Damian pemuda urakan, badboy, hobi nonton film blue, dan tidak pernah naik kelas. Bahkan saat usianya 19 tahun ia masih duduk di bangku kelas 1 SMA.
Gwen, siswi beasiswa. la murid pindahan yang secara kebetulan mendapatkan beasiswa untuk masuk ke sekolah milik keluarga Damian. Otaknya yang encer membuat di berkesempatan bersekolah di SMA Praja Nusantara. Namun di hari pertamanya dia harus berurusan dengan Damian, sampai ia harus terjebak menjadi tutor untuk si trouble maker Damian.
Tidak sampai di situ, ketika suatu kejadian membuatnya harus berurusan dengan yang namanya pernikahan muda karena Married by accident bersama Damian. Akan tetapi, pernikahan mereka harus ditutupi dari teman-temannya termasuk pihak sekolah atas permintaan Gwen.
Lalu, bagaimana kisah kedua orang yang selalu ribut dan bermusuhan ini tinggal di satu atap yang sama, dan dalam status pernikahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Orie Tasya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 Tercyduk
Jane yang baru saja duduk di dalam kelas setelah selesai apel pagi, memanggil Gwen yang berjalan lemas menuju ke arah bangkunya di samping gadis itu.
"Gwen, cepetan sini!" teriaknya mengundang Axel ikut bergabung. Dia yang duduk tepat di depan Jane, lalu berbalik, dan duduk menghadap ke belakang.
"Gwen lo yakin bisa tuh ngadepin Damian and the genk?" tanya Jane, saat Gwen sudah duduk di kursinya.
"Nggak tahu gue."
"Lah, lalu kenapa lo terima tadi? Harusnya lo tolak aja sih, Gwen. Sumpah gue khawatir kalau sama mereka. Mereka berempat itu rusak moralnya. Nenek-nenek aja dilecehin, apalagi lo yang cantik gini," ujar Axel yang mendapat tatapan aneh dari Jane. Gadis itu menyipitkan matanya, namun buru-buru Axel mendelik ke arahnya.
"Iya, Gwen. Harusnya lo tolak tadi kalau nggak yakin."
"Gue nggak enak sama Pak Yus, Jane. Beliau berharap banget keknya sama gue. Lagian lumayan, kan gue bisa ngerjain tuh anak."
"Lo yakin?" Jane kembali bertanya, pasalnya mereka semua tahu sekejam apa Damian. Bahkan Damian tak pernah segan-segan menyakiti siapapun, meskipun itu wanita yang membuat masalah dengannya.
"Udahlah santai aja sih, gue itu bisa ilmu Bela diri. Jadi, Kalian tenang aja. Lagian, lumayan lah ada bayarannya kok bisa buat bantu biaya sekolah adek gue," ujar Gwen Santai.
Jane dan Axel hanya bisa menghela napas pasrah, melihat Gwen yang keras kepala. Yah mereka hanya bisa berharap Damian tidak berulah dan tiba-tiba khilaf menganggu Gwen.
***
Pulang sekolah Gwen menunggu Damian dan genknya di depan gerbang sekolah, sudah hampir setengah jam, dan batang hidung Damian juga belum terlihat. Padahal sore ini dia akan membantu ibunya berjualan di pasar malam dekat rumahnya. Gwen bukan berasal dari keluarga kaya, hanya keluarga sederhana tanpa seorang ayah karena ayahnya telah tiada sejak Gwen kecil.
"Mana tuh si kampret Damian, kenapa belum muncul juga?" Ia melihat jam tangannya, sudah hampir jam 3 sore, dan si berandalan itu belum muncul juga.
"Sepuluh menit nggak muncul, mending gue balik aja deh, masa bodo sama tuh kampret satu. Mau tinggal kelas selamanya juga bukan urusan gue juga," putus Gwen.
Dia melirik jam tangannya lagi, sudah sepuluh menit. Gwen ingin pulang, tapi bayaran buat jadi guru privat Damian itu lumayan, sayang kalau diabaikan.
"Mending gue cari di markasnya aja deh, kali aja tuh si kampret Damian ngumpet di sana."
Dengan memegang tali tas ranselnya, Gwen berjalan menuju gudang belakang sekolah. Keadaan sekolah sudah sepi. Hanya ada beberapa siswa yang ikut klub basket tengah berlatih di lapangan.
Gwen bergegas berlari kecil menuju gudang, takut juga kalau ada hantu tiba-tiba muncul di sini. Menurut sejarah, sekolah ini dulu bekas bangunan tua tempat pembataian saat jaman penjajahan, tapi tidak tahu juga itu hanya cerita orang-orang di sekitar sini.
"Serem juga nih sekolah kalau udah sepi gini, ya. Merinding juga gue," gumam Gwen.
Ia mempercepat langkah, lalu berhenti di depan
gudang belakang sekolah, di mana markas Damian berada.
Ada suara gelak tawa dari dalam.
"Pasti tuh manusia kampret ada di dalem. Suruh belajar malah asyik-asyik di sini. Emang ya, tuh mereka berempat masa depannya pada suram semua."
Gwen berjalan dengan menghentak lantai merasa kesal, jika bukan karena permintaan Pak Yus, dan gajinya yang lumayan. Gwen malas jadi guru empat manusia tak bermoral itu.
Gwen baru saja ingin menendang pintu, sampai mendengar suara aneh dari dalam.
"Suara apaan tuh, kok kaya suara mendesah."
Ia mendekatkan telinganya di depan pintu, dan suara itu semakin jelas terdengar. Dadanya bergolak aneh, dan emosi yang meledak. Dengan tidak berperikepintuan Gwen langsung menendang benda tak berdosa itu, hingga menimbulkan suara
'Brakk'
yang membuat keempatnya langsung shock dan menoleh ke belakang.
"Hei, kalian lagi nonton yang nggak-nggak, ya?" teriak Gwen dari ambang pintu.
Keempatnya langsung berdiri, dan film yang mereka tonton di ponsel milik Jason yang disandarkan pada kursi masih menyala, menampilkan adegan tak senonoh antara kakek-kakek tua berambut putih bermata sipit, dengan gadis cantik masih kisaran dua puluh tahunan bermata sipit juga.
"Busyet deh, woi lo pikir ini rumah bordil! Ini sekolah, astaga!" Gwen berteriak ia berjalan cepat, lalu menyambar ponsel milik Jason.
"Woy balikin tuh hape!" seru Damian dengan wajah keruh.
"Nggak, hape lo gue sita, rusak moral lo pada. Masih muda udah merusak diri sendiri. Nggak kasihan sama orang tua lo yang udah biayayain lo mahal-mahal buat sekolah, tapi kelakuannya kek gini."
Damian mengetatkan rahangnya, ia marah karena kesenanganya diganggu si murid baru. Ia menghampiri Gwen, dan menarik kerah seragam yang gadis itu kenakan.
"Balikin, nggak!"
"Nggak akan."
"Mau cari mati lo."
Gwen terkekeh membuat Damian semakin muak.
"Nggak, gue masih pengen hidup."
"Ya udah balikin tuh hape, dan nggak usah ikut campur urusan gue deh lo. Lo masih pengen nyaman di sekolah ini, kan?"
Gwen tak peduli, memangnya dia takut begitu dengan ancaman murahan ala preman pasar yang Damian layangkan. Ingat ya, dia bukan gadis lemah yang hobi menangis kalau dibully. Dia memang orang miskin, dan sering jadi korban hinaan dan ejekan. Tetapi, Gwen itu bukan tipe lemah dan cengeng.
"Gue nggak takut sama lo, perilaku lo ini udah kebangetan. Makannya lo nggak pernah naik kelas, ya otak lo udah berisi hal-hal kotor kaya begini. Bener sih apa kata Pak Yus, lo lo pada jadi beban negara aja."
Damian semakin emosi. Jason, Christ, dan Axton sudah menatap ngeri ke arah Damian. Mereka bertiga tahu siapa Damian, bahkan dia tidak segan-segan menghajar seorang gadis kalau berani membuat masalah dengannya.
"Kayaknya gue emang harus ngasih pelajaran sama lo, ya"
"Sorry, gue udah pinter, nggak perlu lo kasih tambahan pelajaran."
Damian tak tahan lagi, dia semakin mengeratkan genggaman tangannya pada kerah Gwen, hingga....
"Damian!"
"Mampus, Bokap lo Dam," ujar Christ. Mereka bertiga menatap horor ke arah Pak Arthur yang memasang wajah tak bersahabat di depan pintu.
"Ngapain kamu!" seru Pak Arthur.
"Nggak ngapa-ngapain, Pa."
"Bohong, Pak. Damian mau mencekik saya," ujar Gwen yang langsung mendapat delikan tajam dari Pak Arthur, Damian buru-buru melepas cengkeraman tangannya pada kerah seragam Gwen.
"Bohong, Pa. Orang Damian mau bantuin ini anak baru, tuh kerah seragamnya diberakin cicak."
Gwen mendelik padanya. 'Dasar si kampret Damian, pinter banget dia nyari alasan, 'batin Gwen sengit.
"Benar begitu, Gwen?"
"Enggak, Pak. Ini saya menangkap basah mere...."
Belum sempat Gwen melanjutkan ucapannya, bibirnya sudah dibekap oleh Damian.
"Bener kok, Pa. Ini tadi kita mau belajar bareng, eh seragamnya ini cewek diberakin cicak, ya Damian bantu lah Pa." Damian tersenyum sembari mendelik ke arah Gwen.
"Bagus kalau begitu, selamat belajar. Eh tapi belajarnya di rumah Bapak saja, Gwen. Ini sudah sore. Nanti kalau kamu pulang biar diantar supir."
"Nggak usah, Pa. Dia biar naik angkot aja, kasihan dia alergi mobil karena biasanya dia naik becak, nanti kalau naik mobil bisa masuk angin," ucap Damian yang membuat Gwen kesal, dan langsung menginjak kakinya.
Damian melotot padanya, seolah berkata. 'Mau mati lo' dan hanya meledaknya dengan menjulurkan lidah.
"Ya sudah, cepat pulang sudah sore. Damian, Christ, Jason, dan Axton. Belajar yang benar agar kalian naik kelas, kalau sampai tidak naik kelas, kalian Bapak DO dari sini."
Ketiganya langsung memasang wajah horor kecuali Damian tentunya. Selepas kepergian Pak Arthur, Gwen langsung menendang lutut Damian, dan berbuah erangan kesakitan dari bibir si tampan. Sialan, tendangan gadis ini tak main-main lagi. Mungkin Gwen ini kerasukan badak, pikir Damian.
"Anjirr, sakit bego."
"Bodo amat, udah ayo cepetan ke rumah lo. Waktu gue nggak cuma ngurusin kalian berempat."
"Balikin dulu hapenya!" sentak Damian
"Nggak, hapenya gue sita buat jamian kalau kalian mangkir dari tugas. Buat laporan ke Pak Arthur kalau otak anaknya udah terkontaminasi sama kakek-kakek girang."
Damian ingin merebut ponsel itu dari tangan. Namun, ia kalah cepat karena Gwen dengan sigap menendang adik kecil Damian dengan lututnya.
"Berengsek, sakit anjirr!"
Gwen tertawa. "Rasain, makannya jangan macam-macam sama gue. Udah hapenya gue bawa, kalau kalian berhasil dalam belajar gue balikin lagi." Gwen langsung melenggang keluar.
Damian hanya bisa mengumpat. "Sialan banget tuh cewek, nggak ada takut-takutnya sama gue. Gue sumpahin tuh cewek jadi perawan tua nggak laku."
"Ngeri kutukan lo, Dam. Jangan gitu entar karma buat lo," sambar Axton.
"Karma apaan?"
"Ya kali aja malah tuh cewek yang bakalan jadi istri lo di masa depan."
Damian melotot, pura-pura muntah. "Ogah gue, nggak bakal dan nggak mungkin gue nikah sama tuh cewek," kesalnya dan langsung melenggang pergi.
...***Bersambung***...