Zahira terpaksa bercerai setelah tahu kalau suaminya Hendro menikah lagi dengan mantan pacarnya dan pernikahan Hendro di dukung oleh ibu mertua dan anak-anaknya, pernikahan selama 20 tahun seolah sia-sia, bagaimana apakah Zahira akan melanjutkan pernikahannya atau memilih bercerai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KZ 24
Tapi sebelum tangannya sempat mendarat, seseorang menangkapnya dari samping.
"Ini hari besar. Bos besar akan datang. Ibu nggak mau, kan, nama baik Ibu rusak hanya karena menampar anak kecil?" bisik Zahira dengan tenang namun tajam.
Romlah menoleh. "Kamu!" geramnya.
Zahira menatap lurus. "Silakan saja lanjutkan. Tapi siap-siap jadi bahan pembicaraan. Ibu Romlah, pemimpin kasar yang menganiaya anak di depan pabrik."
Romlah mendengus, menahan diri. Ia menurunkan tangannya, berbalik, dan masuk ke mobilnya.
Walau hatinya terbakar, ia tahu Zahira benar. Hari ini bukan waktu yang tepat. Ia tak mau jadi bahan gunjingan, apalagi di depan bos besar.
"Kamu nggak apa-apa, Nak?" tanya Zahira lembut sambil menggenggam tangan remaja itu. Matanya menatap penuh perhatian.
"Astaga, tangan kamu lecet ya?" ucapnya terkejut. Dengan cepat Zahira membuka tas kecilnya, mengeluarkan plester luka, dan menempelkannya dengan hati-hati.
"Terima kasih, Mah," ucap si remaja dengan senyum polos.
Zahira terdiam. Kata itu—"Mah"—menusuk hatinya seperti kenangan lama yang tiba-tiba muncul. Ia mendongak, menatap wajah anak itu. Matanya berbinar, berembun. Sudah lama sekali ia tak mendengar panggilan itu dari bibir anak kandungnya sendiri.
Dulu, Anggi sering memanggilnya begitu, manja, penurut, dan penuh kasih. Tapi sejak mengenal Ratna, segalanya berubah. Anak perempuannya itu menjauh, tak lagi melihat Zahira sebagai ibu, malah seolah musuh. Zahira menghela napas pelan, menahan perih yang tiba-tiba hadir di dadanya.
"Kamu manis sekali, Nak," katanya sambil tersenyum tulus.
Ia membelai lembut rambut remaja itu.
"Hati-hati ya… Sebagai karyawan baru kamu harus semangat. Jangan takut, kamu pasti bisa."
Ucapan itu terlontar begitu saja dari Zahira—alami, tulus, bagaikan seorang ibu yang menyemangati anaknya.
"Mamah juga semangat, ya," balas remaja itu sambil tersenyum.
Kalimat sederhana itu, disertai senyum polosnya, mengguncang jiwa Zahira. Dadanya bergetar, seolah ada sesuatu yang mengendap lama dan kini mencair dalam hangat yang tak terduga. Rindu—itu yang menyeruak begitu kuat. Rindu mendengar ucapan tulus dari anak-anaknya, Angga dan Anggi. Rindu akan perhatian kecil, panggilan sederhana, atau bahkan sekadar senyuman yang hangat. Tapi itu semua sudah lama hilang, digantikan dengan dingin, bentakan, dan sikap acuh. Dan kini, justru dari seorang remaja yang bahkan namanya pun tak ia ketahui, ia mendapatkan secercah kasih yang telah lama tak singgah di hidupnya.
Ia hanya mampu menjawab lirih, "Oke," sambil menunduk pelan, menahan getar di suaranya.
Suasana kerja berjalan dengan lancar. Tak ada gangguan, semua karyawan tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Zahira sibuk menggosok tumpukan baju dengan telaten. Keringat membasahi pelipisnya, namun matanya sesekali menoleh ke arah pintu, berharap melihat sosok remaja yang tadi menyapanya dengan hangat.
Tapi hingga jam terus berjalan, remaja itu tak kunjung muncul. Zahira hanya bisa menarik napas pelan, entah kenapa hatinya merasa kehilangan sesuatu yang baru saja ia temukan.
"Zahira, kamu dipanggil Bu Romlah," ucap Yuli setengah berbisik.
Zahira menghentikan pekerjaannya sejenak. Ia menghela napas panjang, matanya mengarah ke langit-langit ruangan.
"Ada apa lagi dia..." gumamnya lirih, lebih ke diri sendiri.
Dengan langkah berat, Zahira melangkah menuju ruang Romlah.
"Zahira, kamu pergi ke gudang di desa sebelah. Ambil baju contoh, cepat!" perintah Romlah dengan nada ketus, tanpa menatap langsung.
Zahira mengernyit. "Tapi… itu kan bukan tugas saya, Bu," jawabnya, tetap tenang.
Romlah mendengus. "Banyak omong kamu! Cepat! Bos besar akan datang, dan baju itu harus sudah ada di sini. Atau kamu mau saya lapor kamu malas kerja?"
Zahira menahan diri. Ia tahu tak ada gunanya berdebat dengan Romlah. Mengalah bukan berarti kalah, kadang lebih penting untuk menjaga harga diri dengan diam.
"Baik," ucapnya singkat, lalu segera mengambil jaket dan bergegas menuju gudang di desa sebelah.
Begitu Zahira pergi, Romlah memanggil Rina dan melemparkan sesuatu ke arah gadis itu—sebuah kunci.
"Laksanakan, Komandan!" sahut Rina sambil menyeringai, penuh semangat seperti prajurit yang siap bertempur demi tuannya.
Tanpa buang waktu, Rina menyelinap ke area loker karyawan. Ia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tak ada yang memperhatikannya. Setelah yakin, ia membuka loker milik Zahira dengan cepat.
Dari dalam tas yang sudah ia siapkan, Rina mengeluarkan beberapa pakaian mahal yang baru saja dikerjakan oleh Zahira Ia memasukkan semuanya ke dalam loker Zahira dengan cekatan.
"Hari ini adalah akhir dari nasibmu, Zahira…" gumam Rina pelan, lalu menutup pintu loker dengan senyum licik yang nyaris tak bisa disembunyikan.
Sementara itu, Zahira berdiri di depan gudang yang terletak di desa sebelah. Peluh menetes dari pelipisnya, matahari siang memayungi langkahnya dengan panas menyengat. Begitu ia tiba, seorang penjaga gudang segera menyambutnya.
"Bu Romlah tidak berpesan apa-apa, Bu. Ini semua barang sudah mau dipacking. Nggak ada baju contoh di sini," ujar penjaga itu sambil menunjuk tumpukan kardus besar yang siap kirim.
Zahira mengernyit. "Tapi saya disuruh Bu Romlah untuk ambil baju contoh," jawabnya, berusaha memastikan kembali.
Penjaga itu menggeleng sambil tertawa kecil. "Wah, kamu ini… kayaknya dikerjain deh. Kamu bukan bagian produksi, ngapain juga ngurusin bagian lapangan? Kamu karyawan baru, ya?"
Zahira terdiam. Ada rasa panas yang naik ke dadanya, bukan karena cuaca, tapi karena sadar ia baru saja dipermainkan. Lagi. Untuk kesekian kalinya.
Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan.
"Dia mengerjai aku… benar-benar kekanak-kanakan," gumamnya pelan, antara kesal dan kecewa.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Zahira membalikkan badan dan mulai melangkah meninggalkan gudang. Langkahnya pelan, dipenuhi rasa kesal dan kecewa. Matanya menatap lurus ke depan, tapi pikirannya berkecamuk. Ini bukan sekadar candaan. Ini penghinaan. Ia tahu, Romlah membencinya, tapi mempermainkannya seperti ini… sudah kelewatan.
Angin siang bertiup pelan, membawa debu jalanan yang menempel di ujung roknya. Zahira mendongak sebentar, menatap langit yang cerah tapi seolah mengejeknya.
"Sudah besar tapi kelakuannya seperti anak kecil," gumamnya lirih.
Ia menarik napas panjang, lalu mempercepat langkah. Ingin segera sampai. Ingin menyelesaikan pekerjaan, lalu pulang. Tapi Zahira tidak sadar… bahwa di pabrik, jebakan yang jauh lebih besar sedang menantinya. Jebakan yang bukan hanya soal harga diri—tapi bisa menghancurkan reputasi dan hidupnya.
Begitu Zahira sampai di area pabrik, suasana yang biasanya hiruk-pikuk kini berubah menjadi tegang dan mencekam. Para karyawan berdiri berkerumun, saling berbisik, sebagian hanya diam mematung.
Di tengah kerumunan, berdiri seorang pria tinggi besar, gagah, berseragam rapi dengan lencana perusahaan pusat di dada kirinya. Sorot matanya tajam, posturnya tegas. Dialah Anton, perwakilan langsung dari kantor pusat—utusan dari bos besar yang selama ini identitasnya tetap menjadi misteri di kalangan pekerja.
"Saya datang ke sini karena kami menemukan banyak ketidaksesuaian antara jumlah barang yang dikirimkan dari rumah produksi ini, dan jumlah yang sampai ke toko-toko cabang," ucap Anton dengan suara berat yang menggema di seluruh ruangan. "Kami mencurigai adanya pencurian sistematis dari dalam."
Gemerisik suara karyawan yang terkejut mulai terdengar, beberapa saling pandang dengan wajah panik, sebagian lagi berusaha terlihat tenang.
Romlah melangkah maju, wajahnya tampak ‘peduli’ namun sorot matanya penuh licik. "Menurut saya, kita tinggal periksa saja semua loker karyawan. Kalau memang ada yang menyimpan barang curian, pasti langsung ketahuan."
"Itu memang rencana kami," jawab Anton singkat, matanya menyapu seluruh ruangan.
Zahira berdiri dengan tenang di antara kerumunan karyawan. Wajahnya tetap tenang, tak ada sedikit pun kegugupan di matanya. Dalam kamus hidupnya, mencuri bukanlah pilihan—bahkan di titik terendah hidupnya sekalipun. Ia masih mengingat jelas nasihat mendiang ibunya, suara yang terus terpatri dalam sanubarinya:
"Semiskin apa pun hidupmu, jangan pernah jadi pencuri. Lebih baik kau kelaparan… daripada makan dari yang bukan hakmu."
Sementara itu, beberapa orang dari pusat—termasuk Anton dan tim audit—bergerak cepat memeriksa satu per satu loker karyawan. Romlah dengan wajah penuh dedikasi pura-pura membantu sebagai perwakilan bagian produksi. Di belakangnya, Rina tampak gelisah namun senyum kecilnya sesekali muncul, menyelinap di balik kesibukan.
Zahira masih berdiri santai, tidak menyangka ada yang perlu ia khawatirkan. Tapi beberapa karyawan lain terlihat gelisah. Ada yang menunduk, ada yang berbisik panik. Zahira bahkan sempat menatap mereka iba.
Hingga terdengar suara dari salah satu petugas audit:
"Loker nomor 020, ini siapa pemiliknya?"
Zahira menoleh santai, tidak menyadari bahwa itu adalah loker miliknya sendiri.
Sebelum ia sempat merespons, suara Rina terdengar cepat dan lantang, "Itu loker milik Zahira."
Zahira tersentak. Wajahnya langsung berubah. Matanya menatap ke arah petugas dengan tatapan bingung.
"Apa?" gumamnya, nyaris tak terdengar.
Beberapa detik kemudian, suara tegas dari Anton membuat suasana semakin membeku.
"Di loker 020 ditemukan beberapa potong baju baru yang belum tercatat sebagai barang keluar. Ini termasuk barang jadi dari rumah produksi utama."
Mata semua orang serentak menoleh ke arah Zahira. Suara riuh rendah mulai memenuhi ruangan. Ada yang kaget, ada yang tampak tak percaya… tapi yang paling jelas terlihat bahagia adalah dua orang: Romlah dan Rina.
Romlah bahkan menutup mulutnya pura-pura terkejut, sementara matanya bersinar puas.
"Zahira… ini penemuan serius. Apa kamu bisa jelaskan?" ucap Anton, datar tapi berbahaya.
Pa lagi gk Ada cctv dan bekingan km akn kalah zahira.
sebagai orang Awam dan baru hrse diam dulu jng nantangin terang terangan.
kl dah lama dan tau kondisi lingkungan br lah gerak.
kl dah gini km bisa apa.😅.