NovelToon NovelToon
JATUH UNTUK BANGKIT

JATUH UNTUK BANGKIT

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Cinta Terlarang / Pengganti / Crazy Rich/Konglomerat / Identitas Tersembunyi / Romansa
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Elang Alghifari, CEO termuda yang sukses, dijebak oleh sahabat dan calon istrinya sendiri. Dalam semalam, ia kehilangan segalanya—perusahaan, reputasi, kebebasan. Tiga tahun di penjara mengubahnya dari pemimpin visioner menjadi pria yang hidup untuk satu tujuan: pembalasan.
Namun di balik jeruji besi, ia bertemu Farrel—mentor yang mengajarkan bahwa dendam adalah seni, bukan emosi. Setelah bebas, Elang kabur ke Pangalengan dan bertemu Anya Gabrielle, gadis sederhana yang mengajarkan arti cinta tulus dan iman yang telah lama ia lupakan.
Dengan identitas baru, Elang kembali ke Jakarta untuk merebut kembali segalanya. Tapi semakin dalam ia tenggelam dalam dendam, semakin jauh ia dari kemanusiaannya. Di antara rencana pembalasan yang sempurna dan cinta yang menyelamatkan, Elang harus memilih: menjadi monster yang mengalahkan musuh, atau manusia yang memenangkan hidupnya kembali.
Jatuh untuk Bangkit adalah kisah epik tentang pengkhianatan, dendam, cinta,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 31: PERTEMUAN DENGAN MUSUH

#

Ruang meeting Hartavira Group dingin—bukan cuma dari AC yang terlalu kenceng, tapi dari atmosfer yang berat kayak ada sesuatu gak terlihat mencekik leher. Dinding kaca besar di satu sisi nunjukin pemandangan Jakarta dari lantai dua puluh delapan—gedung-gedung pencakar langit, jalan rame yang keliatan kecil dari sini, langit yang abu-abu penuh polusi.

Elang duduk di kursi yang terlalu empuk, punggung lurus kayak tongkat, tangan dilipet di pangkuan biar gak keliatan gemetar. Di seberangnya, Brian duduk dengan postur yang calculated—condong sedikit ke depan, tangan dirangkap di atas meja, mata yang gak pernah berhenti ngawatin.

"Jadi, Pak Galang," Brian mulai dengan suara yang smooth tapi ada edge tajam di bawahnya, "Harris bilang Anda spesialis di restrukturisasi perusahaan yang lagi krisis. Bisa jelasin lebih detail tentang approach Anda?"

Elang—atau Galang sekarang—tarik napas pelan, kontrol suara biar keluar dengan percaya diri yang pas. "Approach saya sederhana, Pak Brian. Pertama, identifikasi bleeding point—dimana perusahaan kehilangan uang paling banyak. Kedua, potong yang gak perlu, perkuat yang potensial. Ketiga—dan ini yang paling penting—bangun ulang kepercayaan stakeholder. Karena di krisis kayak gini, kepercayaan adalah aset paling berharga."

Brian angguk pelan, tapi mata masih mengamati dengan intensitas yang bikin Elang pengen lirik ke bawah tapi dia tahan. Gak boleh. Kontak mata adalah kunci kredibilitas.

"Kepercayaan," Brian ngulang kata itu dengan nada yang sedikit... ironis? Pahit? "Iya, kepercayaan memang penting. Dan susah dibangun kalau udah hancur."

Ada sesuatu di kalimat itu yang bikin tengkuk Elang merinding. Kayak Brian lagi ngomong gak cuma soal bisnis, tapi soal sesuatu yang lebih personal. Tapi wajah Elang tetep netral, cuma angguk sopan.

Zara yang dari tadi diem tiba-tiba bicara—suaranya lembut kayak madu tapi Elang inget madu itu beracun. "Pak Galang, boleh tau Anda sebelumnya handle klien apa aja? Perusahaan besar atau startup?"

Pertanyaan jebakan. Elang tau. Kalau dia jawab terlalu detail, mereka bisa cek dan ketahuan palsu. Kalau terlalu vague, keliatan gak kredibel.

"Mix," jawabnya dengan tenang yang dipalsukan. "Beberapa startup teknologi di Singapura, satu perusahaan manufaktur di Surabaya, dan consulting project kecil-kecilan buat UMKM yang mau scale up. Saya lebih suka klien yang challenging—yang orang lain udah nyerah, tapi saya lihat masih ada harapan."

"Optimis," Brian berkomentar dengan senyum tipis yang gak sampe mata. "Atau naif?"

"Realis," Elang jawab cepat—terlalu cepat, dia sadar, tapi udah terlanjur keluar. "Saya percaya setiap masalah punya solusi. Cuma perlu orang yang cukup keras kepala buat nemuin solusi itu."

Keras kepala. Kata yang Brian pernah pake buat describe Elang dulu—"Lo terlalu keras kepala, Lang. Kadang harus tau kapan menyerah." Tapi Elang gak pernah belajar menyerah. Dan sekarang keras kepala itu yang bawa dia balik ke ruangan ini dengan identitas berbeda tapi tujuan yang sama: keadilan. Atau balas dendam. Atau apapun yang ada di antara dua itu.

Brian condong lebih deket, mata menyipit sedikit. "Wajah Anda beneran familiar, Pak Galang. Sangat familiar. Anda yakin kita gak pernah ketemu? Mungkin di conference? Atau seminar bisnis?"

Jantung Elang kayak mau lompat keluar dari dada. Tapi dia paksa senyum—senyum yang bingung dengan educate, "Saya cukup aktif di LinkedIn, Pak. Mungkin Bapak pernah liat profil saya di sana? Atau..." Ia pura-pura mikir, "atau mungkin kita emang pernah papasan di acara-acara professional. Saya sering dateng ke networking event di Jakarta sebelum pandemi."

"Mungkin," Brian jawab tapi mata masih curiga—mata yang kayak lagi scan wajah Elang di database otaknya, bandingkan dengan semua wajah yang pernah dia liat. "Atau mungkin Anda mirip dengan... seseorang yang dulu saya kenal. Tapi dia—" Ia berhenti, senyum getir, "—dia udah gak relevan sekarang."

Zara tiba-tiba sentuh lengan Brian—sentuhan yang lembut tapi ada warning di sana. "Sayang, fokus ke meeting." Lalu dia lirik ke Elang dengan senyum yang terlalu manis, "Maaf ya Pak Galang, suami saya lagi banyak pikiran akhir-akhir ini. Perusahaan lagi... challenging."

"Saya ngerti," Elang jawab dengan empati palsu yang sempurna. "Makanya saya di sini. Buat bantu ngurangin beban Pak Brian."

Meeting berlanjut satu jam—diskusi tentang masalah keuangan Hartavira, tentang investor yang kabur, tentang strategi marketing yang perlu diubah. Elang ngomong dengan profesional yang dia gak tau masih dia punya—otak CEO yang dulu bikin strategi buat Garuda Investama sekarang dipake buat "bantu" Brian padahal sebenarnya dia lagi observasi, lagi catat setiap kelemahan, setiap celah yang bisa dia eksploitasi nanti.

Dan yang paling menyiksa: dia harus kontrol diri buat gak teriak "GUE ELANG! GUE YANG LO JEBAK! GUE YANG LO HANCURKAN!" setiap kali Brian senyum atau Zara ketawa kecil ke joke yang gak lucu.

Akhirnya Brian berdiri—tanda meeting selesai. "Oke, Pak Galang. Saya impressed dengan approach Anda. Harris recommendation memang gak pernah salah. Kita deal. Anda mulai kerja Senin depan. Kontrak dan detailnya akan dikirim by email."

Elang berdiri juga—kaki rasanya kayak jelly tapi dia paksa buat steady. Ulurin tangan lagi buat jabat tangan closing.

Brian genggam tangannya—grip yang keras, mata yang masih mengamati. "Welcome to Hartavira, Pak Galang. Semoga Anda bisa bantu kami... bangkit dari krisis ini."

"Akan saya lakukan yang terbaik," Elang jawab dengan senyum yang dia gak tau gimana bisa dia produksi di situasi ini.

Zara juga jabat tangan—tangan lembut dengan kuku manicure perfect. "Senang bisa kerja sama, Pak Galang." Tapi matanya—matanya masih mengamati dengan sesuatu yang bikin Elang gak nyaman. Kayak dia lagi coba ingat puzzle yang piece-nya gak pas.

Harris bawa Elang keluar dari ruangan dengan langkah yang professional tapi begitu pintu lift tertutup dan cuma mereka berdua, Elang langsung sandar ke dinding lift dengan napas yang keluar berat kayak orang abis lari marathon.

"Lo okay?" Harris tanya dengan nada khawatir, tangan siap nangkep kalau Elang jatuh.

"Aku..." Elang nutup mata, tangan di dada yang naik turun cepat. "Aku barusan jabat tangan sama orang yang hancurkan hidupku. Dua kali. Dan dia gak sadar. Dia gak tau. Dia cuma... dia cuma liat aku kayak konsultan baru yang mau bantu dia solve masalah yang GUE yang bikin!"

Suaranya naik di akhir—frustrasi dan sesuatu yang kayak hysteria yang ditahan. Harris pegang bahunya dengan firm.

"Elang, dengerin gue. Lo berhasil. Lo masuk. Lo sekarang inside. Ini yang kita mau. Sekarang tinggal execute plan dengan hati-hati dan—"

"Dia bilang aku familiar," Elang potong dengan suara yang gemetar. "Dia bilang aku mirip seseorang yang dia kenal. Harris, kalau dia inget—kalau dia somehow connect the dots—"

"Dia gak akan," Harris jawab dengan certainty yang dipalsukan. "Lo udah beda. Rambut, berat badan, cara ngomong—semuanya beda. Dan orang kayak Brian gak akan pernah expect bahwa Elang Alghifari yang dia jebak tiga tahun lalu sekarang balik dengan identitas baru. Pride dia gak akan allow dia mikir sejauh itu."

Lift berhenti di lobby. Mereka jalan keluar dengan langkah yang professional meskipun Elang rasanya mau lari secepet mungkin dari gedung ini. Udara luar terasa lebih panas dari sebelumnya, atau mungkin cuma adrenalin yang bikin semua sensasi lebih intense.

Di parkiran, Harris buka pintu mobil tapi sebelum Elang masuk, dia tahan sebentar. "Elang, gue harus tau. Lo masih bisa lanjutin ini? Karena mulai Senin, lo bakal kerja di sana. Setiap hari ketemu Brian. Setiap hari acting jadi Galang. Setiap hari nahan amarah yang lo punya. Lo yakin lo gak akan... snap?"

Elang menatap gedung Hartavira yang menjulang di belakang mereka—gedung yang dulu miliknya, sekarang jadi battlefield. Tarik napas dalam, keluarin pelan.

"Aku gak akan snap," jawabnya dengan suara yang lebih tenang tapi ada kegelapan di sana—kegelapan yang udah mengendap tiga tahun dan sekarang punya channel buat keluar dengan controlled. "Aku udah nunggu terlalu lama buat moment ini. Aku gak akan rusak semuanya karena emosi sesaat. Aku akan..." Ia pause, nyari kata yang tepat, "...aku akan menikmati setiap detik dari kehancuran mereka. Pelan-pelan. Methodical. Sampai mereka ngerasa apa yang aku rasain waktu dunia aku runtuh."

Harris menatapnya lama dengan ekspresi yang complex—ada keprihatinan, ada takjub, ada sesuatu kayak... takut? Tapi dia gak bilang apa-apa. Cuma angguk dan masuk ke mobil.

Dalam perjalanan balik ke Tangerang, Elang menatap jalanan Jakarta yang macet dengan pikiran yang berjuta-juta. Tadi dia duduk di ruangan yang sama dengan Brian dan Zara. Bernapas udara yang sama. Berbagi space yang sama. Dan mereka gak tau. Mereka gak sadar bahwa ghost yang mereka ciptakan sekarang duduk di seberang mereka dengan senyum palsu dan rencana yang lebih gelap dari yang mereka bisa imagine.

Hape bergetar—pesan dari Anya:

*Mas udah selesai meeting? Gimana? Aman kan? Anya khawatir dari tadi sholat terus.*

Elang tersenyum—senyum pertama yang genuine hari ini. Jari bergerak di keyboard:

*Aman. Meeting berjalan lancar. Aku mulai kerja Senin. Doain aku ya, Nya.*

Send.

Balasan dateng cepet:

*Alhamdulillah. Anya doain mas setiap waktu. Mas jangan lupa sholat. Jangan lupa tasbih bapak. Dan mas... please, jangan lupa siapa mas yang sebenarnya di tengah semua ini.*

Elang menatap pesan itu lama. Siapa dia yang sebenarnya? Dia udah gak tau lagi. Elang udah mati. Galang adalah konstruksi palsu. Yang tersisa cuma... apa? Dendam dengan kulit manusia? Strategy dengan detak jantung?

Tapi ada satu hal yang dia tau pasti: starting Senin, dia bakal kerja di perusahaan yang dia bangun, buat orang yang ngehancurin dia, dengan tujuan ngehancurin balik dari dalam.

Dan entah kenapa, pikiran itu—alih-alih bikin dia takut—malah bikin dia excited dengan cara yang gelap dan twisted.

Perang udah dimulai. Dan round pertama jatuh ke dia.

---

**[Bersambung ke Bab 26]**

1
Dessy Lisberita
aku kok suka nya elang sama. stella ya thoor
Dri Andri: sayangnya elang udah jatuh cinta sama anya
total 1 replies
Dessy Lisberita
lanjut
Dri Andri: oke simak terus yaa
total 1 replies
Rizky Fathur
hancurkan Brian Thor sehancur hancur Thor bongkar semua kebusukannya Brian Thor jangan bikin elang naif memaafkan Brian pas Brian memohon ampunan jangan libatkan keluarganya bikin elang tidak perduli bikin elang berbisik kepada Brian Brian keluargamu bagiamana bikin di sini Brian sampai memohon jangan libatkan keluarganya bikin elang tidak perduli Dan tertawa jahat Thor hahahaha
Dri Andri: perlahan aja ya😁k
total 2 replies
Rizky Fathur
Thor cepat bongkar kebusukan Brian Thor bikin elang kejam kepada musuhnya musuhnya bantai Sampai ke akar akarnya bersihkan nama baiknya elang Thor bikin di sini sifatnya jangan naif Thor
Rizky Fathur
cepat bantai Brian dengan kejam Thor bongkar semua kebusukannya ke media Thor bikin elang bersihkan namanya Dan Ambil lagi semua hartanya bikin elang tuntut balik orang yang melaporkannya dulu Dan yang memfitnahnya dulu dengan tuntutan puluhan milyar bikin elang kejam kepada musuhnya Thor kalau perlu tertawa jahat dan kejam berbicara akan membantai keluarganya Brian bikin Brian memohon ampunan jangan libatkan keluarganya kepada elang bikin elang tertawa jahat hahahaha Brian aku tidak perduli habis itu pukulin Brian sampai pingsan
Dessy Lisberita
lanjut
Dri Andri: gaskeun
total 1 replies
Rizky Fathur
lanjut update thor ceritanya seru cepat buat elang Ambil kembali asetnya bongkar kebusukan Brian bikin elang kejam Thor sama Brian bilang akan bantai keluarganya Brian bikin Brian memohon ampunan jangan libatkan keluarganya bikin elang tidak perduli bikin elang tertawa jahat Thor
Rizky Fathur: bikin elang kejam Thor bongkar kebusukan Brian ke media bersihkan nama baiknya elang Thor bikin elang tuntut balik yang memfitnahnya Dan menjebaknya itu dengan tuntutan berapa ratus Milyar Thor
total 2 replies
Dessy Lisberita
bangkit lah elang
Dessy Lisberita
jngan terlalu percaya sama saudara ap lagi sama orang asing itu fakta
Rizky Fathur
lanjut update thor ceritanya bikin elang menang bikin Jefri kalah Thor kalau perlu Hajar Jefri sampai luka parah
Dri Andri: gas bro siap lah perlahan aja ya makasih udah hadir
total 1 replies
Kisaragi Chika
bentar, cepat banget tau2 20 chapter. apa datanya disimpan dulu lalu up bersamaan
Dri Andri: hehehe iyaa
total 4 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!