Kirana Larasati, gadis yang baru saja lulus SMA, harus menghadapi kenyataan pahit. Adiknya menderita sakit kanker, namun masalah ekonomi membuat adiknya terpaksa dirawat di rumah sendiri. Kirana ingin bekerja dan membantu orang tuanya. Suatu hari, tetangganya bernama Lilis menawarkannya pekerjaan sebagai pengasuh anak.
Kirana bertemu dengan Bastian Rajendra, seorang duda yang memiliki satu anak perempuan bernama Freya Launa.
Awalnya, Kirana hanya berniat bekerja untuk mendapatkan uang demi pengobatan adiknya. Namun, kedekatan Kirana dengan Freya, serta tanggung jawabnya yang besar, membuat Bastian mengambil keputusan tak terduga. Bastian menawarkan sebuah pernikahan kontrak dengan janji akan menanggung seluruh biaya pengobatan adiknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Sabrina Rasmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kepleset
Kirana menggeliat di balik selimut tebalnya. Hal pertama yang ia sadari adalah rasa hangat yang nyaman, namun saat tangannya meraba ke samping, ia tidak menemukan "Tembok Berlin" alias guling pembatas yang semalam diletakkan Bastian.
Sontak Kirana membuka matanya lebar-lebar. Ia mendapati dirinya sudah bergeser jauh dari pinggir kasur, dan guling itu sudah tergeletak malang di lantai.
"Amnesia ya semalam? Perasaan pembatasnya tinggi banget," gumamnya bingung.
"Cepat bangun. Ambil air wudhu, kita salat subuh berjamaah."
Suara bariton yang tegas itu membuat Kirana terjingkat. Ia menoleh dan melihat Bastian sudah berdiri di dekat jendela besar yang masih tertutup gorden tipis. Pria itu sudah rapi mengenakan sarung dan baju koko putih, wajahnya terlihat segar dan sangat tenang, jauh dari kesan "Raksasa Bisnis" yang menakutkan.
Kirana mengucek matanya, masih setengah sadar. "Mas... kok sudah rapi aja? Mas nggak tidur ya semalam?"
Bastian melirik Kirana, lalu matanya turun ke arah guling di lantai. "Bagaimana saya bisa tidur nyenyak kalau ada orang yang tidurnya seperti baling-baling bambu? Kamu hampir menendang saya keluar dari kasur tiga kali semalam."
Wajah Kirana mendadak merah padam. "Masa sih? Perasaan saya tidurnya kalem kayak putri tidur!"
"Putri tidur tidak mendengkur sambil menggumam 'bakso granat', Kirana," balas Bastian datar, namun ada kilat jenaka di matanya. "Sudah, jangan banyak alasan. Cepat bangun, saya tunggu di sajadah. Sebagai kepala keluarga, saya harus memastikan istri saya tidak telat menghadap Tuhan."
Kirana tertegun sejenak. Ada sesuatu yang menghangatkan hatinya melihat sisi religius Bastian. Ternyata di balik sikap otoriter dan kekayaannya yang selangit, pria ini tetap ingat kewajibannya.
"Iya, Mas Kelinci... bawel banget sih pagi-pagi," gerutu Kirana sambil beranjak menuju kamar mandi dengan langkah gontai.
Usai melaksanakan salat subuh berjamaah—pengalaman pertama bagi Kirana menjadi makmum seorang Bastian—suasana di kamar itu terasa lebih tenang. Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama bagi Kirana.
Begitu ia selesai melipat mukena, Bastian mendekat. Ia berdiri tepat di depan Kirana, menghalangi jalannya.
"Tenaga saya sudah kembali penuh sekarang," ucap Bastian pelan, suaranya terdengar lebih rendah dari biasanya.
Kirana menelan ludah, mundur satu langkah sampai punggungnya menyentuh lemari. "Terus? Hubungannya sama saya apa?"
Bastian menyeringai, menyandarkan satu tangannya ke lemari, mengurung Kirana. "Ingat denda guling tadi malam? Kamu yang melewati batas teritorial dan menjatuhkan pembatasnya. Menurut perhitungan saya, kamu berhutang banyak pada saya pagi ini."
"Tapi... tapi kan saya nggak sengaja!" bela Kirana panik.
"Hukum tetap hukum, Nyonya Rajendra. Dan hukuman untuk pagi ini... bukan gerobak bakso," Bastian menunduk, mendekatkan wajahnya hingga hidung mereka hampir bersentuhan. "Siapkan dirimu, karena Mbak Lilis baru pulang nanti sore, dan Freya masih di rumah Mama sampai siang."
"Mas! Mas beneran mau berubah jadi singa ya pagi-pagi?!" seru Kirana, jantungnya berpacu lebih kencang dari sebelumnya.
Kirana segera melesat ke dapur sebelum Bastian sempat melakukan serangan "singa" lebih jauh. Di dapur, ia merasa lebih berkuasa. Tangannya dengan lincah memetik kangkung dan mengocok telur. Suasana rumah yang sangat sepi karena Mbok Yem diliburkan dan Mbak Lilis pulang kampung membuat suara desis wajan terdengar sangat nyaring.
"Hah! Ternyata dia beneran ngosongin rumah. Dasar Kelinci Licik, taktiknya halus banget buat berduaan," gumam Kirana sambil menuang telur dadar ke piring.
Tak lama kemudian, Bastian muncul di dapur. Ia sudah mengganti baju kokonya dengan kaos santai yang pas di tubuhnya, membuatnya terlihat lebih muda namun tetap mengintimidasi. Ia duduk di meja makan, memperhatikan punggung Kirana yang sibuk bolak-balik.
"Hanya tumis kangkung dan telur?" tanya Bastian saat Kirana menghidangkan masakan sederhana itu di depannya.
Kirana berkacak pinggang. "Mas, di kulkas cuma ada ini. Lagian, sarapan itu yang penting gizi dan cinta, bukan piring emasnya. Mas mau makan nggak? Kalau nggak mau, biar saya habisin semua!"
Bastian tidak menjawab, ia justru mengambil sendok dan mulai mencicipi. Kirana memperhatikan dengan was-was. Seleranya kan selera lidah konglomerat, apa masuk dengan masakan rakyat jelata?
"Bagaimana?" tanya Kirana tidak sabar.
Bastian mengunyah pelan, lalu menatap Kirana. "Rasanya... mirip dengan masakan mama saya dulu saat kami belum sesukses sekarang. Sederhana, tapi pas."
Kirana tertegun. Pujian itu terasa jauh lebih berarti daripada satu kartu kredit hitam. Mereka pun makan berdua dalam keheningan yang nyaman, sesekali Bastian menjatuhkan pandangan pada Kirana yang makan dengan sangat lahap hingga ada sebutir nasi di sudut bibirnya.
"Kirana," panggil Bastian lembut.
"Hmm?" sahut Kirana tanpa menoleh, mulutnya penuh kangkung.
Bastian mengulurkan tangannya, ibu jarinya mengusap sudut bibir Kirana untuk membersihkan butiran nasi itu. Gerakannya sangat perlahan, membuat Kirana membeku di tempat dengan pipi yang mulai merona lagi.
"Ingat janji saya tadi? Mbok Yem libur, Mbak Lilis pulang, dan Freya masih lama di rumah neneknya," Bastian merendahkan suaranya, matanya menatap intens. "Setelah makan ini selesai, tidak ada lagi alasan untuk kabur ke dapur, Nyonya Rajendra."
Kirana tersedak kecil. "Mas... tapi kan piringnya harus dicuci!"
"Biarkan mesin pencuci piring yang bekerja," Bastian berdiri, lalu menarik tangan Kirana untuk ikut berdiri. "Sekarang, giliran saya yang menagih denda 'Tembok Berlin' yang runtuh semalam."
Batin Kirana menjerit, "Tolong! Sepertinya tumis kangkung saya tadi ngasih tenaga ekstra buat si Singa! Habis deh gue pagi ini!"
Di kamar, Kirana merasa ingin mati saja saat melihat Bastian duduk di tepi ranjang, meregangkan bahunya yang lebar. "Selesai riwayat gue," batinnya pasrah.
"Sini," panggil Bastian sambil menepuk sisi ranjang di sebelahnya.
Kirana mendekat dengan langkah segan. "Mau ngapain, Mas?"
"Pijitin saya," pinta Bastian dengan mata terpejam.
Mendengar itu, Kirana refleks mengelus dadanya. "Lah, Alhamdulillah! Kirain mau diapain! Tapi dikira gue tukang pijit panti pijat atau gimana?!" gumamnya lega sekaligus kesal.
Bastian membuka matanya lagi dan mulai melepas kaosnya, memperlihatkan punggung dan lengan kekarnya yang padat otot.
"Eh, dasar Bapak! Ngapain lepas baju?!" seru Kirana panik, buru-buru menutup matanya dengan sebelah tangan.
Bastian mendengus. "Kirana, kamu kira kamu mau mijitin baju saya? Punggung saya terasa pegal, sudah dua hari kurang tidur gara-gara pernikahan dadakan ini." Ia menghela napas lelah. "Kalau saya mijat pakai baju, ya nggak kena ke kulitnya. Sudah, buka matamu. Kamu kan sudah sah jadi istri saya, nggak usah malu-malu begitu."
Kirana membuka matanya perlahan, pipinya kembali merona melihat pemandangan di depannya. Ia akhirnya duduk di belakang Bastian, tangannya mulai memijat bahu pria itu dengan kaku.
"Yang kencang," perintah Bastian.
"Iya, iya, Tuan Kelinci Otoriter!" gerutu Kirana.
Ajaibnya, sentuhan Kirana terasa pas. Bastian mulai rileks, kepalanya tertunduk, menikmati pijatan sang istri.
"Mas... beneran cuma pegal doang kan?" tanya Kirana was-was sambil terus memijat. "Jangan pas saya lengah, Mas tiba-tiba berubah jadi singa kelaparan ya?"
Bastian terkekeh pelan. "Tenang saja. Pagi ini saya masih mode 'kucing rumahan'. Tapi kalau pijatanmu seenak ini, mungkin mode singa saya bisa aktif lebih cepat."
Wajah Kirana memerah, ia menambah tekanan di bahu Bastian dengan kesal. "Modus banget sih, Mas!"
"Tapi saya suka modusnya," bisik Bastian, membuat Kirana semakin salah tingkah di pagi hari yang sepi itu.
Kirana yang merasa wajahnya sudah seperti kepiting rebus akibat godaan Bastian segera mencari alasan untuk kabur. "Aduh, panas banget ya kamar ini! AC-nya rusak apa gimana sih? Saya mau mandi lagi!" seru Kirana sambil bergegas menyambar handuk dan lari ke kamar mandi.
Bastian hanya menggelengkan kepala melihat tingkah istrinya. "Ya sudah, mandi sana. Jangan sampai tenggelam di bathtub!" teriaknya pelan dari tempat tidur.
Di dalam kamar mandi, Kirana berusaha menenangkan jantungnya yang masih marathon. "Sialan si Bastian, ganteng-ganteng ternyata titisan serigala berbulu kelinci! Bisa copot jantung gue kalau begini terus setiap hari," batinnya sambil menyalakan shower air dingin.
Setelah selesai, Kirana pun bersiap keluar. Namun, karena terburu-buru dan lantai yang masih basah terkena cipratan air, naas bagi Kirana.
Citt... Gubrak!
"ADUH!" teriak Kirana kencang saat tubuhnya mendarat tidak elit di lantai marmer yang dingin.
Di luar, Bastian yang sedang bersandar santai langsung terjingkat kaget. Suara jatuhnya terdengar sangat keras. "Kirana! Kamu kenapa?!" teriak Bastian panik dari balik pintu.
"Nggak... nggak apa-apa, Pak! Eh, Mas! Cuma tes kekuatan lantai doang!" sahut Kirana sambil meringis kesakitan, mencoba berdiri sambil memegangi handuknya yang nyaris melorot.
Tapi Bastian tidak percaya begitu saja. Tanpa pikir panjang, ia langsung membuka pintu kamar mandi yang ternyata tidak dikunci rapat oleh Kirana.
Brak!
Bastian masuk dan melihat Kirana yang masih terduduk lemas di lantai dengan posisi yang sangat canggung. Rambutnya basah, dan ia hanya terbalut handuk putih yang dililitkan seadanya.
"Kamu ini... ceroboh sekali!" ujar Bastian. Alih-alih marah, suaranya terdengar sangat khawatir. Ia langsung berlutut di samping Kirana.
"Eh, Mas! Ngapain masuk?! Saya kan cuma pakai handuk!" Kirana berusaha menutupi tubuhnya dengan tangan, wajahnya kini merah padam melampaui batas maksimal.
Bastian tidak peduli. Ia melihat kaki Kirana yang mulai memerah. "Diam. Jangan bergerak dulu, nanti kalau ada yang terkilir malah makin parah," ucapnya tegas.
Tanpa aba-aba, Bastian menyusupkan lengannya ke bawah lutut dan punggung Kirana, lalu mengangkat tubuh gadis itu dalam satu gerakan mudah.
"Mas! Turunin! Saya bisa jalan sendiri!" protes Kirana panik, tangannya refleks mengalung di leher Bastian agar tidak jatuh.
Bastian menatap mata Kirana dengan jarak yang sangat dekat, suaranya kembali rendah dan dalam. "Tadi bilangnya saya mode singa kan? Sekarang singanya sedang menjalankan tugas menyelamatkan mangsanya yang ceroboh. Jadi, diam atau saya jatuhkan kamu di tempat tidur?"
Kirana langsung membungkam mulutnya rapat-rapat. Jantungnya berdetak kencang hingga ia takut Bastian bisa mendengarnya. "Ya Tuhan, ini sih lebih bahaya daripada dipijit tadi!" batinnya pasrah saat Bastian membawanya keluar dari kamar mandi menuju ranjang.
di bab sblm nya jg gitu aku masih diem..eeh ini ketemu lg..kesel sm majikan boleh² aja tp g mesti ngebatin dengan kata² kotor.