Arumi lengah, dia menganggap pernikahan yang dia bangun selama tujuh tahun ini baik baik saja, dia menganggap bahwa dia telah berhasil memenangkan hati suaminya, sikap dan tanggung jawab Yudha selama inilah yang membuatnya berfikir demikian.
Arumi tersadar ketika Yudha menemukan tambatan hati yang menurutnya mampu membuat hidupnya kembali bergairah.
Akankah Arumi mengijinkan suaminya mendua atau dia akan memilih berpisah, sungguh keduanya sama sama menghancurkan hatinya, terlebih untuk buah hati mereka!.
Mampukah Arumi mengiklaskan perjalanan hidup dan cintanya?
Mari kita ikuti kisah cinta mbak Arumi dalam HATI SUAMIKU BUKAN MILIKKU, yang penasaran dengan pertemuan awal mereka bisa baca kisahnya di IMPIAN DEKA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rini sya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa Aku Salah?
Arumi sedang menyusui putrinya ketika Yudha datang.
"Mas dari mana Rum telpon kok selalu ditolak?" tanya Arumi ketika melihat suaminya datang.
"Ya kerja lah," jawabnya ketus.
"Ini anak kita udah lahir mas," tambah Arumi.
"Udah tahu udah lihat juga," jawabnya ketus. Lalu ia pun masuk ke dalam kamar mandi.
Arumi sama sekali tak menyangka jika Yudha akan berkata seperti itu. Ia pun memilih tak melanjutkan perkataanya, memilih diam dan terus menyusui putrinya.
Pikiran Arumi kacau saat ini, mungkinkah suamiku? pertanyaan itu kembali hadir dibenaknya. Namun ia tetap berusaha menahan kemarahannya.
Yudha keluar kamar mandi dengan baju santai. Langsung mengambil ponselnya, memainkannya, tanpa mau melihat wajah sang putri. Membuat Arumi bingung harus berkata apa.
Arumi beranjak dari duduknya. Dengan sangat hati-hati, berjalan menuju boks bayi dan meletakan bayi tersebut di sana. Lalu setelah itu ia pun mendekati sang suami, duduk di sampingnya dan bertanya, "Mas capek kah?" tanya Arumi baik-baik.
"Apaan sih crewet banget!" jawab Yudha ketus. Seperti muak dengan wanita yang memberinya dua anak ini.
"Maaf," ucap Arumi. Ia pun memilih beranjak dari duduknya dan meninggalkan Yudha. Bukan apa, hanya menghindari keributan.
"Rum, aku mau ngomong sesuatu," ucap Yudha.
Arumi menghentikan langkahnya. Lalu membalikkan badan dan melangkah kembali ke tempatnya semula.
"Mas mau ngomong apa?" tanya Arumi selembut mungkin.
"Sebelumnya aku minta maaf Rum, tapi aku yakin kamu nggak bodoh," ucap Yudha mulai membuka signal- signal keinginan yang ada dibenaknya.
"Mas mau ngomong apa ngomong aja!" balas Arumi menunggu.
"Aku ingin mengahiri ini Rum." Terdengar Yudha menghela napas dalam-dalam.
"Mengahiri apa, Mas?" tanya Arumi masih berusaha menepis prasangka buruk yang beberapa hari ini menghantuinya.
"Aku yakin kamu masih ingat bahwa aku pernah mengatakan padamu bahwa aku tidak bisa mencintaimu. Kamu hanya bisa memiliki ragaku, tapi tidak hatiku. Aku menikahimu hanya karena ibuku menyukaimu. Kini aku lelah Rum berpura-pura baik padamu dan aku muak dengan hidupku," ucap Yudha lantang. Matanya menatap lurus ke plafon kamar mereka.
Arumi melirik sejenak wajah sang suami. Ia melihat air mata Yudha menetes pertanda dia mengatakan apa yang dirasakan oleh hatinya. Arumi terlihat mengambil napas dalam. Sebagai tanda bahwa hatinya teremas sakit.
"Iya Mas, Rum ingat mas pernah mengatakan itu. Maaf aku kira Mas udah bisa terima pernikahan kita. Mengingat ... Mas sangat baik padaku dan mau menyentuhku. Melaksanakan kewajiban Mas sebagai seorang suami. Maaf kalau selama ini aku salah," jawab Arumi berusaha sebisa mungkin menahan sesak di dadanya agar tak meneteskan air mata nakalnya.
"Aku baik padamu karena aku menyadari aku suamimu Rum. Aku hanya ingin melaksankan kewajibanku sebagai suami dan soal anak ibukulah yang terus mendesakku karena dia menginginkan cucu dariku. Kini dia telah mendapatkan kebahagiaannya, dan aku lelah harus menjadi anak yang baik dan patuh, salahkan aku jika aku ingin memilih?" tanya Yudha dengan suara seraknya. Seperti telah lama menahan rasa sakit.
Arumi menyadari sekarang betapa Yudha sangat tersiksa hidup bersamanya.
"Tentu saja tidak Mas. Mas punya hati. Kamu berhak memilih. Aku nggak akan melarangmu untuk memilih," jawab Arumi masih berusaha tenang. Agar Yudha nyaman mengungkapkan rasa ibginnya. Meskipun Arumi tahu hatinya akan hancur dengan kenyataan yang akan ia dengar. Namun apalah daya semua adalah kenyataan yang harus ia terima.
"Apakah kamu marah padaku Rum?" tanya Yudha lagi.
Arumi tersenyum. Tak menunjukkan sedikitpun rasa sedih. Dia ingin menunjukkan pada Yudha bahwa dia wanita yang tegar dan kuat. Arumi kamu pasti bisa, batin wanita ayu ini, menyemangati dirinya sendiri.
"Ya enggaklah Mas, ngapain aku marah. Toh dari awal Mas udah bilang kalau Mas nggak bisa cinta ama aku. Posisi kita sama lagi Mas. Rum hendak balas budi sama papi. Mas hendak bikin bahagia ibuknya Mas. Hubungan kita memang tidak didasari dengan cinta. Ya wajarlah kalau memang harus diahiri. Aku nggak pa-pa Mas. Masnya santai aja. Yang aku mau Mas selalu jujur, mau itu sama aku, anakku atau sama diri Mas sendiri," ucap Arumi. Kembali tersenyum, astaga mau sampai kapan kamu berusaha tegar.
"Rum, aku lelah," ucap Yudha lagi mulai mengeluh.
"Istirahatlah Mas kalau lelah. Jangan paksa tubuh dan pikiranmu bekerja. Biar aku dan bayiku tidur di kamar abang," ucap Arumi, lembut seperti biasa. Jika boleh jujur ini hanya alasan saja sepertinya dia hanya ingin menghindari Yudha dan menagis melampiaskan sesak didadanya.
Yudha pun tak melarang sang istri keluar kamar mereka. Bahkan melihat mereka keluar pun tidak dan sakitnya Arumi menyadari itu. Menyadari jika Yudha memang sungguh-sungguh tak menginginkannya.
***
Di kamar sang putra, Arumi melampiaskan segala sesak yang menyerang dadanya. Menangis dan merenungi segala sesuatu yang pernah terjadi padanya selama ini.
Bayangan masa lalu kelamnya pun ikutan melintas. Bagaimana dia menyaksikan ibunya dipukuli oleh ayahnya. Diusir dari rumah dengan menggendongnya. Arumi takut, akankah kenyataan itu akan terjadi pada dirinya dan anak anaknya.
Arumi mengusap air mata, ketika mendengar pintu kamarnya dibuka oleh seseorang. Arumi berusaha diam Sebab ia tahu yang datang adalah Yudha, pria yang sukses membuatnya terluka.
"Kenapa belum tidur Rum?" tanya Yudha.
Apakah hatimu sudah mati Mas, bagaimana aku bisa tidur jika nasibku di ujung tanduk begini, batin Arumi sesak.
"Barusan gantiin popok adek, Mas," jawab Arum bohong. Wanita ini terlihat berusaha menutupi wajahnya dengan rambut panjangnya.
"Apa kamu udah kasih dia nama?" tanya Yudha, Arumi menggeleng.
"Kenapa?"
Ya Allah apakah suamiku benar-benar buta, Tuhan. Apakah kami memang tak pernah berarti baginya, batin Arumi menjerit sedih.
"Aku berpikir dia masih punya abi, nanti kalau aku asal kasih, takut salah," jawab Arumi. Pelan tapi kata itu sungguh mempunyai makna yang begitu dala. Andai yang diajak berbicara memiliki rasa.
"Kalau kamu mau kasih ya kasih aja Rum ngapain mikirin aku," jawab Yudha lagi.
"Iya nanti Rum kasih!" jawab Arumi. Enggan berdebat dengan seseorang yang telah tertutup mata hatinya. Kemudian ia pun memilih beranjak dari tempat duduknya dan melanjutkan pekerjaannya. Merapikan peralatan baju-baju putrinya dan memasukanya ke dalam tas kecil yang dibawanya dari kamar utama.
Yudha terus memerhatikan apa yang istrinya lakukan. DmEntah mengapa di sudut hatinya, ada sedikit rasa kasihan pada wanita yang tujuh tahun ini telah bertahan mendampinginya. Selama ini Arumi tak pernah menuntut apapun darinya. Apapun yang dia perintahkan selalu dilaksanakan dengan baik, tapi dia juga ingin memilih, dia ingin juga hidup bersama cintanya.
Apa aku salah? batin Yudha.
Bersambung....