"Satu detik di sini adalah satu tahun di dunia nyata. Beranikah kamu pulang saat semua orang sudah melupakan namamu?"
Bram tidak pernah menyangka bahwa tugas penyelamatan di koordinat terlarang akan menjadi penjara abadi baginya. Di Alas Mayit, kompas tidak lagi menunjuk utara, melainkan menunjuk pada dosa-dosa yang disembunyikan setiap manusia.
Setiap langkah adalah pertaruhan nyawa, dan setiap napas adalah sesajen bagi penghuni hutan yang lapar. Bram harus memilih: membusuk menjadi bagian dari tanah terkutuk ini, atau menukar ingatan masa kecilnya demi satu jalan keluar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Awph, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Abu yang meminta nyawa
Tangan kanan Baskara perlahan mulai hancur sepenuhnya dan menjadi abu di depan matanya sendiri. Serpihan daging yang menghitam itu terbang terbawa angin malam yang menderu kencang di sela-sela pepohonan jati yang merangas.
Baskara meraung tertahan sambil memegangi pundaknya yang kini terasa ringan namun sangat menyakitkan seolah ada bara api yang menempel di sana. Ia menatap kosong ke arah lengan bajunya yang kini melambai-lambai tanpa ada lagi penyangga tulang di dalamnya.
Arini tetap berdiri di dalam lubang pohon beringin sambil memegang jarum tulang yang masih meneteskan darah kental berwarna hitam pekat. Wajahnya yang terjahit rapat tampak berkilat terpantul cahaya merah yang entah datang dari mana secara terus-menerus.
"Apa yang telah kamu perbuat pada tubuhku, Arini?" tanya Baskara dengan suara yang parau karena menahan tangis yang menyesakkan dada.
Arini tidak menjawab dengan kata-kata melainkan hanya memberikan gerakan kepala yang miring ke kiri dan ke kanan dengan sangat kaku. Suara gesekan kulit wajahnya yang terjahit terdengar sangat nyata di tengah kesunyian hutan yang semakin mencekam ini.
"Jawab aku atau aku akan menyeretmu keluar dari lubang terkutuk itu sekarang juga!" bentak Baskara sambil mencoba berdiri meski keseimbangannya goyah.
Ia melangkah maju dengan kaki yang terasa sangat berat seolah-olah tanah di bawahnya memiliki tangan yang terus menariknya ke bawah. Setiap langkah yang ia ambil meninggalkan bekas telapak kaki yang langsung terisi oleh cairan merah seperti nanah yang busuk.
Arini perlahan mengangkat jarum tulangnya tinggi-tinggi ke arah langit malam yang tidak berbintang sama sekali. Ia menusukkan jarum itu ke arah boneka jerami kecil yang baru saja ia keluarkan dari balik jubah putihnya yang mulai terlihat kusam.
"Jangan melangkah lebih dekat lagi atau jantungmu akan menyusul tanganmu menjadi abu yang terserak," bisik sebuah suara yang muncul langsung di dalam pikiran Baskara.
Baskara terhenti mendadak saat merasakan dadanya dihantam oleh kekuatan yang sangat besar hingga ia jatuh berlutut kembali di atas tanah. Napasnya terasa sangat sesak seolah-olah ada ribuan jarum kecil yang sedang menusuk paru-parunya secara berulang-ulang dari dalam.
"Siapa kamu sebenarnya? Di mana Arini yang asli?" tanya Baskara sambil memegangi dadanya yang mulai berdenyut sangat kencang.
Boneka jerami di tangan Arini mulai mengeluarkan asap tipis yang berbau kemenyan sangat tajam hingga menusuk lubang hidung Baskara. Arini kemudian mematahkan kaki kanan boneka tersebut dengan sekali gerakan tangan yang sangat cepat dan tidak berperasaan sama sekali.
Baskara menjerit histeris saat mendengar suara tulang kakinya sendiri yang retak secara tiba-tiba tanpa ada benturan apa pun dari luar. Ia tersungkur ke tanah dengan posisi kaki yang tertekuk ke arah yang salah dan menimbulkan rasa perih yang luar biasa dahsyat.
"Hutan ini tidak mengenal belas kasihan bagi mereka yang masuk tanpa membawa persembahan yang layak," ucap suara gaib itu kembali menggema.
Arini perlahan keluar dari lubang pohon beringin dengan cara melayang rendah di atas permukaan tanah yang dipenuhi ulat-ulat kecil. Ia mendekati Baskara yang sedang merintih kesakitan sambil memegangi kakinya yang sudah hancur dan tidak berbentuk lagi.
"Bunuh saja aku sekarang jika itu yang diinginkan oleh penguasa tempat ini!" tantang Baskara dengan sisa-sisa keberanian yang masih tersisa di hatinya.
Arini justru berlutut di samping Baskara dan mengelus pipi lelaki itu dengan jemarinya yang sangat dingin seperti bongkahan es dari puncak gunung. Ia kemudian mendekatkan wajahnya yang terjahit itu ke telinga Baskara hingga aroma bunga kamboja yang layu tercium sangat menyengat.
"Kematian adalah sebuah kemewahan yang tidak akan pernah diberikan kepadamu di Alas Mayit ini," bisik Arini dengan nada yang sangat datar.
Baskara melihat Arini mengeluarkan sebuah kantong kecil yang terbuat dari kain kafan tua yang sudah robek-robek di beberapa bagian. Dari dalam kantong itu Arini mengeluarkan potongan jempol tangan yang tadi sempat Baskara buang ke atas semak berduri dengan rasa jijik.
Arini menempelkan potongan jempol tersebut ke dahi Baskara hingga darah hitam yang ada pada daging itu merembes masuk ke dalam pori-pori kulitnya. Baskara merasa seluruh ingatannya tentang masa kecilnya mulai ditarik keluar secara paksa oleh kekuatan yang sangat beringas dan tidak terkendali.
"Hentikan ini Arini! Aku mohon hentikan semua kegilaan ini sebelum aku benar-benar kehilangan akal sehatku!" rintih Baskara dengan air mata yang mulai mengalir.
Arini hanya diam dan mulai menjahit jempol tangan tersebut ke dahi Baskara menggunakan rambutnya sendiri yang sangat panjang dan hitam legam. Setiap tusukan jarum yang menembus kulit dahinya membuat Baskara melihat kilasan-kilasan bayangan kakek buyutnya yang sedang melakukan perjanjian gelap.
Ia melihat kakek buyutnya sedang memohon kekayaan di depan sebuah gerbang besar yang terbuat dari tumpukan tengkorak manusia yang masih segar. Di samping gerbang itu berdiri sesosok mahluk raksasa tanpa wajah yang sedang memegang sebuah buku besar berisi daftar nama para tumbal.
"Nama keluargamu sudah tertulis di sini sejak seratus tahun yang lalu," ucap mahluk raksasa itu dalam penglihatan yang dialami oleh Baskara.
Baskara tersentak kembali ke alam nyata saat Arini menyelesaikan jahitan terakhir di dahinya dengan sebuah simpul mati yang sangat kencang. Ia merasa ada benda asing yang berdenyut di dalam kepalanya dan mulai mengendalikan setiap gerakan otot yang ada di seluruh tubuhnya.
"Sekarang kamu adalah mata dan telinga bagi sang penguasa hutan yang telah lama menunggu saat-saat seperti ini," kata Arini sambil berdiri tegak kembali.
Baskara mencoba menggerakkan tangannya yang tersisa namun tubuhnya justru bergerak sendiri mengikuti kemauan dari jempol tangan yang terjahit di dahinya. Ia berdiri dengan kaku seperti sebuah boneka kayu yang digerakkan oleh benang-benang gaib yang tidak terlihat oleh mata manusia biasa.
Arini menunjuk ke arah jalan setapak yang tertutup oleh kabut tebal berwarna ungu tua yang mengeluarkan suara dengungan ribuan lalat hijau. Baskara mulai berjalan mengikuti arah telunjuk Arini tanpa bisa menolak sedikit pun perintah yang diberikan oleh mahluk yang merasuki tubuh rekannya.
"Ke mana kamu akan membawaku pergi dalam keadaan yang sangat mengenaskan seperti ini?" tanya Baskara dengan nada suara yang pasrah dan tidak berdaya.
Arini tidak memberikan jawaban dan terus melayang di depan Baskara menuju bagian hutan yang lebih dalam dan jauh lebih gelap lagi. Mereka melewati barisan pohon yang memiliki dahan menyerupai tangan manusia yang sedang meronta-ronta minta dilepaskan dari kutukan abadi.
Tanah yang mereka injak mulai berubah menjadi tumpukan tulang belulang kecil yang retak dan hancur setiap kali kaki Baskara menginjaknya dengan keras. Suara retakan tulang itu terdengar sangat nyaring di tengah malam yang sunyi dan menambah kesan ngeri yang sangat luar biasa bagi siapa pun.
Baskara melihat sebuah cahaya hijau yang sangat terang muncul dari balik gundukan tanah yang menyerupai kuburan masal.