Di dunia modern, Chen Lian Hua adalah seorang medikus lapangan militer yang terkenal cepat, tegas, dan jarang sekali gagal menyelamatkan nyawa. Saat menjalankan misi kemanusiaan di daerah konflik bersenjata, ia terjebak di tengah baku tembak ketika berusaha menyelamatkan anak-anak dari reruntuhan. Meski tertembak dan kehilangan banyak darah, dia tetap melindungi pasiennya sampai detik terakhir. Saat nyawanya meredup, ia hanya berharap satu hal
"Seandainya aku punya waktu lebih banyak… aku akan menyelamatkan lebih banyak orang."
Ketika membuka mata, ia sudah berada di tubuh seorang putri bangsawan di kekaisaran kuno, seorang perempuan yang baru saja menjadi pusat skandal besar. Tunangannya berselingkuh dengan tunangan orang lain, dan demi menjaga kehormatan keluarga bangsawan serta meredam gosip yang memalukan kekaisaran, ia dipaksa menikah dengan Raja yang diasingkan, putra kaisar yang selama ini dipandang rendah oleh keluarganya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 4 : Terlihat seperti manusia bodoh.
Malam terasa tak berujung. Lantai di bawah tubuhnya semakin dingin, menusuk sampai ke tulang. Tidurnya yang sempat lelap hanya bertahan sebentar sebelum perutnya kembali mencengkeram dengan rasa nyeri yang memaksa matanya terbuka.
Lian Hua meringis, tangannya refleks menekan perut. Ia mencoba memiringkan tubuh untuk meringkuk, mencari sedikit kenyamanan, namun kulit di lengannya yang terkoyak bergesekan dengan lantai kasar. Jeritan tak tertahan lolos dari bibirnya, membelah kesunyian.
Rasa sakit bercampur mual mengaduk lambungnya. Ia mengangkat kepala, menatap pintu di hadapan. Pikirannya hanya berbisik satu hal… ia harus keluar.
Dengan susah payah, ia mendorong tubuhnya hingga duduk, tangan menjadi satu-satunya penopang. Napasnya berat, keringat dingin membasahi pelipis. Ketika mencoba bangkit, nyeri dari berbagai luka menghantam sekaligus, membuatnya terhuyung dan jatuh kembali.
Kedua kakinya seperti ditusuk ribuan jarum, rasa sakitnya menjalar hingga membuat tulang terasa rapuh. Ia menyibakkan kain panjang yang robek dan kotor dari kakinya… dan terdiam. Luka di sana sama parahnya dengan yang di lengan, bahkan lebih dalam, hingga ia nyaris tak sanggup melihatnya.
Menunduk, ia menarik napas yang terasa semakin memburu. Ia tahu tak mungkin berjalan tanpa melakukan sesuatu. Dengan gerakan terburu-buru, ia merobek ujung kain bawahnya hingga menjadi potongan panjang, lalu melilitkan pada luka lengannya. Hanya tangan kiri dan mulut yang ia gunakan untuk mengikat, setiap tarikan kain membuat matanya berair.
Setidaknya perihnya sedikit berkurang, walau hanya karena luka itu kini tertutup dari debu. Ia melanjutkan pada kedua kakinya, menggigit lengan baju untuk menahan teriakan setiap kali kain menekan daging yang terbuka. Air mata jatuh tanpa ia sadari, tapi jemarinya terus bekerja sampai lilitan mengencang.
Luka di kepala, leher, dan punggungnya terlalu sulit dijangkau, ia tak punya pilihan selain membiarkannya. Meski begitu, di dalam hati ia berjanji akan bertahan. Lebih baik hidup dalam keadaan ini daripada mati hina.
Ia memejamkan mata, menempatkan telapak tangannya di lantai. Dengan satu tarikan napas, ia mendorong tubuh ke atas. Satu kaki menahan beban, kaki lain mencoba menopang. Dalam sepersekian detik ia sempat berdiri, lalu tubuhnya oleng, hampir roboh. Dengan sisa tenaga, ia menyeret kaki hingga punggungnya menempel pada dinding. Tangan meraba permukaan kasar itu, menjadi satu-satunya alasan ia tidak jatuh kembali ke lantai yang dingin.
Lian Hua mengatur napasnya lagi sejenak. Ia menunduk, menatap kakinya yang masih bergetar hebat. Setidaknya kini ia memahami batas kemampuan tubuhnya, tahu bagian mana yang bisa ia paksa dan mana yang akan langsung menyerah. Perlahan, ia kembali menempatkan seluruh tumpuannya di telapak tangan, merasakan denyut sakit yang menjalar dari bahu hingga ke jari.
Dengan tekad yang tersisa, kakinya mulai menyeret di lantai, menggores permukaan dingin itu sedikit demi sedikit. Napasnya tersengal, bercampur suara gesekan kain dan kulit yang terhantam kasar oleh lantai. Setiap inci yang berhasil ia lalui membuat peluh semakin mengalir di pelipisnya, menetes ke tanah.
Tangannya bergetar hebat, hampir terlepas dari tumpuan. Namun ia menggertakkan giginya, menahan rasa perih dan panas yang bercampur di persendiannya. Setiap hembusan napas terasa seperti pisau yang menusuk dada, tapi ia tidak berhenti. Ia tahu, jika ia terhenti sekarang, tubuhnya tak akan mampu memulai lagi.
Lian Hua berjalan perlahan menuju pintu sebelum dia terdiam sejenak. Tangan kanannya tidak akan mampu menahan tumpuan tubuhnya jika dia menggunakan tangan kiri untuk membuka pintu.
Kebingungan kembali memenuhi pikirannya, namun rasa sakit di perutnya semakin menjadi setiap kali dia berhenti melangkah. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, membuat helai rambutnya menempel di wajah.
Lian Hua bahkan sampai mengumpat pada dirinya sendiri, memaksa tekadnya untuk menembus rasa sakit itu.
“Sialan, jangan buat aku terlihat seperti manusia bodoh. Aku tidak pernah seperti ini…”
Dengan tarikan napas yang berat, dia mengatur posisinya. Seluruh tekanan tubuhnya ia alihkan ke tangan kiri, membiarkan tangan kanan yang bergetar memegang gagang pintu. Ujung jarinya terasa dingin ketika besi itu menyentuh kulitnya.
Perlahan, nyaris seperti adegan yang bergerak lambat, dia menarik pintu itu hingga celah terbuka. Udara malam yang dingin segera menyapa wajahnya, membuatnya seakan terbangun dari mimpi buruk. Cahaya bulan menyelinap masuk, memecah kegelapan yang selama ini mengurungnya.
“Seperti baru pertama melihat dunia saja…”
semakin penasaran.....kenapa Lin Hua....
ga kebayang tuh gimana raut muka nya
orang orang istana.....
di atas kepala mereka pasti banyak tanda tanya berterbangan kesana kemari....
wkwkwkwk....😂