Dibuang ke neraka Red Line dengan martabat yang hancur, Kaelan—seorang budak manusia—berjuang melawan radiasi maut demi sebuah janji. Di atas awan, Putri Lyra menangis darah saat tulang-tulangnya retak akibat resonansi penderitaan sang kekasih. Dengan sumsum tulang yang bermutasi menjadi baja dan sapu tangan Azure yang mengeras jadi senjata, Kaelan menantang takdir. Akankah ia kembali sebagai pahlawan, atau sebagai monster yang akan meruntuhkan langit demi menagih mahar nyawanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Pendakian Pilar
Dinding batu Pilar Perbatasan menjulang tinggi menembus awan, sebuah kolom raksasa yang tampak seperti pedang dewa yang menghujam bumi. Di sini, di ketinggian yang belum pernah dicapai oleh manusia fana manapun, udara terasa tipis dan dingin, membawa aroma salju abadi dan energi mana yang tidak stabil. Kaelan mencengkeram pasak besi yang tertancap di celah batu, merasakan getaran pilar itu seolah benda mati ini sedang bernapas.
"Bernapaslah pelan, Bara. Jangan biarkan paru-parumu panik," bisik Kaelan tanpa menoleh.
Di bawahnya, Bara tergantung pada tali pengaman dengan napas yang tersengal. Luka-lukanya pasca penyelamatan di Altar Tertinggi belum sepenuhnya sembuh, namun raksasa itu menolak untuk tinggal di kamp pengungsian. "Udara di sini... rasanya seperti meminum pecahan kaca, Komandan. Perih."
"Itu karena tekanan Mana dari Benua Langit mulai menekan oksigen di sekitar kita," Kaelan menarik tubuhnya ke atas, otot-punggungnya menegang di balik pakaian yang sudah compang-camping. "Tetap fokus pada gerakan tanganku. Jangan lihat ke bawah."
Di Benua Langit, di dalam kamar yang terkunci rapat, Lyra Elviana duduk bersila di lantai dingin. Keringat dingin mengucur di dahinya. Melalui jalur batin yang menghubungkan mereka, ia bisa merasakan rasa sesak yang dialami Kaelan. Paru-parunya sendiri terasa seolah menyempit, sinkron dengan kondisi pria yang sedang berjuang di bawah sana.
"Putri, Anda harus makan sesuatu," suara pelayan setianya terdengar dari balik pintu. "High Lord Valerius akan sangat marah jika Anda terus mengurung diri seperti ini."
"Pergilah, Martha! Aku sedang... melakukan meditasi pembersihan!" teriak Lyra, suaranya parau.
Ia menutup matanya lebih rapat. Kaelan, ambil napasku, bisiknya dalam hati. Ia mencoba mengatur ritme napasnya sendiri menjadi sangat teratur, berharap frekuensi ketenangan ini bisa merambat melalui resonansi batin dan membantu Kaelan yang mulai mengalami gejala hipoksia di atas sana.
Kembali ke dinding pilar, Kaelan mendadak berhenti. Matanya yang memiliki kilat perak menangkap sesuatu di kejauhan. Sebuah cahaya merah berkedip dari sela-sela mesin kristal yang tertanam di pilar.
"Pasukan diam di tempat!" perintah Kaelan pelan namun tegas. "Unit pelacak Council. Mereka telah mengaktifkan radar mana otomatis."
Mina, yang berada di barisan tengah pendakian, berpegangan erat pada tonjolan batu. "Kenapa sekarang? Harusnya mereka tidak memantau Pilar Perbatasan seintens ini kecuali..."
"Kecuali mereka mendeteksi sesuatu yang tidak stabil dari atas," gumam Kaelan. Ia bisa merasakan kecemasan Lyra yang meluap-luap. Mana milik gadis itu bocor, dan radar di pilar ini dirancang untuk melacak setiap anomali energi, bahkan yang berasal dari Benua Langit sekalipun.
"Komandan, aku tidak bisa... tanganku..." salah satu anggota muda Legiun Karang, seorang pria bernama Jiro, mulai gemetar hebat. Matanya membelalak ketakutan, tanda ia mulai kehilangan kesadaran akibat ketinggian.
Kaelan segera merayap ke samping, mendekati Jiro. "Tatap mataku, Jiro. Hanya mataku."
"Aku melihat... bayangan hitam di bawah, Komandan. Mereka memanggilku," racau Jiro.
"Itu hanya ilusi mana. Kau tidak akan jatuh," Kaelan melepaskan tabung kecil berisi oksigen sihir dari pinggangnya—jatah terakhirnya sendiri—dan menempelkannya ke hidung Jiro. "Hirup ini. Ini perintah."
"Tapi ini milik Anda, Komandan," bisik Jiro setelah beberapa kali menghirup udara segar yang terasa seperti aliran es.
"Aku sudah terbiasa dengan udara tipis sejak di penambangan Ash-Valley. Simpan bicaramu untuk pendakian sepuluh meter ke depan," Kaelan mengikatkan kain sobekan dari baju Bara ke pergelangan tangan Jiro dan menyambungkannya ke sabuknya sendiri. "Kita tidak meninggalkan siapapun."
Di atas sana, radar merah itu berputar ke arah mereka. Kaelan menahan napas, menekan seluruh aura perak di tulangnya sedalam mungkin agar tidak terdeteksi. Namun, sebuah guncangan hebat mendadak merayap dari inti pilar. Dugh! Suara itu terdengar seperti lonceng kematian yang dipalu.
"Badai Mana!" teriak Mina.
Dari kejauhan, awan hitam yang mengandung kilat ungu mulai menggulung menuju pilar. Ini adalah fenomena alam Terra yang paling ditakuti—pertemuan antara mana murni dari atas dan udara beracun dari bawah yang menciptakan ledakan statis di udara.
"Tancapkan semua pasak! Ikat diri kalian sekuat mungkin ke dinding!" Kaelan meraung, suaranya bersaing dengan deru angin yang tiba-tiba mengamuk.
Bara mencoba memalu pasak tambahan, namun tangannya yang terluka gemetar. "Kaelan! Pasak pengamanku retak!"
Tepat saat Bara berteriak, sebuah sambaran kilat ungu menghantam bagian pilar di dekat mereka. Ledakan itu menciptakan gelombang kejut yang merontokkan lapisan luar pilar. Kaelan melihat dengan ngeri saat pasak utama yang menahan beban Bara dan Jiro mulai terangkat dari lubangnya.
"Pegang tanganku!" Kaelan melompat, melepaskan pegangan amannya sendiri untuk menangkap tali yang terhubung dengan sahabat-sahabatnya.
Crak! Pasak itu putus sepenuhnya.
Kaelan berhasil menangkap ujung tali dengan satu tangan, sementara tangan lainnya mencengkeram tepi batu yang tajam. Beban tubuh Bara dan Jiro kini sepenuhnya bertumpu pada bahu kiri Kaelan. Tulang peraknya berderit hebat, menghasilkan suara logam yang beradu di dalam dagingnya.
"Lepaskan kami, Kaelan! Kau akan ikut jatuh!" Bara berteriak dari bawah, tubuhnya tergantung di udara kosong dengan ribuan meter jurang di bawahnya.
"Diam, Bara! Aku tidak... melakukan evolusi tulang... hanya untuk membiarkanmu jadi santapan burung pemakan bangkai!" raung Kaelan, wajahnya memerah, pembuluh darah di pelipisnya menonjol seolah hendak pecah.
Di Benua Langit, Lyra tersungkur. Ia merasakan beban luar biasa di bahu kirinya, seolah seluruh dunia sedang diletakkan di sana. Ia tahu Kaelan sedang bergelantungan di ambang maut. Air matanya mengalir, bukan karena takut akan nyawanya sendiri, tapi karena ia bisa merasakan tekad Kaelan yang begitu keras hingga melukai jiwanya sendiri.
"Bertahanlah... tolong, bertahanlah sedikit lagi," isak Lyra, jemarinya mencakar lantai marmer hingga kuku-kukunya berdarah.
Tepat saat badai menghantam dengan kekuatan penuh, sebuah radar pelacak tepat berada di atas kepala Kaelan, cahayanya merah menyala, menandakan mereka telah terdeteksi.
Cahaya merah dari radar pelacak Council menyapu tubuh Kaelan yang masih bergelantungan. Di tengah deru badai mana yang memekakkan telinga, suara peringatan mekanis mulai terdengar, berdengung di antara celah-batu pilar. Kaelan bisa merasakan panas yang luar biasa menjalar dari bahu kirinya—bukan hanya karena beban Bara dan Jiro, tetapi karena gesekan antara otot dan tulang peraknya yang dipaksa melampaui batas fana.
"Komandan! Radar itu akan memanggil unit pengeksekusi!" teriak Mina dari posisinya yang beberapa meter di samping. "Kita harus bergerak sekarang atau pilar ini akan menjadi makam kita!"
"Aku tahu!" raung Kaelan. Gigi-giginya beradu, mengeluarkan bunyi berderit. Ia menatap ke atas, ke arah modul radar yang menempel di dinding pilar. "Bara, bersiaplah untuk sentakan!"
Kaelan tidak mencoba menarik mereka ke atas secara perlahan. Dengan satu gerakan eksplosif yang memanfaatkan daya pegas sumsum tulangnya, ia menyentakkan tubuhnya ke arah modul radar tersebut. Tangan kanannya yang bebas mencengkeram kabel energi yang menjulur dari modul, lalu dengan kekuatan fisik murni, ia merobek kotak besi itu dari dudukannya.
Zzzt! Percikan listrik mana menyambar tangan Kaelan, namun ia tidak melepaskannya. Ia menggunakan modul yang rusak itu sebagai pasak darurat, menghujamkannya ke celah batu dengan kekuatan yang menghancurkan cangkang logam modul tersebut.
"Naik! Sekarang!" Kaelan menarik tali pengaman dengan sentakan terakhir, memberikan momentum bagi Bara dan Jiro untuk mencapai pijakan yang lebih stabil di atas tonjolan batu besar.
Begitu kaki Bara menyentuh lantai batu yang kokoh, raksasa itu segera berbalik dan menarik kerah baju Kaelan, menyeretnya ke atas sebelum badai mana berikutnya menghantam posisi mereka sebelumnya. Kaelan terjerembap di atas permukaan batu yang sempit, napasnya memburu, mengeluarkan uap panas dari mulutnya yang kering.
Di Benua Langit, Lyra Elviana jatuh pingsan di lantai kamarnya. Beban yang luar biasa itu tiba-tiba menghilang, meninggalkan rasa hampa yang menyakitkan di dadanya. Namun, di dalam ketidaksadarannya, secercah memori perak melintas—perasaan tangan Kaelan yang kasar namun hangat saat mencengkeram tali nyawa mereka.
"Putri! Putri Lyra!" Martha, pelayannya, akhirnya berhasil mendobrak pintu. Ia terpekik melihat kuku-kuku Lyra yang berdarah dan wajahnya yang sepucat salju. "Cepat panggil tabib! Putri dalam bahaya!"
Kembali di Pilar Perbatasan, badai mulai mereda, meninggalkan keheningan yang mencekam di ketinggian ribuan meter. Kaelan duduk bersandar pada dinding pilar, menatap lengannya yang gemetar hebat. Kulitnya kini tampak memiliki gurat-gurat perak halus, tanda bahwa asimilasi energi dari Altar sebelumnya mulai meresap lebih dalam ke jaringan ototnya.
"Kau hampir mati tadi," bisik Bara, suaranya berat dan penuh penyesalan. "Harusnya kau lepaskan saja tali itu. Jiro dan aku... kami hanya budak."
Kaelan mengangkat kepalanya, menatap Bara dengan mata perak yang tajam namun penuh kemanusiaan. "Dengarkan aku, Bara. Tidak ada lagi kata 'hanya budak'. Di pilar ini, kita semua adalah manusia yang ingin melihat matahari tanpa bayang-bayang kasta. Jika aku melepaskanmu, maka martabat yang kita perjuangkan di Altar kemarin tidak ada gunanya."
Jiro, yang sudah mulai sadar, bersujud di depan kaki Kaelan. "Terima kasih, Komandan. Aku... aku berjanji tidak akan ragu lagi."
"Simpan janjimu untuk pendakian terakhir," Kaelan berdiri, meski kakinya terasa seperti terbuat dari timah. Ia mengambil kain sobekan dari baju Bara yang tadi ia gunakan untuk mengikat tangan, lalu melilitkannya kembali dengan rapi ke pergelangan tangannya. "Ikat luka ini adalah pengingat. Kita terikat satu sama lain. Jika satu jatuh, semua jatuh."
Mina mendekat, memberikan botol air gunung terakhir yang telah dicampur dengan ramuan penenang. "Minumlah. Suhu tubuhmu masih terlalu tinggi. Jika kau terus seperti ini, kau akan mengalami spontaneous combustion sebelum kita sampai ke lapisan awan."
Kaelan meminum air itu dengan rakus. Rasa dinginnya merambat turun, memberikan kelegaan sesaat pada sumsum tulangnya yang membara. "Berapa lama lagi sampai kita mencapai batas lapisan awan?"
"Jika cuaca stabil, sekitar empat jam lagi," jawab Mina sembari memeriksa kompas mana miliknya. "Tapi radar yang kau hancurkan tadi pasti sudah mengirimkan sinyal gangguan ke pusat komando Solaria. Mereka akan mengirimkan patroli sayap."
Kaelan menatap ke atas, ke arah lapisan awan putih yang terlihat begitu damai namun menyimpan ancaman mematikan. "Biarkan mereka datang. Kita sudah melangkah terlalu jauh untuk kembali ke debu."
Ia menoleh ke arah timur, di mana matahari fana Terra mulai tenggelam, memberikan warna jingga kemerahan pada cakrawala. Di tengah kesunyian itu, ia meraba sapu tangan Azure di saku dadanya. Meskipun ia tidak bisa melihat Lyra, ia tahu gadis itu sedang berjuang di dunianya sendiri.
"Lyra," bisik Kaelan lirih, suaranya terbawa angin ketinggian. "Tunggu aku di sana. Aku akan mendaki sampai ke pintu istanamu."
Pendakian berlanjut dalam keheningan yang lebih dalam. Setiap tarikan napas adalah perjuangan, setiap langkah adalah taruhan nyawa. Namun, di mata setiap anggota Legiun Karang, ketakutan telah digantikan oleh sesuatu yang jauh lebih berbahaya bagi Council: keyakinan. Mereka bukan lagi sekumpulan budak yang lari dari cambuk; mereka adalah prajurit yang sedang mendaki menuju kebebasan mereka sendiri, dipimpin oleh seorang pria yang memiliki tulang baja dan hati yang tak bisa dihancurkan.
Saat malam mulai jatuh dan suhu turun ke titik beku, Kaelan memasang pasak terakhir untuk tempat peristirahat sementara. Ia menatap ke bawah, ke arah kegelapan Terra yang mulai menghilang di bawah kabut. Di sana, di suatu tempat di dunia bawah, harapan mulai tumbuh. Dan di sini, di atas pilar yang dingin, sejarah baru sedang ditulis dengan keringat dan darah.