Setelah kematian ayahnya, Risa Adelia Putri (17) harus kembali ke rumah tua warisan mendiang ibunya yang kosong selama sepuluh tahun. Rumah itu menyimpan kenangan kelam: kematian misterius sang ibu yang tak pernah terungkap. Sejak tinggal di sana, Risa dihantui kejadian aneh dan bisikan gaib. Ia merasa arwah ibunya mencoba berkomunikasi, namun ingatannya tentang malam tragis itu sangat kabur. Dibantu Kevin Pratama, teman sekolahnya yang cerdas namun skeptis, Risa mulai menelusuri jejak masa lalu yang sengaja dikubur dalam-dalam. Setiap petunjuk yang mereka temukan justru menyeret Risa pada konflik batin yang hebat dan bahaya yang tak terduga. Siapa sebenarnya dalang di balik semua misteri ini? Apakah Bibi Lastri, wali Risa yang tampak baik hati, menyimpan rahasia gelap? Bersiaplah untuk plot twist mencengangkan yang akan menguak kebenaran pahit di balik dinding-dinding usang rumah terkutuk ini, dan saksikan bagaimana Risa harus berjuang menghadapi trauma, dan Pengkhianatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14: Terjebak di Sarang Penipu
Jantung Risa berdentum, memacu darahnya yang dingin hingga terasa panas di ujung-ujung jemari. Satu-satunya tujuan di kepalanya adalah Kevin. Gudang. Dia harus sampai ke gudang. Tak peduli kakinya bergetar hebat, tak peduli kepalanya masih berdenyut seperti ditusuk jarum, tekadnya membakar semua rasa sakit. Bibi Lastri membelakanginya, siluetnya memanjang diterpa cahaya lilin yang menari. Ini kesempatannya.
Dengan gerakan sehalus mungkin, Risa melompat dari kasur usang. Suara pegasnya berdecit pelan, tapi cukup untuk membuat napasnya tertahan. Bibi Lastri tidak menoleh. Wanita itu sibuk mengaduk sesuatu di cangkir keramik, punggungnya terlihat tegang. Risa menyusup, merayap di balik lemari kayu yang retak, lalu mengendap-endap menuju pintu kamar. Setiap langkah adalah perjuangan, seolah ada beban tak kasat mata yang menekannya ke lantai. Aroma melati dan darah… masih tercium samar, melekat di udara seperti hantu.
“Risa? Kamu kenapa, Sayang?” Suara Bibi Lastri tiba-tiba memecah keheningan, terdengar begitu dekat, menusuk saraf Risa. Langkah kakinya terdengar mendekat. Risa membeku di ambang pintu, tangannya sudah menyentuh kenop dingin. Keringat dingin membasahi punggungnya. Mati aku. Dia tahu aku mau kabur.
Bibi Lastri berdiri di belakangnya, bayangannya menelan Risa. “Mau ke mana? Bibi kan sudah bilang, kamu masih harus istirahat.” Suaranya lembut, terlalu lembut. Risa bisa merasakan tatapan dingin itu menembus punggungnya. Ia tak berani menoleh. Jari-jari Bibi Lastri menyentuh bahunya, sentuhan yang terasa seperti cengkeraman baja. Risa merinding.
“Aku… aku mau ke toilet, Bi,” jawab Risa, suaranya tercekat. Ia berusaha agar kalimatnya terdengar senormal mungkin, tapi getaran di suaranya tak bisa ia sembunyikan. Bibi Lastri tertawa kecil. Tawa yang tak sampai ke matanya. Tawa yang membuat bulu kuduk Risa berdiri.
“Oh, toilet. Kenapa tidak bilang? Sini, Bibi temani.”
Risa menolak dengan gelengan kepala. “Tidak usah, Bi. Aku… aku bisa sendiri.” Ia menarik napas dalam, mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya. Kenop pintu terasa dingin di tangannya. Ia harus segera pergi dari sini. Ia harus.
“Tidak sopan menolak tawaran Bibi, Risa. Kamu itu anak baik, kan?” Suara Bibi Lastri berubah. Ada nada tajam yang terselip, seperti pisau yang baru diasah. Risa merasakan cengkeraman di bahunya menguat. Rasa sakit menjalar. Ia mencoba melepaskan diri, tapi tak bisa. Kekuatan Bibi Lastri mengejutkan.
“Bi… Bibi sakit,” rintih Risa, matanya melirik ke tangan Bibi Lastri. Cincin ibunya masih melingkar di jari manis wanita itu, berkilau sinis di bawah cahaya remang. Dan bekas luka bakar samar di punggung tangannya, kini terlihat seperti goresan memanjang, bukan sekadar bekas luka biasa. Goresan itu… bentuknya aneh. Mirip bekas cakaran yang dalam, atau… ya Tuhan. Ini bukan bekas luka bakar.
“Sakit? Ini tidak seberapa dibanding rasa sakit yang akan kamu rasakan kalau kamu terus-terusan jadi anak nakal, Risa.” Bibi Lastri berbisik, mendekatkan wajahnya ke telinga Risa. Bibirnya membentuk senyum menyeramkan. “Kamu tidak tahu apa-apa. Lebih baik kamu diam saja, dan semua akan baik-baik saja.”
Ketakutan murni mencengkeram Risa. Ini bukan Bibi Lastri yang ramah, yang pura-pura peduli. Ini adalah monster. Ia harus lari. Sekarang juga. Dengan seluruh tenaganya, Risa mengentakkan kaki ke punggung kaki Bibi Lastri. Rasa sakit yang tajam membuat cengkeraman Bibi Lastri mengendur sesaat. Itu cukup.
Risa melesat, membuka pintu kamar dengan kasar, lalu berlari sekencang-kencangnya. Ia tak menoleh. Suara teriakan marah Bibi Lastri bergema di belakangnya, memantul-mantul di koridor gelap. “RISA! KEMBALI KAU, ANAK KURANG AJAR!”
Kakinya menuruni tangga dua-dua. Gelap. Hanya cahaya remang dari jendela yang tertutup tirai tebal yang menerangi sebagian ruang tamu. Cermin besar di sana memantulkan bayangan Risa yang berlari ketakutan, seperti hantu. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul rusuknya seolah ingin keluar. Ia bisa mendengar langkah kaki Bibi Lastri mengejar di belakangnya, lebih cepat dari yang ia duga. Wanita itu tidak memakai sandal. Suara telapak kaki telanjang berdebum di lantai kayu membuat suasana semakin mencekam.
“Mau lari ke mana, Risa? Kamu tidak akan bisa lari dari Bibi!” Suara itu terdengar lebih dekat. Risa mempercepat larinya, menembus lorong yang menuju dapur, lalu belok tajam ke arah pintu belakang. Gudang itu ada di halaman belakang, tersembunyi di balik pohon mangga tua. Ia harus ke sana. Ia harus memastikan Kevin baik-baik saja.
Udara malam yang dingin menyambutnya saat ia berhasil membuka pintu belakang. Napasnya tersengal, paru-parunya seperti terbakar. Bulan purnama bersinar terang, menerangi taman yang rimbun dan menyeramkan. Bayangan pepohonan menari-nari di tanah, menciptakan ilusi tangan-tangan raksasa yang mencoba meraihnya.
“Kevin! KEVIN!” Risa berteriak, suaranya serak. Ia berlari melewati rumput basah, menembus semak belukar yang mencakar lengannya. Ia tidak peduli. Gudang itu terlihat di depannya, pintunya sedikit terbuka, tampak seperti mulut gua yang gelap.
Langkah kaki Bibi Lastri semakin mendekat. “Diam kau! Kalau tidak, Bibi tidak segan-segan untuk…” Suaranya terpotong oleh geraman rendah. Geraman itu… bukan suara manusia. Risa menoleh sekilas. Dalam cahaya rembulan, ia melihat Bibi Lastri berhenti di ambang pintu belakang, matanya merah menyala. Tapi bukan itu yang membuat Risa terkesiap. Di belakang Bibi Lastri, tepat di bawah bayangan pohon beringin tua, ada bayangan tinggi dan kurus. Bayangan itu bergerak, perlahan, seolah baru saja terbangun dari tidur panjang. Risa tak bisa melihat detailnya, hanya siluet hitam pekat yang menjulang tinggi, dengan dua titik merah berpendar di tempat seharusnya mata.
Sosok itu! Sosok bermata merah yang ia lihat saat Kevin diculik! Itu nyata! Bukan mimpi!
Ketakutan itu kini bukan lagi hanya soal Bibi Lastri. Ini jauh lebih besar, jauh lebih mengerikan. Risa merasakan tenggorokannya tercekat. Ia berlari, sekuat tenaga, menuju gudang. Setiap ototnya berteriak protes, tapi adrenalin memompanya untuk terus maju. Ia tidak boleh berhenti. Tidak sampai ia menemukan Kevin.
Ia tiba di depan pintu gudang, menghempaskannya terbuka. Aroma apek, debu, dan… bau amis yang pekat langsung menyeruak, menusuk hidung Risa. Di dalam, gelap gulita. Hanya ada celah kecil dari dinding yang retak, membiarkan seberkas cahaya bulan masuk, menerangi sebagian lantai tanah. Risa menyipitkan mata, mencoba menembus kegelapan. Ia memanggil lagi, “Kevin! Kamu di sini? KEVIN!”
Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang menyesakkan, ditemani suara jangkrik di luar dan derap langkah Bibi Lastri yang kini terdengar lebih jauh. Risa melangkah masuk, kakinya tersandung sesuatu. Ia menjerit tertahan. Tangannya meraba-raba, mencari saklar lampu. Tak ada. Ia mengeluarkan ponselnya, menyalakan senter.
Cahaya senter menyorot ke sekeliling, memperlihatkan tumpukan barang-barang usang, perkakas berkarat, dan jaring laba-laba yang menggantung di mana-mana. Debu tebal menyelimuti semuanya. Namun, di tengah semua kekacauan itu, Risa melihatnya. Sebuah tali tambang tebal tergeletak di lantai, kusut, dengan ujungnya yang robek. Di sampingnya, noda kehitaman yang sudah mengering. Dan di sudut, tepat di bawah tumpukan karung goni, ada sesuatu yang berkilau.
Risa mendekat, jantungnya berdebar gila. Ia menyibak karung goni itu dengan tangan gemetar. Di sana, tergeletak sebuah gantungan kunci. Gantungan kunci yang sama persis dengan yang Kevin selalu pakai. Liontin gitar kecil berwarna perak, yang kotor dan sedikit bengkok. Kevin ada di sini. Dia memang diikat. Itu bukan mimpi. Itu semua nyata.
Air mata mengalir deras di pipi Risa. Kevin! Apa yang terjadi padanya? Ke mana dia dibawa? Siapa yang membawanya? Bibi Lastri dan… sosok itu. Mereka bekerja sama. Mereka menculik Kevin. Dan mungkin… mungkin mereka juga yang melakukan hal yang sama pada ibunya.
Saat ia memungut gantungan kunci itu, jemarinya menyentuh sesuatu yang lengket di baliknya. Darah. Darah Kevin. Rasa mual kembali menyerang Risa, lebih kuat dari sebelumnya. Dia harus lari. Dia harus mencari bantuan. Dia harus menyelamatkan Kevin.
Namun, saat ia berbalik untuk keluar, sebuah bayangan hitam menjulang tinggi di ambang pintu gudang. Cahaya bulan di belakangnya membentuk siluet monster. Dua titik merah berpendar di tempat mata, menatap lurus ke arah Risa. Sosok itu. Dia ada di sana. Dan dia tidak sendiri. Di sampingnya, Bibi Lastri berdiri, bibirnya membentuk senyum mengerikan, matanya memancarkan kegilaan.
“Mau lari ke mana, Risa? Kamu tidak akan bisa keluar dari sini. Sama seperti ibumu. Dan temanmu itu… dia juga sudah tidak ada.” Suara Bibi Lastri menusuk, penuh kemenangan. “Kamu akan tetap di sini. Di rumah ini. Selamanya.”
Risa terperangkap. Di belakangnya, kegelapan gudang. Di depannya, dua monster, satu manusia dan satu lagi bukan. Ia mundur selangkah, napasnya tercekat. Ini bukan lagi hanya tentang mencari kebenaran. Ini tentang bertahan hidup. Dan Kevin… Kevin menghilang. Apa yang mereka lakukan padanya?