua tangannya di depan dada.
Dengan menahan sakit, Doni berangsur-angsur turun dari tempat tidurnya. Lalu berjalan menuju ruang tamu.
Di sana tampak wanita anggun yang tengah duduk sambil memainkan handphonenya.
"Kamu kenapa Don?" mbak Ima terkejut dan bergidik ngeri, ketika melihat wajah Doni yang masih terlihat lebam.
"Cuma kecelakaan kecil kok mbak." balas Doni sambil meringis.
"Oh begitu." balas mbak Ima sambil menelan saliva, seperti ikut merasakan sakit yang di derita Doni.
"Jadi maksud kedatangan saya kesini mau menagih uang WO Don. Karena mbak juga butuh untuk membayar karyawan. Dan ini sudah melebihi waktu yang kamu janjikan."
"Tapi mbak, saya belum ada uang. Apalagi habis tertimpa musibah seperti ini." Doni menunjuk mukanya sendiri.
"Harus sampai kapan mbak menunggu kamu melunasinya?" naik turun dada Mbak Ima, karena merasa seperti dipermainkan oleh Doni.
"Ya saya ngga bisa janji juga mbak. Tapi kalau nanti dapat uang, pasti akan segera saya kasih ke mbak kok."
"Tidak bisa. Mbak hanya memberi mu tenggang waktu dua hari lagi. Jika kamu tidak segera membayarnya, akan saya bawa kasus ini ke meja hijau. Kasian karyawan saya bekerja juga butuh makan dan mencukupi kebutuhannya yang lain." Ucap mbak Ima, lalu menggebrak meja, dan segera beranjak dari duduknya.
Doni dan Bu Mirna tersentak kaget. Sedangkan Siska yang masih berdiam diri di samping rumah, yang juga ikut mendengarkan percakapan itu, ikut kaget. Ia mengusap dadanya, setelah itu lebih memilih berlalu pergi dengan mengendap-endap.
Saat mbak Ima baru berjalan selangkah, terdengar suara mobil yang berhenti di depan rumah Doni. Tak lama kemudian, seorang wanita berkalung panjang seperti rantai kereta keluar dari mobil.
"Permisi." ucap wanita itu sambil berjalan masuk, padahal Bu Mirna belum mempersilahkan.
"Bu Dika." ucap Bu Mirna.
"Iya Bu Mirna. Saya kesini mau menagih uang catering. Kenapa lama sekali tidak dibayar-bayar?" cerocos wanita berdandan menor sambil mengibaskan kipas.
Bahkan ia langsung mendaratkan tubuhnya di sofa tanpa di persilahkan duduk terlebih dahulu.
Sementara itu, mbak Ima yang mendengar ucapan wanita yang baru saja datang, berputar arah, dan kembali duduk.
Ia sangat penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya setelah dirinya menagih hutang pada keluarga itu.
"Lhoh, mbak Ima kenapa duduk lagi?" ucap Doni.
"Memangnya kenapa? Ngga boleh? Saya tuh penasaran dengan jawaban kalian." jelas mbak Ima.
"Jadi orang kepo banget sih?" balas Bu Mirna sambil melirik Ima dengan raut wajah tidak suka.
"Sudah-sudah, saya kesini mau menagih uang catering. Bukan mau melihat kalian bertengkar. Kalau kalian mau bertengkar, tuh di pelataran." ucap Bu Dika.
"Mirna, total uang catering sudah aku kirim melalui pesan singkat. Tapi kenapa tidak kamu balas? Bikin saya repot harus menagih kesini."
"Kalau ngga mau repot ya ngga usah kesini dong bu. Gitu saja kok di bikin repot. Santai saja kali." balas bu Mirna.
Mbak Ima dan bu Dika saling beradu pandang dengan wajah menunjukkan rasa tidak suka. Bukannya berterima kasih acara pernikahan anaknya berjalan lancar karena mendapat sokongan dari mereka, ini malah terkesan cuek dan nyolot.
"Bu Mirna! Kamu itu harusnya tahu diri. Bukannya berterima kasih pada saya, tapi malah justru sebaliknya. Sekarang cepat serahkan uang catering tiga puluh juta pada saya, agar saya bisa pergi dari sini."
"Belum ada." sahut bu Mirna ketus.
Untuk yang kesekian kalinya, mbak Ima dan bu Dika kembali beradu pandang. Keduanya heran kenapa ada orang yang ditagih hutang begitu berani melebihi yang menghutangi.
"Belum ada katamu? Bukankah kamu dapat uang sumbangan?"
"Halah, sumbangan paling isinya cuma lima ribu dan sepuluh ribu. Mereka cuma numpang makan enak disini."
Kali ini mbak Ima dan bu Dika terkekeh bersamaan.
"Itu sih derita mu." cetus mbak Ima.
"Iya bener itu Im. Yang jelas saya tidak mau tahu. Kamu harus bayar hari ini juga."
Doni merasakan kepalanya berdenyut nyeri mendengarkan perdebatan panjang itu. Akhirnya ia bangkit berdiri dan mengendap-endap ingin masuk ke kamar. Tapi langkahnya tertahan, ketika semua orang menyebut namanya dengan berteriak.
"Doni!"
. y.. benar si kata Mahes klo pun hamidun lg kan ada suami yg tanggung jawab,... 😀😀😀
alhmdulilah akhirnya, Doni dan Siska bisa bersatu, nie berkat mbak ipah jg Doni dan Siska menyatu... d tunggu hari bahagianya... 🥰🥰🥰👍👍👍
tebar terus kebaikanmu... Siska, bu Mirna dan Doni syng padamu, apalagi Allah yg menyukai hambanya selalu bersyukur... 😘😘😘😘
nie yg akhirnya d tunggu, masya Allah kamu benar 2 sudah beetaubat nasuha, dan kini kamu bahkan membiayai perobatan bu Mirna dan jg menjaganya... tetaplah istiqomah Siska... 👍👍👍😘😘😘