NovelToon NovelToon
Pengawal Yang Bunuh Ayahku

Pengawal Yang Bunuh Ayahku

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Yatim Piatu / Action / Cinta Terlarang / Mafia / Romansa / Balas Dendam
Popularitas:100
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

"Tujuh tahun aku hidup di neraka jalanan, menjadi pembunuh, hanya untuk satu tujuan: membunuh Adipati Guntur yang membantai keluargaku. Aku berhasil. Lalu aku bertaubat, ganti identitas, mencoba hidup normal.
Takdir mempertemukanku dengan Chelsea—wanita yang mengajariku arti cinta setelah 7 tahun kegelapan.
Tapi tepat sebelum pernikahan kami, kebenaran terungkap:
Chelsea adalah putri kandung pria yang aku bunuh.
Aku adalah pembunuh ayahnya.
Cinta kami dibangun di atas darah.
Dan sekarang... kami harus memilih: melupakan atau menghancurkan satu sama lain."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 5: PAGI SETELAH NERAKA

Matahari terbit.

Cahayanya menyinari reruntuhan rumah keluarga Rafael yang masih berasap.

Alex masih berlutut di halaman depan, tubuhnya tidak bergerak sejak semalam. Tangannya yang terbakar menggantung di sisi tubuhnya, kulit melepuh dan berdarah. Matanya merah, bengkak karena menangis berjam-jam. Tapi air matanya sudah kering.

Yang tersisa hanya tatapan kosong.

Di belakangnya, api sudah padam. Rumah mereka—rumah kecil dengan cat mengelupas, dengan jendela kayu tua, dengan halaman sempit—sekarang hanya tumpukan kayu hangus dan abu.

Alex akhirnya bangkit.

Kakinya gemetar, nyaris terjatuh berkali-kali, tapi ia memaksa tubuhnya bergerak.

Melangkah ke dalam reruntuhan itu.

Asap masih mengepul. Panas masih terasa di udara. Setiap langkahnya menginjak abu—abu yang mungkin sebagian adalah keluarganya.

Ia berhenti di tengah ruang tamu—atau yang dulu adalah ruang tamu.

Sekarang hanya lantai hitam penuh serpihan kayu dan besi.

Dan di sana, ia melihat tiga gumpalan.

Yang pertama di sudut—masih terikat di kursi yang sudah hangus. Tubuh dengan lubang peluru di kepala. Tubuh ayahnya.

Yang dua lainnya... berdekatan, menyatu hampir menjadi satu gumpalan besar.

Alex berlutut di sampingnya.

Tangannya yang terbakar gemetar ketika mencoba menyentuh gumpalan itu.

"Elena..." bisiknya, suaranya serak. "Mama..."

Ia tidak tahu mana yang Elena, mana yang ibunya.

Tidak ada rambut lagi. Tidak ada wajah. Tidak ada kulit.

Hanya tulang hitam dan daging hangus yang mengeras.

Alex mencoba menarik salah satu gumpalan—yang lebih kecil. Mungkin itu Elena.

Tapi ketika tangannya menyentuhnya, kulitnya—atau yang tersisa dari kulit itu—mengelupas. Menempel di telapak tangan Alex seperti kertas basah yang sobek.

Alex menatap tangannya.

Ada kulit adiknya menempel di sana.

Kulit yang kemarin masih hangat, masih lembut, masih hidup.

Sekarang hanya serpihan hitam yang rapuh.

"Elena... maafkan kakak..." Alex membawa tangannya ke dada, memeluk serpihan itu seolah itu masih adiknya. "Kakak tidak menyelamatkanmu... kakak dengar kamu teriak-teriak panggil nama kakak... tapi kakak tidak keluar... kakak pengecut... kakak..."

Suaranya putus.

Ia ingin menangis tapi air matanya sudah habis.

Ia memeluk gumpalan hitam itu—tubuh adiknya yang tidak lagi berbentuk manusia—memeluknya erat seolah bisa mengembalikan nyawanya.

"Kakak janji..." bisiknya di antara isak yang tidak bersuara. "Kakak janji akan membalas ini. Orang yang bunuh kalian... kakak akan bunuh mereka semua. Satu per satu. Kakak janji sama Papa, Mama, sama Elena. Kakak akan buat mereka merasakan sakit yang sama."

Angin pagi berhembus, membawa abu berterbangan.

Sebagian abu itu adalah keluarganya.

Alex masih memeluk tubuh hangus Elena ketika mendengar suara sirene di kejauhan.

Polisi.

Dua mobil patroli berhenti di depan reruntuhan rumah itu.

Empat polisi keluar, mengenakan seragam biru yang rapi. Wajah mereka datar—tidak ada ekspresi syok, tidak ada rasa iba. Seolah ini hanya rutinitas.

Salah satu dari mereka—seorang inspektur berbadan besar dengan kumis tebal—mendekati Alex yang masih berlutut di tengah reruntuhan.

"Kamu... siapa?" tanyanya sambil mencatat sesuatu di buku kecil.

Alex mengangkat kepalanya perlahan. Matanya menatap polisi itu—tatapan yang kosong, yang menakutkan untuk seorang anak berusia lima belas tahun.

"Anak mereka," jawab Alex dengan suara serak.

Inspektur itu melirik ke gumpalan hitam yang dipeluk Alex. "Itu... keluargamu?"

Alex mengangguk.

"Berapa orang?"

"Tiga. Ayah, ibu, adik."

Inspektur mencatat lagi, ekspresinya tidak berubah—seolah ia sedang mencatat daftar belanja, bukan kematian tiga orang.

"Kamu lihat apa yang terjadi?"

Alex terdiam.

Ia ingat semua—setiap detik, setiap jeritan, setiap tetes darah.

Tapi ia juga ingat kata-kata terakhir ayahnya: "Jangan keluar apapun yang terjadi."

"Aku... aku di lemari," jawab Alex pelan. "Aku dengar... orang-orang masuk. Mereka... mereka menyiksa Papa. Lalu... lalu bakar rumah."

"Berapa orang?"

"Sepuluh. Mungkin lebih."

"Kamu lihat wajah mereka?"

"Mereka pakai masker hitam. Tapi pemimpinnya... dia buka maskernya di depan Papa. Aku lihat wajahnya dari celah lemari."

Inspektur berhenti menulis. Ia menatap Alex dengan pandangan yang aneh—bukan pandangan iba, tapi pandangan waspada.

"Kamu ingat wajahnya?"

"Aku akan ingat selamanya."

Inspektur menutup buku catatannya. "Tunggu di sini."

Ia berjalan menjauh, mengeluarkan ponsel, menelepon seseorang dengan suara rendah yang tidak bisa Alex dengar.

Alex memeluk tubuh Elena lebih erat.

Sepuluh menit kemudian, inspektur kembali. Wajahnya berubah—lebih dingin, lebih... final.

"Dengarlah, Nak," katanya dengan nada yang dibuat-buat lembut. "Kasus ini... rumit."

Alex mengerutkan kening. "Rumit?"

"Tidak ada saksi selain kamu. Tidak ada bukti. Rumah sudah terbakar habis."

"ADA BUKTI!" Alex berteriak, bangkit berdiri. "Ada sepuluh orang masuk rumah kami! Mereka bunuh keluargaku! Mereka—"

"Tidak ada bukti," potong inspektur, kali ini suaranya lebih tegas. "Kasus ini akan kami tutup sebagai kebakaran kecelakaan."

Alex membeku. "Apa?"

"Mungkin kompor meledak. Mungkin korsleting listrik. Kebakaran kecelakaan yang menewaskan tiga orang."

"BOHONG!" Alex meraih kerah seragam inspektur itu. "Kamu tahu ini pembunuhan! Kamu harus selidiki! Kamu harus tangkap mereka!"

Inspektur melepaskan tangan Alex dengan kasar, mendorongnya sampai Alex terjatuh ke abu.

"Dengarkan aku baik-baik," inspektur itu membungkuk, menatap Alex dengan mata tajam. "Kamu anak pintar. Kamu tahu ayahmu akan publish apa, kan?"

Alex tidak menjawab.

"Ayahmu akan mengungkap korupsi lima puluh triliun. Kamu tahu siapa yang akan terkena? Adipati Guntur dan dua puluh pejabat tinggi lainnya. Orang-orang paling berkuasa di negara ini."

"Lalu kenapa? Mereka koruptor! Mereka kriminal!"

Inspektur tersenyum pahit. "Di negara ini, Nak, orang kaya tidak pernah jadi kriminal. Yang miskin yang jadi kriminal. Ayahmu sudah membuat pilihan bodoh. Dan sekarang dia mati. Istri dan anaknya mati. Kamu beruntung masih hidup."

"Kamu dibayar," bisik Alex, perlahan mengerti. "Kamu dibayar oleh Adipati Guntur."

Inspektur tidak membantah. Ia bangkit, membersihkan lututnya.

"Aku punya anak juga, kamu tahu," katanya sambil berjalan menjauh. "Aku ingin mereka bisa sekolah, bisa makan tiga kali sehari. Gajiku sebagai polisi tidak cukup. Jadi ketika ada orang kaya yang mau bayar aku untuk tutup mulut... aku tutup mulut."

"Kamu monster," desis Alex.

Inspektur berhenti, menoleh. "Tidak, Nak. Aku hanya orang yang ingin bertahan hidup. Sama sepertimu nanti."

Ia kembali ke mobilnya, memanggil polisi lainnya. "Catat sebagai kebakaran kecelakaan. Tiga korban jiwa. Anak yatim piatu satu orang. Selesai."

Mereka naik ke mobil patroli.

Meninggalkan Alex sendirian di tengah reruntuhan.

Tanpa keluarga.

Tanpa keadilan.

Tanpa apa-apa.

Mobil-mobil itu pergi, membawa sirene yang perlahan menjauh.

Alex berlutut lagi di samping tubuh keluarganya.

Matanya menatap kosong ke langit yang mulai terang.

"Tidak ada keadilan," bisiknya. "Tidak ada hukum. Hanya uang. Hanya kekuasaan."

Ia menatap tangannya yang penuh luka bakar, penuh kulit Elena yang mengelupas.

"Kalau begitu... aku akan jadi hukum sendiri."

Suaranya berubah—tidak lagi suara anak lima belas tahun yang ketakutan.

Tapi suara seseorang yang sudah mati di dalam.

Seseorang yang terlahir dari abu.

Seseorang yang akan membawa neraka ke orang-orang yang merenggut keluarganya.

"Aku janji, Papa, Mama, Elena..." Alex membungkuk, mencium gumpalan hitam yang dulu adalah adiknya. "Aku akan balas dendam. Bahkan jika butuh seumur hidupku. Bahkan jika aku harus jadi monster."

Angin pagi berhembus lagi, membawa abu beterbangan.

Dan Alex Rafael—anak baik yang dulu suka menolong teman, yang selalu tersenyum, yang bermimpi jadi dokter—mati di pagi itu.

Yang tersisa hanya cangkang kosong berisi kebencian.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!