Dena baru saja selesai menamatkan novel romance yang menurutnya memiliki alur yang menarik.
Menceritakan perjalanan cinta Ragas dan Viena yang penuh rintangan, dan mendapatkan gangguan kecil dari rival Ragas yang bernama Ghariel.
Sebenarnya Dena cukup kasihan dengan antagonist itu, Ghariel seorang bos mafia besar, namun tumbuh tanpa peran orang tua dan latar belakang kelam, khas antagonist pada umumnya. Tapi, karena perannya jahat, Dena jelas mendukung pasangan pemeran utama.
Tapi, apa jadinya jika Dena mengetahui sekelam apa kehidupan yang dimiliki Ghariel?
Karena saat terbangun di pagi hari, ia malah berada di tubuh wanita cantik yang telah memiliki anak dan suami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salvador, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Bastian
...****************...
“Di mana putraku?”
Baru kali ini Bi Laksmi mendengar Araya memanggil anaknya dengan sebutan kepemilikan seperti itu. Biasanya Araya hanya memanggil kasar, seperti ‘di mana anak itu?’ ‘di mana anak iblis itu?!’
“Tuan muda tengah di sekolahnya, Nyonya.”
Sekarang Bi Laksmi benar-benar mengkhawatirkan majikan kecilnya itu, untuk apalagi Nyonya nya mencari Tuan muda jika bukan untuk menyiksanya? Dan tak ada yang bisa Bi Laksmi lakukan sebagai pelayan, bahkan Tuannya pun hanya acuh dengan keadaan rumah.
“Sekolah?” Araya bergumam tertarik, sebuah ide cemerlang terlintas di kepalanya.
“Jam berapa Ghariel pulang? Biar aku yang menjemputnya.”
Kini pelayan Araya itu memiliki praduga lain, walaupun ucapan Araya terdengar seperti ibu yang baik ingin menjemput anaknya. Ia malah berpikir, apa hal buruk yang membuat mood Nyonya-nya itu turun? Biasanya Araya akan menghampiri Ghariel untuk pelampiasan seperti itu.
Bagaimana jika Nyonya ingin memarahi Tuan muda di depan teman-teman sekolahnya?! Batin Bi Laksmi khawatir.
“Bi Laksmi, aku tanya jam berapa?” Tegur Araya melihat pelayannya yang malah melamun itu.
“Ah, ma-maaf Nyonya. Itu. Tuan Muda biasanya pulang pukul satu siang,” jawab Bi Laksmi tergesa.
“Hmm, berrati dua jam lagi, ya.”
Bi Laksmi mengangguk, “yang bertugas mengantar jemput Tuan Muda adalah sir Bastian, Nyonya.”
“Bastian?”
***
Lelaki berusia akhir dua puluhan dengan membawa beberapa berkas di tangannya memasuki salah satu ruangan terpenting di mansion ini, tidak ada yang boleh masuk ke sana selain ia dan Tuannya.
Cklek..
Setelah membuka pintu dengan sidik jari, ia langsung memasuki ruangan yang hanya diterangi cahaya temaram dari lampu gantung tua yang cahayanya berpendar redup di atas meja kayu hitam di ruangan itu.
Di sepanjang dinding, berbagai jenis pistol dan senjata api terpajang rapi di rak kayu gelap, seolah menjadi hiasan sekaligus peringatan. Ada revolver klasik dengan ukiran di gagangnya, pistol otomatis dengan kilatan baja dingin, hingga shotgun berlaras ganda yang tampak sudah sering digunakan. Beberapa senapan tua bersandar di pojokan, sementara tumpukan amunisi tersusun di lemari kaca yang kusam.
Lelaki itu sedikit terperanjat ketika menyadari kursi di balik meja hitam itu ternyata di tempati seseorang.
“Maaf Tuan saya masuk tanpa mengetuk. Saya kira Anda menuju kantor pagi ini,” ujarnya sembari membungkuk sopan.
Namanya Bastian, tangan kanan dari bos mafia terbesar di negara ini. Siapa lagi jika bukan Tuan Gevandra Raguel Smith.
Gevan yang tengah menikmati wine di meja terlihat tak mempersalahkan sama sekali. Hanya Bastian yang memiliki akses ke ruang kerjanya selain dirinya sendiri.
Bastian meletakkan berkas yang ia bawa ke atas meja kerja Tuannya. Setelahnya berdiri di sana sampai sang Tuan memberikan perintah jika ia harus pergi. Sejenak ia dapat melihat wajah lelah Gevan, pria itu jelas tak baik-baik saja dengan meminum alkohol di pagi menjelang siang ini.
Gevan terlihat menghela nafas gusar sembari menyugar surainya, “Dia kembali mencoba untuk bunuh diri pagi ini,” ungkapnya pelan.
“Nyonya?” Tanya Bastian retoris. Ia jelas tahu itu ditujukan untuk Nyonya besar rumah ini, satu-satunya orang yang selalu berhasil memporak-porandakan Tuannya.
Tapi ia cukup terkejut, karena tidak mendengar kabar apapun. Terakhir Bastian mengetahui Nyonya-nya itu mencoba bunuh diri dengan menjatuhkan dirinya dari tangga lantai dua.
“Saya tidak mendengar apapun, Tuan. Tidak ada pelayan yang membicarakan.”
“Dia menuju rooftop, hanya aku yang melihatnya.” Ungkap Gevan.
Ia masih ingat bagaimana tadi pagi saat akan turun menggunakan lift, ia melihat angka lift tengah menuju ke lantai empat. Jika pelayan yang akan membersihkan rooftop, mereka tidak akan menggunakan lift. Sehingga pikirannya hanya tertuju pada istri nakalnya itu. Dan seratus persen perkiraan nya benar.
“Saya akan memerintahkan pelayan pribadi Nyonya agar lebih memperhatikan beliau, Tuan.” Ujar Bastian, ia lah yang meng-handle keadaan mansion ini.
“Pasang juga cctv di sana.”
Bastian mengangguk menanggapi titah Tuannya itu. Seluruh bagian mansion ini bahkan area privasi seperti kolam renang sudah menggunakan cctv.
Bagaimana jika Nyonya-nya mencoba bunuh diri di kamar mandi nanti? Ia tak terbayang jika Tuannya juga akan memasang cctv di sana, pikir Bastian.
Gevan kembali meneguk minuman haramnya, kini sembari terkekeh kecil. “Tapi, dia tidak berteriak padaku, tadi.”
Bastian dapat melihat ada binar senang di mata Tuannya itu, “Mungkin Nyonya sudah bisa mengendalikan emosinya, Tuan.” Tanggap Bastian seadanya.
“Padahal dia bisa menikmati hidup dengan baik di mansion ini, kenapa begitu ingin mati? Wanita bodoh.” Ungkap Gevan sembari mengetuk-ngetuk jari di mejanya.
Bastian diam tak menanggapi, tuannya tidak akan sebanyak bicara ini jika bukan karena mabuk. Lagi pula, sebagai orang yang sudah bersama Gevan sejak kecil, Bastian tidak tahu harus bersikap bagaimana.
Gevan dua tahun lebih muda darinya, sejak kecil Bastian sudah dirancang sebagai tangan kanan Gevan, seperti ayahnya yang juga tangan kanan bos terdahulu.
Jika dari sudut pandang netralnya, Tuannya lah yang bersalah di sini. Merampas kehidupan seorang gadis begitu saja, bahkan membuatnya kehilangan akal sehat, Bastian akui Tuannya memang kejam.
Tapi ia tak berhak menghakimi, tugasnya hanya menjadi tangan kanan Gevan yang baik. Menuruti perintah Tuannya, entah baik ataupun buruk.
***
Selesai mendengar sedikit curahan hati Tuannya, kini Bastian harus melaksanakan kewajibannya sehari-hari. Memastikan Tuan Mudanya selamat untuk pergi dan pulang sekolah.
“Tunggu, Bastian.”
Baru melewati pintu mansion, ia menoleh mendengar panggilan itu.
Cukup terkejut mendapati sang Nyonya lah yang memanggilnya. Biasanya Araya akan sangat sensi pada orang-orang di sekitar Gevan, terutama dirinya. Tapi Bastian tak menunjukkan ekspresi berlebih. Menunggu orang yang harus di hormati setelah Gevan itu lanjut berbicara.
“Kamu ingin ke mana?” Dari beberapa jenis pertanyaan yang sudah ia pikirkan Araya memilih bertanya ini.
“Melakukan pekerjaan saya, Nyonya.” Jawab Bastian sopan.
“Pekerjaan apa?” Okay, Araya merasa ia sudah seperti orang kepo.
Mana muka ni orang tembok kayak si Gevan Gevan itu lagi, batinnya.
“Menjemput Tuan Muda Rayvandra, Nyonya.”
Rayvandra adalah panggilan Ghariel di rumah, kecuali Araya yang tidak menyukai nama yang diberikan Gevan itu. Ia lebih suka memanggilnya Ghariel, itu sih yang Araya tahu dari ingatannya.
Araya menyelipkan rambutnya ke telinga untuk mengurangi ke canggungan, “Aku ikut.” Ujarnya.
Bastian terdiam sebentar, ia diam-diam memperhatikan penampilan Araya yang sudah bersiap-siap dengan tentengan tas dior di tangannya.
“Kalau boleh tahu, Nyonya ingin ke mana?” Tanya Bastian datar. Setahunya jika Araya ingin pergi ke luar wanita itu akan menyetir sendiri dengan koleksi mobil mewahnya, tidak pernah menumpang seperti ini.
“Aku ingin ikut menjemput Ghariel, kamu keberatan?” Tanya Araya balik.
Beruntung sikap Araya asli memang angkuh seperti ini, jadi ia tak perlu berpura-pura sopan bukan.
“Tentu tidak, Nyonya. Saya akan mengambil mobil, Nyonya bisa menunggu di sini sebentar.” Ujar Bastian berlalu menuju garasi.
Gak sabar banget liat Ghariel kecil, usia segini lagi imut-imutnya, kan. Batin Araya antusias.
Setelahnya ia memasuki mobil yang di kendarai Bastian.
Keduanya tidak tahu, ada Gevan yang memperhatikan interaksi mereka dari jendela lantai tiga mansion.
...****************...
tbc.