Arum Mustika Ratu menikah bukan karena cinta, melainkan demi melunasi hutang budi.
Reghan Argantara, pewaris kaya yang dulu sempurna, kini duduk di kursi roda dan dicap impoten setelah kecelakaan. Baginya, Arum hanyalah wanita yang menjual diri demi uang. Bagi Arum, pernikahan ini adalah jalan untuk menebus masa lalu.
Reghan punya masa lalu yang buruk tentang cinta, akankah, dia bisa bertahan bersama Arum untuk menemukan cinta yang baru? Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Kembali untuk berjanji
Begitu mobil berhenti di halaman depan rumah besar keluarga Argantara, suara hujan yang masih turun deras terdengar memantul di atas kanopi marmer. Beberapa pelayan segera berlari menghampiri, menyiapkan payung. Reghan turun lebih dulu, membuka pintu penumpang, namun Arum menolak uluran tangannya. Dia melangkah pelan sendiri, meskipun langkahnya pincang dan wajahnya tampak sangat pucat.
Dari arah beranda, Oma Hartati muncul dengan langkah tergesa. Begitu melihat kondisi Arum, ekspresinya langsung berubah panik.
“Ya Tuhan, Arum … apa yang terjadi padamu, Nak?” serunya terkejut. “Kenapa kamu bisa sampai begini?!”
Arum menunduk sopan, berusaha tersenyum meski wajahnya menahan sakit.
“Saya baik-baik saja, Oma … hanya sedikit terjatuh saat di pesta kemarin,” ujarnya pelan.
Namun langkahnya yang goyah dan darah yang masih tampak di pergelangan kakinya membuat kebohongan itu mustahil dipercaya. Oma menatap Reghan dengan tajam, tatapan yang begitu menusuk.
“Reghan Argantara!” suaranya meninggi, membuat beberapa pelayan spontan menunduk. “Apa yang kau lakukan sampai istrimu bisa terluka seperti ini?! Seharusnya kau yang melindunginya, bukan membuatnya menderita seperti ini!”
Reghan berdiri tegak di samping Arum, wajahnya tegang.
“Aku...” suaranya tertahan. Napasnya berat, sorot matanya penuh rasa bersalah. Ia ingin menjelaskan, tapi tak ada kata yang sanggup keluar.
Arum buru-buru menenangkan. “Jangan salahkan Tuan Reghan, Oma. Itu hanya salah paham di pesta kemarin. Saya memang ceroboh.”
Namun, Oma menggeleng pelan, matanya berkaca.
“Kau terlalu lembut, Arum. Padahal kaulah yang seharusnya paling marah hari ini.”
Reghan menunduk, rahangnya mengeras. Tangannya mengepal di sisi tubuh. Ia kemudian berkata dengan nada rendah namun tegas,
“Aku akan menjelaskan semuanya, tapi hanya padanya.” Dia menatap Oma sekilas, lalu berbalik menuju tangga besar di ruang tengah.
Oma hanya bisa menatap punggung cucunya itu dengan helaan napas berat.
“Laki-laki keras kepala,” gumamnya lirih. Lalu ia memegang tangan Arum lembut.
“Nak, jangan biarkan hatimu hancur sepenuhnya. Kadang orang yang paling kau cintai adalah orang yang paling dalam melukaimu.”
Arum menunduk, bibirnya bergetar, tapi tak sepatah kata pun keluar. Lalu, ia pun menyusul Reghan menuju lantai atas.
Kamar itu hening, hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar di antara ketegangan udara malam. Arum duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke lantai, sementara Reghan berdiri di hadapannya, tanpa tongkat, tanpa kursi roda lagi, hanya tubuhnya yang tegap namun terlihat lelah.
Beberapa saat, tak ada yang berbicara. Sampai akhirnya Reghan mengembuskan napas panjang dan memecah keheningan itu.
“Arum…” suaranya pelan, nyaris bergetar. “Aku tahu kau tak ingin mendengar apa pun dariku sekarang, tapi izinkan aku menjelaskan … setidaknya sekali ini saja.”
Arum menatapnya datar, tanpa menjawab. Reghan menunduk sejenak, lalu mendekat perlahan.
“Aku menolong Alena bukan karena aku masih mencintainya. Tidak ada maksud lain di balik itu. Aku hanya … terbiasa. Dulu, sepuluh tahun hidup bersama, aku yang selalu melindunginya. Naluri itu muncul begitu saja, tanpa aku sadari.”
Dia mengusap wajahnya, menahan rasa sesak di dada.
“Saat ku lihat dia kemarin yang terluka, yang ku pikir hanya bagaimana menyelamatkannya. Aku tidak sempat memikirkan siapa pun … bahkan diriku sendiri.”
Arum tetap diam, tapi matanya mulai berkaca-kaca. Reghan melanjutkan, suaranya kini bergetar lebih kuat.
“Aku tahu, apa yang kau lihat hari itu menghancurkanmu. Tapi demi Tuhan, Arum, tidak ada satu pun dari tindakanku yang berarti aku memilihnya. Aku tidak akan pernah melakukan itu padamu.”
Dia mendekat lagi, menatap mata Arum dalam-dalam.
“Aku menyesal, aku minta maaf … karena membuatmu merasa tidak berharga. Aku minta maaf karena gagal jadi suami yang bisa membuatmu merasa aman.”
Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya jatuh dari pipi Arum.
“Kalau Anda benarmenyesal, kenapa waktu itu Anda diam saja? Kenapa Anda biarkan aku jatuh? Anda bahkan tidak mencariku…”
Nada suaranya pecah, penuh luka yang lama tertahan. Reghan tertegun, matanya memerah.
“Aku mencarimu, Arum. Setiap hari, tapi aku juga … takut.”
“Takut apa?” Arum bertanya lirih.
“Takut kalau aku sudah terlalu hancur untuk bisa menatapmu lagi.” Lalu, Reghan berlutut di hadapannya. Ia menggenggam tangan Arum erat, menatapnya penuh tulus.
“Aku tidak ingin kehilanganmu lagi. Aku tidak peduli berapa banyak kesalahanku, tapi aku tahu satu hal, aku mencintaimu, Arum. Bukan Alena, bukan siapa pun, hanya kamu.”
Arum menggeleng pelan, air matanya jatuh semakin deras.
“Cinta saja tidak cukup, Tuan Reghan. Aku sudah belajar, cinta yang tidak dijaga hanya akan menyakiti.”
Reghan menatapnya dalam, suaranya kini penuh kesungguhan.
“Maka biarkan aku menjaga kali ini. Biarkan aku memperbaiki semuanya, meski harus memohon padamu setiap hari.”
Dia mencium punggung tangan Arum, lama penuh perasaan bersalah dan rindu yang terpendam.
“Jangan pergi dariku lagi, Arum. Aku tidak akan sanggup.”
Arum menunduk, menatap pria itu lama-lama. Ada perang antara logika dan perasaannya. Ia ingin marah, tapi sekaligus ingin percaya. Dan dalam keheningan malam itu, hanya air matanya yang menjawab, karena hatinya belum siap memberi keputusan apa pun.
Dua minggu berlalu sejak insiden pesta itu. Luka di pelipis Alena mulai memudar, begitu pula luka kecil di kaki Arum. Namun, tidak dengan luka-luka batin yang masih diam-diam menganga di hati mereka masing-masing.
Pagi itu, meja makan keluarga Argantara tampak ramai. Aroma roti panggang dan kopi hitam memenuhi ruangan yang megah itu. Alena duduk di sisi Elion, tampak anggun dengan gaun putih. Sesekali ia tersenyum pada Elion, tapi pandangannya kerap mencuri-curi arah ke seberang meja, ke arah tempat Reghan duduk berdampingan dengan Arum.
Reghan terlihat jauh lebih sehat, wajahnya segar, senyumnya tenang. Sesekali ia membantu Arum menuangkan teh, atau mengulurkan piring buah ke hadapan istrinya itu. Gaya Reghan yang lembut dan perhatian itu membuat Alena memalingkan wajah dengan cepat, pura-pura sibuk dengan makanannya.
Suasana tampak tenang hingga Oma meletakkan sendoknya dan menatap seisi meja dengan tatapan serius.
“Mulai hari ini,” ujarnya tegas, “Reghan akan kembali ke perusahaan.”
Semua kepala spontan menoleh. Arum berhenti mengaduk teh, Maya yang duduk di ujung meja menatap kaget, dan Elion langsung meletakkan garpunya dengan bunyi nyaring.
"Oma…” Maya membuka suara, “kalau boleh tahu, di posisi apa Reghan akan kembali?”
Oma menatapnya tanpa senyum. “Tentu saja di posisi CEO.”
Ruangan langsung hening, hanya detak jam yang terdengar menggema.
Elion spontan berdiri, “tidak mungkin! Aku tidak turun dari posisi itu!” serunya lantang. “Aku yang memimpin perusahaan selama Kak Reghan sakit. Aku yang menjaga semuanya tetap berjalan!”
Oma menatapnya datar, lalu berkata pelan tapi penuh wibawa.
“Elion, dengar baik-baik. Perusahaan itu milik keluarga Argantara, dan pewaris sahnya adalah Reghan. Bahkan ayahmu sendiri tidak memiliki hak sebesar itu atas jabatan tersebut. Semua ada di bawah kendali saya!”
Kata-kata itu menghantam Elion seperti palu godam. Rahangnya menegang, tangannya mengepal di sisi meja.
“Jadi, setelah semua yang kulakukan, setelah semua waktu dan tenaga yang ku habiskan, Oma mau menyerahkan semuanya begitu saja padanya?” ujarnya tajam sambil menunjuk Reghan.
Reghan yang sejak tadi diam hanya menatapnya tenang. Tak ada emosi di wajahnya, hanya sedikit senyum tipis yang membuat Elion makin terbakar amarah.
Oma menatap Elion dengan penuh kecewa. “Perusahaan itu berdiri bukan untuk menjadi alat perang antar saudara. Tapi kalau kau ingin menjadikannya begitu, maka ingat, kekuasaan tanpa hak, tidak akan pernah bertahan lama. Jika bukan karena ibu Reghan, nama Argantara tak akan ada di dalam perusahaan itu!"
Elion tersenyum miring, menatap Reghan dengan tatapan dingin yang mengandung kebencian murni.
“Selamat datang kembali, Kak Reghan,” katanya sinis. “Semoga kau tahu cara mempertahankan jabatan itu … kali ini tanpa harus mengalami kecelakaan kedua kalinya. ”
Ucapan itu membuat ruangan kembali sunyi. Arum menatap Elion penuh tanda tanya, sementara Reghan hanya menatap balik tanpa sepatah kata pun. Tapi di balik diamnya itu, ada sesuatu yang berbeda di matanya sesuatu yang membuat Elion mundur satu langkah tanpa sadar. Senyum kecil muncul di sudut bibir Reghan.
udah jangan bersinggungan lagi dengan reghan,
walaupun Revan anak reghan kayanya terlalu sakit kalo Arum dan reghan harus bertemu lagi,,takut banget nanti keluarga reghan mengusik Arum lagi,,