Satu surat pemecatan. Satu undangan pernikahan mantan. Dan satu warung makan yang hampir mati.
Hidup Maya di Jakarta hancur dalam semalam. Jabatan manajer yang ia kejar mati-matian hilang begitu saja, tepat saat ia memergoki tunangannya berselingkuh dengan teman lama sekaligus rekan sekantornya. Tidak ada pilihan lain selain pulang ke kampung halaman—sebuah langkah yang dianggap "kekalahan total" oleh orang-orang di kampungnya.
Di kampung, ia tidak disambut pelukan hangat, melainkan tumpukan utang dan warung makan ibunya yang sepi pelanggan. Maya diremehkan, dianggap sebagai "produk gagal" yang hanya bisa menghabiskan nasi.
Namun, Maya tidak pulang untuk menyerah.
Berbekal pisau dapur dan insting bisnisnya, Maya memutuskan untuk mengubah warung kumuh itu menjadi katering kelas atas.
Hingga suatu hari, sebuah pesanan besar datang. Pesanan katering untuk acara pernikahan paling megah di kota itu. Pernikahan mantan tunangannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Resep Rahasia Sang Bapak
"Ngapain lagi kamu di sini? Belum puas celanamu basah kemarin?"
Maya turun dari motor matic Arlan bahkan sebelum mesinnya benar-benar mati. Dia menatap Adit yang berdiri mematung di depan pagar warung dengan wajah yang sangat sulit diartikan.
Pria itu menatap kearah tangan Maya yang masih memegang bahu Arlan untuk menjaga keseimbangan, lalu beralih menatap tumpukan keranjang berisi daging dan sayuran yang terikat di jok motor.
"May, aku cuma mau..." Adit menggantung kalimatnya. Matanya tertuju pada Arlan yang sekarang melepas helm, memperlihatkan wajah tampannya yang tetap terlihat berkelas meski sedikit berkeringat. "Pak Arlan? Bapak ngapain boncengin Maya pakai motor begini?"
Arlan tidak langsung menjawab. Dia turun dari motor, mulai melepas tali karet yang mengikat keranjang-keranjang berat itu dengan gerakan tenang. "Saya rasa urusan saya bukan untuk dikonsultasikan dengan kamu. Bisa geser sedikit? Kamu menghalangi jalan masuk."
"Tapi Pak, Maya ini..."
"Maya ini mitra saya. Dan kalau kamu masih punya sisa harga diri, sebaiknya pergi sekarang sebelum saya panggil keamanan dari kantor cabang saya di ujung jalan ini," potong Arlan tajam.
Adit mendengus, wajahnya memerah padam. Dia menatap Maya dengan tatapan penuh kebencian sekaligus iri. "Kamu beneran sudah dapet pelindung ya, May? Hebat kamu. Tapi inget, Siska nggak bakal diem saja lihat kamu main api sama orang kayak Pak Arlan."
"Siska lebih baik urus pernikahannya sendiri daripada urus dapur orang lain. Pergi, Dit. Bau mobilmu ganggu aroma sayuran segar saya," sahut Maya ketus.
Adit akhirnya masuk ke mobilnya dengan kasar dan memacu sedannya pergi, meninggalkan kepulan asap knalpot. Maya menghela napas panjang, lalu beralih menatap Arlan. "Maaf ya, kamu jadi harus denger omongan sampah terus sejak kenal aku."
"Sampah itu gunanya buat dibuang, bukan disimpan di kepala," jawab Arlan pendek sambil mengangkat dua keranjang sekaligus ke teras warung. "Sekarang, tunjukkan padaku apa yang akan kamu masak dengan semua bahan dari Cigombong ini."
Maya tersenyum, kali ini lebih tulus. "Aku mau buat Nasi Goreng Rempah Jati. Itu resep andalan Bapak yang paling rahasia. Katanya, kalau makan ini, orang bakal ngerasa kayak lagi di rumah sendiri, sejauh apapun mereka pergi."
"Rempah Jati? Nama yang unik," Arlan mengikuti Maya masuk ke dapur.
Dapur warung itu kini sudah jauh lebih bersih. Maya mulai menyiapkan bumbu. Ada kluwek yang sudah direndam, kemiri sangrai, dan serpihan kayu secang yang akan memberikan warna merah kecokelatan yang eksotis.
Dia mengulek bumbu itu dengan ritme yang mantap. Arlan duduk di kursi kayu di pojok dapur, memperhatikan setiap gerakan tangan Maya.
"Kenapa kamu harus ikut campur sampai sejauh ini, Arlan? Maksudku, kamu bisa saja minta asistenmu atau kirim sopir untuk bantu aku belanja," tanya Maya sambil memasukkan bumbu halus ke wajan panas.
Suara cesss dan aroma gurih yang sangat kuat langsung meledak di udara. Arlan menghirup aroma itu, matanya terpejam sesaat. "Asisten saya tidak akan tahu cara membedakan daging sapi segar atau sayuran yang tidak mengandung pestisida. Dan lagi... saya bosan di kantor."
"Bosan? CEO bisa bosan juga?"
"Sangat bosan. Setiap hari hanya melihat angka, grafik, dan makan makanan hotel yang rasanya seperti plastik. Hambar. Mahal tapi tidak punya jiwa," Arlan menatap api yang menari di bawah wajan. "Makanan di kota itu seringkali hanya soal status, bukan soal rasa."
Maya menuangkan nasi putih dingin ke dalam bumbu yang sudah matang. Dia mengaduknya dengan teknik putaran yang cepat. "Bapak dulu bilang, memasak itu soal memindahkan kasih sayang ke dalam piring. Kalau yang masak cuma mikirin duit atau jabatan, makanannya cuma bakal kenyang di perut, bukan di hati."
"Bapakmu benar. Saya jarang menemukan makanan yang ada 'hatinya'," gumam Arlan.
Hari mulai terang saat Maya selesai menyajikan dua piring Nasi Goreng Rempah Jati. Dia menghiasnya dengan telur mata sapi yang pinggirannya garing, kerupuk udang, dan acar bawang merah yang segar.
"Lampu warung masih sering kedip-kedip, kita makan di teras saja ya? Lebih sejuk," ajak Maya.
Mereka duduk di kursi kayu panjang di teras depan warung.
"Coba saja. Kalau nggak enak, bilang jujur. Jangan karena kasihan terus kamu puji-puji," Maya memberikan sendok pada Arlan.
Arlan menyuap satu sendok besar. Dia terdiam. Kunyahannya melambat. Maya menatapnya dengan cemas, tangannya meremas serbet di pangkuan.
"Gimana?"
"Ini... ini keterlaluan," bisik Arlan. Komennya setelah menyicip makanan Maya selalu bikin jantungan.
"Keterlaluan apanya? Keasinan?"
Arlan menggeleng, dia menatap Maya dengan tatapan yang sangat dalam. "Keterlaluan enaknya. Ada rasa hangat yang aneh setelah saya telan. Ini bukan cuma nasi goreng, Maya. Ini penyusup di memori. Saya rasa, kalau juri Festival Bumi Lestari tidak memenangkan kamu, berarti mereka semua harus periksa lidah ke dokter."
Maya tertawa, rasa lega menjalar di dadanya. "Kamu terlalu berlebihan."
"Saya serius. Kamu tau, satu lagi kenapa saya kurang suka makanan hotel, bukan karena harganya, tapi karena tidak ada orang yang memasak dengan cara seperti kamu. Mereka memasak untuk pesanan, kamu memasak seolah ini adalah pertahanan terakhirmu," Arlan menyuap lagi, kali ini lebih lahap.
"Memang ini pertahanan terakhirku, Arlan. Kalau warung ini tutup, aku nggak tahu lagi harus bawa Ibu ke mana," Maya menunduk, menatap piringnya sendiri. "Makanya, tawaran kontrakmu itu seperti nyawa buat kami."
"Kamu akan dapat kontrak itu, Maya. Saya pastikan itu."
"Terima kasih sudah bantu aku hari ini, Arlan. Tanpa kamu, mungkin aku masih di pinggir jalan Cigombong sekarang," kata Maya pelan saat mereka selesai makan.
Arlan menatap Maya, tangannya tanpa sadar bergerak merapikan helai rambut Maya yang keluar dari ikatannya. "Sama-sama. Besok saya akan kirim orang untuk perbaiki kabel listrik warung dan rumah ini. Saya tidak mau koki saya memasak dalam kegelapan."
Maya tersipu, dia baru saja akan menjawab ketika tiba-tiba merasa terusik. Dia merasa seperti ada mata yang mengawasi mereka dari kejauhan.
Di balik semak-semak rimbun seberang jalan, sekitar sepuluh meter dari teras warung yang itu, seorang pria dengan jaket hoodie hitam bersembunyi. Dia memegang sebuah ponsel pintar dengan lensa kamera yang sudah disetel.
Cekrek. Cekrek.
Layar ponsel itu menangkap siluet Arlan yang sedang merapikan rambut Maya di teras. Foto itu terlihat sangat akrab, seolah mereka adalah pasangan kekasih yang sedang bermesraan.
Pria itu menyeringai. Jarinya menari di atas layar, membuka aplikasi pesan hijau dan mengirimkan rangkaian foto itu ke sebuah kontak bernama 'Nyonya Siska'.
"Dapet mangsanya, Nyonya. Tinggal tunggu perintah selanjutnya," bisik pria itu sebelum menghilang.
Maya menoleh ke arah jalanan yang sunyi, mengerutkan kening. "Kamu denger sesuatu?"
Arlan ikut menatap ke arah yang sama. "Hanya suara angin. Kenapa?"
"Nggak tahu. Perasaanku tiba-tiba nggak enak saja," gumam Maya sambil memeluk lengannya sendiri yang mendadak meremang.