Kael Ardhana, animator berusia 36 tahun yang hidupnya hancur karena kegagalan industri, tiba-tiba terbangun di tubuhnya saat berusia 18 tahun… di tahun 1991. Dengan seluruh pengetahuan masa depan di tangannya, Kael bertekad membangun industri animasi lokal dari nol, dimulai dari sebuah garasi sempit, selembar kertas sketsa, dan mimpi gila.
Tapi jalan menuju puncak bukan sekadar soal kreativitas. Ia harus menghadapi dunia yang belum siap, persaingan asing, politik industri, dan masa lalunya sendiri.
Bisakah seorang pria dari masa depan benar-benar mengubah sejarah… atau justru tenggelam untuk kedua kalinya?
Yuk ikutin perjalanan Kael bersama-sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chal30, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 4
Senin pagi, Kael bangun lebih awal dari biasanya. Ia mandi dengan air dingin yang bikin kulitnya merinding, lalu mengenakan kemeja putih, satu-satunya kemeja layak yang ia punya dan celana jeans yang sudah dicuci sampai warnanya pudar. Ia menatap pantulan dirinya di cermin kecil, lalu merapikan rambutnya dengan sisir plastik.
"Kali ini harus berhasil," bisiknya pada diri sendiri, mencoba menanamkan kepercayaan diri meskipun dadanya terasa berdebar keras.
Ia mengambil tas ransel lusuh yang berisi kaset VHS hasil karya mereka, beberapa poster sketsa karakter, dan proposal sederhana yang ia ketik sendiri di mesin tik pinjaman semalam, jari-jarinya masih pegal karena tidak terbiasa dengan mesin tik manual.
Target pertama, TVRI cabang Jakarta. Bukan pilihan paling ideal, TVRI cenderung kaku dan birokratis, tapi setidaknya mereka punya program anak yang rutin tayang.
Gedung TVRI terlihat megah di mata Kael, bangunan tua dengan arsitektur khas tahun 70-an, dikelilingi pagar besi tinggi dan petugas keamanan yang galak. Kael menarik napas dalam-dalam, lalu masuk dengan langkah yang berusaha terlihat percaya diri meskipun hatinya dag-dig-dug.
"Permisi, Pak. Saya mau ketemu bagian program anak-anak," katanya pada petugas resepsionis, seorang bapak paruh baya dengan kumis tebal dan wajah datar yang terlihat bosan.
"Ada janji?" tanya petugas itu tanpa menatap Kael, matanya sibuk membaca koran.
"Belum, tapi saya bawa proposal—"
"Kalau gak ada janji, gak bisa masuk. Bikin janji dulu lewat surat resmi." Petugas itu memotong dengan nada final yang tidak memberi ruang untuk debat.
Kael menggigit bibir bawahnya, menahan frustrasi. Ia sudah menduga akan seperti ini, birokrasi yang berbelit, pintu yang tertutup rapat untuk orang-orang tanpa koneksi. Tapi ia tidak akan menyerah semudah itu.
"Pak, saya cuma mau kasih liat karya saya. Lima menit aja. Kalau emang gak bagus, Bapak boleh usir saya," ucap Kael dengan nada memohon tapi tetap berusaha terdengar sopan dan hormat.
Petugas itu akhirnya mendongak, menatap Kael dengan tatapan menilai. "Karya apa?"
"Animasi. Animasi lokal. Buat anak-anak."
Petugas itu terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang, napas yang terdengar seperti gabungan antara iba dan malas. "Tunggu di sini."
Kael mengangguk cepat, lalu duduk di bangku panjang di ruang tunggu. Jantungnya berdegup kencang. Ia menatap tas ranselnya yang berisi kaset VHS itu, lalu membisikkan doa kecil, doa yang ia sendiri tidak tahu kepada siapa ditujukan.
Lima belas menit kemudian yang terasa seperti sejam, petugas itu kembali dengan seorang wanita paruh baya berseragam rapi, rambut disanggul tinggi, dan wajah yang terlihat serius tapi tidak jahat.
"Saya Bu Ratna, koordinator program anak. Kamu yang mau tunjukin animasi?" tanyanya dengan nada formal tapi tidak dingin.
"Iya, Bu. Saya Kael Ardhana." Kael bangkit cepat, mengulurkan tangan dengan sopan. "Terima kasih sudah mau ketemu."
Bu Ratna menatapnya sebentar, tatapan yang menilai, tapi juga sedikit penasaran. "Ikut saya."
Mereka berjalan melewati koridor panjang yang dingin, dinding penuh foto-foto tokoh dan poster-poster acara lama. Kael mencoba menenangkan dirinya, mengingat-ingat poin-poin penting yang ingin ia sampaikan.
Bu Ratna membawanya ke ruang kecil dengan TV tabung dan VCR. Ia duduk di kursi lipat, lalu menatap Kael dengan tatapan yang menunggu. "Silakan."
Kael dengan tangan gemetar memasukkan kaset VHS ke dalam VCR, menekan tombol play, lalu mundur beberapa langkah. Layar TV berkedip, lalu gambar mulai muncul.
Animasi dimulai dengan suara angklung yang lembut, lalu visual pasar malam yang hangat, bocah kecil yang berlari sambil memanggil kucingnya. Setiap frame terasa hidup meskipun sederhana, gerakan yang tidak sempurna tapi penuh karakter, warna yang tidak mencolok tapi menenangkan, dan musik yang terasa begitu… Indonesia.
Kael tidak berani menatap Bu Ratna. Ia hanya menatap layar TV, berharap, sangat berharap bahwa karya mereka cukup bagus untuk setidaknya mendapat sedikit perhatian.
Empat setengah menit terasa seperti selamanya.
Ketika animasi selesai dengan adegan bocah memeluk kucingnya, layar menjadi gelap. Hening.
Bu Ratna tidak langsung bicara. Ia hanya duduk di sana, menatap layar yang sudah padam dengan ekspresi yang sulit dibaca.
Kael menelan ludah, dadanya terasa sesak. "Bagaimana menurut Ibu?" tanyanya dengan suara yang hampir berbisik, takut mendengar jawaban yang mungkin mengecewakan.
Bu Ratna akhirnya menoleh, menatap Kael dengan tatapan yang lebih lembut dari sebelumnya. "Ini karya kamu sendiri?"
"Saya dan tim kecil saya. Kami berlima."
"Berapa lama membuatnya?"
"Enam minggu, Bu. Kami kerja setiap hari, kadang sampai pagi."
Bu Ratna mengangguk pelan, jari-jarinya mengetuk-ngetuk lengan kursi, gerakan yang menunjukkan ia sedang berpikir keras. "Kualitas teknisnya… masih kasar. Ada beberapa frame yang patah-patah, timingnya kadang meleset."
Kael menunduk, hatinya mulai tenggelam.
"Tapi," lanjut Bu Ratna, dan nada suaranya berubah, ada kehangatan di sana, "ceritanya bagus. Sederhana, tapi menyentuh. Dan yang paling penting ini Indonesia. Gak ada animasi lokal yang kayak gini sekarang. Semuanya impor, atau kalau ada lokal pun gayanya masih meniru luar."
Kael mendongak cepat, matanya berbinar dengan harapan yang mulai tumbuh lagi. "Jadi… Ibu tertarik?"
Bu Ratna tersenyum tipis, senyum yang pertama kali ia tunjukkan sejak mereka bertemu. "Aku gak bisa janjiin slot prime time. Tapi kalau kamu mau, aku bisa kasih slot pagi, Sabtu jam tujuh. Segmen lima menit sebelum acara dongeng. Gak ada bayaran, tapi nama kalian akan muncul di kredit."
Kael merasa dadanya meledak dengan perasaan lega dan gembira yang luar biasa. Ia hampir melompat, tapi ia tahan dengan susah payah. "Serius, Bu? Ibu mau tayangkan karya kami?"
"Serius. Tapi dengan syarat, kamu harus bikin minimal empat episode lagi. Aku mau liat konsistensi kalian. Kalau bagus, kita bisa lanjut." Bu Ratna berdiri, mengulurkan tangan. "Deal?"
Kael meraih tangan itu dengan erat, terlalu erat sampai Bu Ratna sedikit terkejut. "Deal, Bu! Terima kasih! Terima kasih banyak!"
Bu Ratna tertawa kecil, menarik tangannya dengan lembut. "Jangan seneng dulu. Ini baru awal. Kerja kerasnya masih panjang. Tapi… aku suka semangatmu. Jarang ada anak muda yang mau kerja keras kayak gini sekarang."
Kael tersenyum lebar, senyum yang tidak bisa ia sembunyikan. "Kami gak akan mengecewakan Ibu."
Kael keluar dari gedung TVRI dengan langkah yang terasa melayang. Ia ingin berteriak, ingin berlari, ingin memeluk orang pertama yang ia temui. Tapi ia tahan, karena ia masih di depan gedung resmi dan ada petugas keamanan yang menatapnya dengan curiga.
Begitu sampai di luar gerbang, ia berlari, berlari sekencang-kencangnya menuju garasi Dimas. Napasnya terengah-engah, keringat membasahi dahinya, tapi ia tidak peduli. Ia harus memberitahu teman-temannya sekarang juga.
"DIMAS! RANI! BUDI!" teriaknya sambil mendobrak pintu garasi yang terkunci. "BUKA! GUE PUNYA KABAR BAGUS!"
Pintu terbuka dengan cepat. Dimas muncul dengan wajah panik. "Kael? Kenapa teriak-teriak? Ada apa?"
Kael menatap mereka bertiga yang sudah berkumpul dengan wajah bingung. Lalu ia tersenyum lebar, senyum terlebar yang pernah ia tunjukkan sejak kembali ke tahun 1991.
"Kita… kita dapet slot di TVRI," katanya dengan suara bergetar karena menahan tangis bahagia. "Karya kita bakal tayang di TV. Beneran tayang."
Hening sesaat.
Lalu Rani berteriak kegirangan, memeluk Kael dan Dimas sekaligus. Budi melompat-lompat sambil meneriakkan kata-kata yang tidak jelas. Dimas hanya berdiri di sana, matanya berkaca-kaca, lalu ia tertawa, tertawa keras yang penuh lega dan kebahagiaan.
"KITA BERHASIL! KITA BENERAN BERHASIL!" teriak Dimas sambil mengangkat Kael dan memutar-mutarnya sampai keduanya hampir jatuh.
Mereka tertawa, menangis, berteriak, semua emosi meledak sekaligus dalam garasi kecil itu. Tidak ada yang peduli kalau tetangga mungkin terganggu. Ini adalah momen mereka. Momen yang akan mereka ingat selamanya.
Kael merasakan air mata mengalir di pipinya, air mata yang ia biarkan mengalir bebas. Ini bukan lagi tentang kesempatan kedua. Ini tentang membuktikan bahwa mimpi bisa jadi nyata kalau kau cukup berani untuk mengejarnya.
"Ini baru awal," bisiknya pelan di tengah keramaian teman-temannya, suaranya hampir tenggelam tapi tetap penuh keyakinan. "Kita masih punya jalan panjang. Tapi kita udah buktiin kita bisa."
Dan di garasi kecil itu, di bawah atap bocor dan dinding retak, lima anak muda mulai menulis sejarah baru untuk animasi Indonesia, sejarah yang belum mereka sadari akan membawa mereka jauh lebih tinggi dari yang pernah mereka bayangkan.