Edward terkejut saat istrinya yang hilang ingatan tiba-tiba mengajukan gugatan cerai kepadanya.
Perempuan yang selama empat tahun ini selalu menjadikan Edward prioritas, kini berubah menjadi sosok yang benar-benar cuek terhadap apapun urusan Edward.
Perempuan itu bahkan tak peduli lagi meski Edward membawa mantan kekasihnya pulang ke rumah. Padahal, dulunya sang istri selalu mengancam akan bunuh diri jika Edward ketahuan sedang bersama mantan kekasihnya itu.
Semua kini terasa berbeda. Dan, Edward baru menyadari bahwa cintanya ternyata perlahan telah tumbuh terhadap sang istri ketika perempuan itu kini hampir lepas dari genggaman.
Kini, sanggupkah Edward mempertahankan sang istri ketika cinta masa kecil perempuan itu juga turut ikut campur dalam kehidupan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari pertama
Hati yang berubah
"Hahahaha!!" Nana tertawa sumbang sampai air matanya keluar.
Cerita yang disampaikan Rossa sungguh membuatnya benar-benar tak habis pikir.
"Jadi, dulu aku sebodoh itu? Aku bahkan beberapa kali ingin bunuh diri hanya demi laki-laki itu?" lanjutnya.
"Ya, kamu memang sebodoh itu, Na! Kamu bahkan pernah menyayat nadi kamu sendiri hanya demi mencegah Edward berangkat keluar kota bersama Silva."
"Wow, bodoh sekali," sahut Nana dengan wajah melongo.
"Ekspresimu kenapa begitu, Na? Kamu bikin aku takut," ucap Rossa sambil bergidik ngeri.
Siapa tahu, otak Nana mengalami kerusakan yang cukup parah. Karena, kondisi Nana yang sekarang, sudah mirip seperti orang yang kehilangan kewarasan di mata Rossa.
"Na? Kamu hanya pura-pura lupa ingatan, kan?" tanya Rossa sambil menyentuh lengan Nana.
"Pura-pura?" Nana lagi-lagi melongo. "Astaga, kamu nggak percaya sama aku, Ros?"
"Bukan begitu," sangkal Rossa. "Hanya saja, trik seperti ini adalah keahlian kamu, Na. Siapa tahu, ini cara baru kamu untuk mendapatkan hatinya Edward."
"Siapa yang mau berusaha mendapatkan hati laki-laki jahat itu, Ros? Aku? Nggak mungkin."
"Na? Kamu benar-benar sudah sadar sekarang? Kamu benar-benar sudah nggak bucin lagi sama si Edward?"
"Untuk apa aku bucin sama laki-laki kayak dia?" sahut Nana. "Banyak ikan lain didalam lautan, Rossa! Jadi, kenapa aku harus membuang-buang waktuku dengan hanya mengejar dia saja?"
"Aku harap, kamu serius, Na! Tolong, jangan bodoh lagi karena cinta! Edward nggak cinta kamu! Dia cuma cinta sama Silva."
"Setelah aku keluar dari rumah sakit, antarkan aku mengurus perceraian, ya!"
"Hah?"
Rossa sangat terkejut. Ia menampar pipinya secara reflek untuk meyakinkan diri bahwa yang dia dengar bukanlah mimpi.
"Ka-kamu mau menceraikan Edward, Na?"
Dengan penuh percaya diri, Nana mengangguk. "Ya, tentu saja! Aku nggak mau menjadi penghalang untuk dia dan kekasihnya bisa bersama."
*
Dua hari berlalu. Akhirnya, Nana dibolehkan pulang oleh pihak rumah sakit.
Karena belum memiliki tempat tinggal lain, maka Nana memutuskan untuk kembali ke rumah milik Edward.
"Tidak apa-apa. Kita akan bertahan di sini sampai Rossa kembali," gumam Nana meyakinkan diri sendiri.
Ya, Rossa memang keluar kota sejak kemarin. Selama dua minggu, sahabat baik Nana itu akan sangat sibuk dengan pekerjaannya.
"Kamu sudah pulang?"
Langkah Nana yang baru saja melewati ruang tamu langsung terhenti. Dia reflek menoleh ke sumber suara dan langsung memutar bola matanya malas saat melihat sosok yang berharap tak pernah dia temui selama tinggal dirumah itu, justru sedang duduk di ruang tamu sambil memegang sebuah majalah.
Edward sendiri terlihat berusaha menahan kekesalan didalam hatinya. Ekspresi wajah Nana yang begitu muak saat melihatnya, membuat dia merasa tak suka.
Sejak kapan, tatapan memuja Nana untuk dirinya mulai menghilang?
"Seperti yang Anda lihat, Tuan Edward. Ya, saya sudah pulang," jawab Nana dengan nada malas.
"Kenapa nggak telfon supaya dijemput?" tanya Edward.
"Untuk apa?" balas Nana. "Toh, Tuan Edward nggak mungkin mau jemput saya."
"Kamu..."
"Sudah, ya!" Nana dengan cepat memotong perkataan Edward. "Saya lagi malas berdebat. Jadi, kalau Tuan Edward mau marah-marah, sebaiknya nanti saja."
Cepat, Nana meninggalkan tempat itu. Edward bak hama yang saat ini ingin sekali dia hindari.
"Perempuan itu... sejak kapan dia jadi pandai memotong ucapan orang seperti ini?" gumam Edward. Dia meremas kuat majalah yang dia pegang tanpa sadar.
"Oh iya..." Nana tiba-tiba kembali.
Edward pun merasa yakin bahwa Nana pasti akan meminta maaf padanya atas kesalahan Nana dua hari yang lalu dan juga hari ini.
Tapi, rupanya Edward salah. Apa yang ingin Nana ucapkan ternyata jauh dari bayangannya.
"Kamar saya yang mana? Kita nggak mungkin tidur sekamar, kan?"
Edward menggeram kesal. Namun, dia tetap menunjukkan dimana letak kamar Nana.
"Terimakasih, Tuan Edward!" ucap Nana setelah Edward memperlihatkan posisi kamarnya.
Tiba didalam kamar, Nana melihat begitu banyak barang-barang mewah yang berjajar didalam walk in closet pribadinya.
Dia akui, untuk hal ini, Edward memang lumayan royal. Walaupun, Nana juga sudah bisa menebak bahwa barang-barang itu dibeli bukan untuk menyenangkan dirinya melainkan untuk menunjang penampilan dirinya jika sedang menghadiri acara bersama Edward.
"Kotak apa ini?" gumam Nana penasaran saat tak sengaja menemukan sebuah kotak besar didalam lemari.
Benda itu kemudian dia keluarkan dengan cepat. Penutupnya dibuka. Kemudian, benda didalamnya, dikeluarkan satu per satu.
"Iyuh!! Pakaian macam apa ini?" seru Nana geli sambil melemparkan lingerie merah menyala itu ke lantai.
Diperiksanya barang-barang yang lain. Dan, isinya sama saja. Semua adalah pakaian seksi yang biasa digunakan oleh para istri untuk menyenangkan suami mereka.
"Kenapa di kamarku ada barang-barang seperti ini?" lanjut Nana menggumam dengan kesal.
"Tentu saja untuk menggoda aku," sahut pria yang berdiri dibelakang Nana.
"Astaga!" Nana terperanjat kaget. "Sejak kapan Tuan Edward berdiri disitu?" tanyanya kesal.
"Kenapa wajahmu kelihatan marah, Na?" tanya Edward seraya mendekat.
Namun, semakin dia mendekat, Nana justru mundur selangkah demi selangkah.
"Siapa yang nggak marah kalau dikejutkan seperti tadi?" sahut Nana.
Grep!
Edward tiba-tiba menangkap pinggang perempuan muda itu. Nana berusaha berontak namun Edward juga semakin mengeratkan pelukannya dipinggang ramping wanita itu.
"Bukannya, kamu paling senang kalau aku berkunjung ke kamar kamu?" tanya Edward.
"Senang? Hah! Anda terlalu percaya diri, Tuan Edward!" sangkal Nana.
"Kenyataannya, memang seperti itu. Biasanya, kamu selalu menggodaku dengan menggunakan lingerie-lingerie seksi itu."
Kening Nana berkerut. Jika dulu dia memang seperti itu, maka dirinya memang sudah tak memiliki harga diri di mata Edward.
Wajar, jika kini dirinya tetap saja diremehkan.
"Bagaimana kalau hari ini kamu pakai lingerie itu lagi, Na?" bisik Edward ditelinga Nana. "Mungkin..." tangannya membelai lembut kulit lengan Nana yang terasa sangat halus dan kenyal.
"Aku bisa tergoda sama tubuh kamu hari ini," lanjut Edward dengan hasrat yang tiba-tiba saja meningkat.
Aroma tubuh Nana sangat mengganggunya. Wanginya yang manis, membuat sisi kelelakian Edward jadi terusik gelisah.
Ditambah dengan pemberontakan Nana sekarang, hasrat Edward justru semakin menggebu.
Plak!
Tamparan Nana berhasil menyadarkan Edward kembali. Saat pria itu terlihat tertegun sejenak, Nana langsung mendorong dada bidang Edward hingga pria itu akhirnya bisa menjauh darinya.
"Kalau Tuan Edward sangat ingin bercinta, kenapa tidak cari kekasih Tuan Edward saja?" sungut Nana kesal. "Bukankah, Tuan Edward selalu bilang kalau tubuh saya ini sangat menjijikkan?"
Edward mendengkus kesal. Kata-kata Nana sungguh membuatnya tersinggung.
Lagipula, bukankah Nana dulunya yang selalu berusaha untuk menggoda Edward? Dan, disaat Edward sudah tergoda untuk pertama kalinya, Nana justru menolak keinginan Edward mentah-mentah.
"Kamu mau aku cari Silva? Baiklah! Aku akan cari dia!" sahut Edward seraya keluar dari kamar Nana dengan tergesa-gesa.