Satu kesalahan di lantai lima puluh memaksa Kirana menyerahkan kebebasannya. Demi menyelamatkan pekerjaan ayahnya, gadis berseragam putih-abu-abu itu harus tunduk pada perintah Arkan, sang pemimpin perusahaan yang sangat angkuh.
"Mulai malam ini, kamu adalah milik saya," bisik Arkan dengan nada yang dingin.
Terjebak dalam kontrak pelayan pribadi, Kirana perlahan menemukan rahasia gelap tentang utang nyawa yang mengikat keluarga mereka. Di balik kemewahan menara tinggi, sebuah permainan takdir yang berbahaya baru saja dimulai. Antara benci yang mendalam dan getaran yang tak terduga, Kirana harus memilih antara harga diri atau mengikuti kata hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Kecurigaan Sang Ayah
Asap hitam pekat membubung tinggi dari arah garasi, membawa aroma karet terbakar yang sangat menyesakkan dada. Arkananta masih mendekap tubuh Kirana di atas lantai kamar yang kini dipenuhi serpihan kaca tajam yang berkilauan tertimpa cahaya api dari bawah. Kirana terbatuk-batuk kecil dengan wajah yang tersembunyi di balik dada bidang pria itu, mencoba mencari sisa udara yang bersih untuk paru-parunya.
"Jangan bergerak sedikit pun jika kamu tidak ingin kakimu tertusuk serpihan kristal ini," bisik Arkananta dengan suara yang sangat rendah namun penuh dengan kewaspadaan.
Kirana perlahan mendongak, menatap wajah Arkananta yang kini ternoda oleh jelaga hitam di bagian pipi kirinya. Ia melihat kekhawatiran yang sangat nyata di balik mata elang pria itu, sebuah ekspresi yang belum pernah ia lihat selama mereka bersama. Ketakutan yang semula mendominasi hati Kirana kini perlahan berubah menjadi rasa ingin tahu yang sangat besar mengenai alasan di balik serangan ini.
"Siapa yang melakukan hal sekejam ini kepada kita, Tuan?" tanya Kirana dengan sapaan yang bergetar hebat akibat rasa trauma yang mendalam.
Arkananta tidak menjawab, ia justru berdiri dengan sangat sigap dan menarik Kirana agar berlindung di balik tembok beton yang tebal. Ia mengambil sebuah alat komunikasi kecil dari saku celananya dan segera memerintahkan seluruh pengawal pribadinya untuk menutup gerbang utama rumah tersebut. Suasana di luar kamar terdengar sangat gaduh dengan suara langkah kaki para pelayan yang berlari menyelamatkan diri mereka masing-masing.
"Bawa gadis ini ke ruang perlindungan bawah tanah sekarang juga!" perintah Arkananta kepada seorang pengawal bertubuh besar yang baru saja masuk.
Kirana ditarik secara paksa menuruni tangga darurat yang tersembunyi di balik lemari pakaian besar milik Arkananta. Ia merasa seperti seorang tawanan yang sedang dipindahkan dari satu penjara ke penjara lainnya di tengah malam yang buta. Pikirannya melayang kembali kepada ayahnya yang sedang berjuang melawan maut di rumah sakit, bertanya-tanya apakah ledakan ini juga berkaitan dengan ayahnya.
Di dalam ruang perlindungan yang berdinding baja tebal, Kirana duduk termenung sambil memeluk kedua lututnya sendiri dengan perasaan yang sangat hancur. Ia menatap ke arah layar pemantau yang memperlihatkan kondisi rumah sakit tempat ayahnya dirawat melalui sambungan rahasia. Jantungnya seolah berhenti berdetak saat melihat beberapa orang berpakaian serba hitam sedang mencoba masuk ke dalam ruang perawatan intensif ayahnya.
"Tuan! Tolong lihat layar itu! Mereka mencoba menyakiti ayah saya lagi!" teriak Kirana sambil menunjuk ke arah layar dengan jari yang bergetar.
Arkananta yang baru saja masuk ke dalam ruang perlindungan segera mengalihkan pandangannya ke arah monitor dengan rahang yang sangat mengeras. Ia melihat para pengawalnya di rumah sakit sedang terlibat baku hantam yang sangat sengit dengan para penyusup misterius tersebut. Arkananta segera mengambil telepon genggamnya dan menghubungi pihak rumah sakit dengan nada bicara yang sangat penuh dengan amarah.
"Pindahkan Pak Baskoro ke lantai paling atas sekarang juga dan blokir semua akses masuk bagi orang asing!" perintah Arkananta dengan suara yang sangat menggelegar.
Kirana jatuh tersungkur di atas lantai ruang perlindungan yang sangat dingin, merasa bahwa hidupnya benar-benar telah menjadi kutukan bagi ayahnya sendiri. Ia merasa Arkananta menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar utang nyawa yang pernah pria itu sebutkan sebelumnya. Arkananta berjalan mendekati Kirana dan berlutut di hadapannya, mencoba memberikan sedikit ketenangan bagi gadis yang sedang hancur tersebut.
"Ayahmu sudah berada di tempat yang paling aman, Kirana, saya bersumpah atas nama keluarga besar saya," ucap Arkananta sambil memegang bahu Kirana yang sangat lemas.
Kirana menatap Arkananta dengan mata yang sudah memerah karena terlalu banyak menangis sejak kejadian di kantor tempo hari. "Jika ayah saya bangun nanti, bagaimana saya harus menjelaskan bahwa rumah majikannya baru saja diledakkan oleh orang tidak dikenal?"
Arkananta terdiam sejenak, tatapannya beralih ke arah luka parut di dadanya yang masih sedikit terbuka akibat kancing kemejanya yang terlepas tadi. Ia menyadari bahwa rahasia besar ini tidak akan bisa ia simpan selamanya dari gadis yang kini sudah terikat kontrak dengannya tersebut. Perlahan, Arkananta mengambil sebuah map cokelat tua yang ternyata belum sempat ia bakar sepenuhnya di perapian tadi.
"Ada sesuatu yang ayahmu ketahui tentang kejadian sepuluh tahun yang lalu, sesuatu yang membuat para musuh saya sangat ketakutan," bisik Arkananta dengan nada yang sangat misterius.
Kirana meraih map yang sudah sedikit hangus di bagian ujungnya itu dengan perasaan yang sangat campur-aduk antara rasa takut dan penasaran. Di dalamnya terdapat sebuah foto lama yang memperlihatkan ayahnya sedang berdiri bersama ayah Arkananta di depan sebuah gudang tua yang terbakar. Kirana mengerutkan dahi, mencoba mengingat-ingat apakah ayahnya pernah bercerita tentang kejadian kebakaran besar di masa lalu.
"Ayah saya tidak pernah bercerita tentang foto ini, beliau selalu mengatakan bahwa beliau hanya pengemudi biasa," ujar Kirana dengan sapaan yang penuh dengan keraguan.
Arkananta berdiri kembali dan berjalan menuju meja kontrol, mematikan seluruh lampu utama dan hanya menyisakan lampu darurat yang berwarna kemerahan. Suasana ruang perlindungan itu mendadak menjadi sangat remang-remang dan menambah kesan yang sangat mencekam bagi siapa pun yang berada di sana. Arkananta menatap Kirana dari balik bayang-bayang dengan ekspresi wajah yang sangat sulit untuk dibaca maknanya.
"Ayahmu bukan sekadar pengemudi, dia adalah saksi kunci yang melihat siapa yang sebenarnya membakar gedung milik keluarga saya sepuluh tahun yang lalu."
Kirana merasa dunianya seolah kembali terguncang hebat mendengar kenyataan pahit yang baru saja keluar dari mulut pria yang sangat angkuh tersebut. Ia menyadari bahwa keberadaannya di rumah ini bukan hanya sebagai pelayan, melainkan sebagai sandera agar ayahnya tetap tutup mulut selamanya. Rasa benci kembali tumbuh subur di dalam hati Kirana, menutupi rasa simpati yang sempat muncul sesaat tadi pagi.
"Jadi, Anda mempekerjakan saya dan mengancam ayah saya hanya untuk kepentingan balas dendam Anda sendiri?" tanya Kirana dengan nada bicara yang mulai meninggi.
Arkananta tidak membantah tuduhan tersebut dan justru menatap Kirana dengan pandangan yang sangat menusuk hingga ke dalam relung jiwanya. Ia melangkah maju, memperpendek jarak di antara mereka hingga Kirana bisa merasakan aura kekuasaan yang sangat pekat dari tubuh pria itu. Keheningan yang tercipta di antara mereka terasa sangat menyesakkan dada dan penuh dengan ketegangan yang memuncak.
Tiba-tiba, suara dering telepon genggam milik Kirana yang tertinggal di atas meja belajar paviliun terdengar dari arah alat pemantau suara. Seseorang sedang mencoba menghubungi Kirana berkali-kali dengan nomor yang tersembunyi dan tidak terdaftar di dalam buku teleponnya. Arkananta segera mengambil alat perekam suara dan memperbesar volume suara agar mereka bisa mendengar apa yang sedang terjadi.
Kirana, ini ayah... lari sekarang juga dari rumah itu sebelum Arkananta membunuhmu seperti dia membunuh ibumu dulu...
Suara itu terdengar sangat parau dan penuh dengan ketakutan yang luar biasa, persis seperti suara ayah Kirana yang sedang menahan rasa sakit. Kirana membelalak sempurna, menatap Arkananta dengan pandangan yang dipenuhi dengan rasa ngeri yang tidak bisa ia gambarkan dengan kata-kata. Ia mundur selangkah demi selangkah, menjauh dari Arkananta yang kini tampak seperti monster yang paling menakutkan di dunia.
"Tadi Anda bilang ibu saya meninggal karena kecelakaan, tapi kenapa suara ayah saya mengatakan hal yang berbeda?" tanya Kirana dengan sapaan yang pecah karena rasa takut yang mendalam.
Arkananta tampak sangat terkejut mendengar suara tersebut, ia segera mencoba mematikan alat perekam suara itu dengan gerakan yang sangat terburu-buru. Namun, Kirana sudah terlanjur mendengar semuanya, dan kepercayaan yang baru saja mulai tumbuh kini hancur berkeping-keping menjadi debu yang tidak berarti. Arkananta mencoba meraih tangan Kirana, namun gadis itu segera menepisnya dengan tenaga yang sangat kuat.
"Jangan pernah menyentuh saya lagi dengan tangan yang penuh dengan darah ibu saya, Tuan Arkananta!" teriak Kirana sebelum berlari menuju pintu keluar ruang perlindungan.