Aruna yang sedang menikmati masa kuliahnya yang santai tiba-tiba dipaksa pulang ke rumah untuk sebuah "makan malam darurat". Ia mendapati keluarganya di ambang kehancuran finansial. Ayahnya terjerat hutang pada keluarga Gavriel, sebuah klan penguasa bisnis yang kejam. Aruna "dijual" sebagai jaminan dalam bentuk pernikahan politik dengan Damian Gavriel, pria dingin yang mempesona namun manipulatif
bagaimana cara aruna mengahadapi takdirnya?..... yuk, baca selengkapnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Arsila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Draft
"Satu... dua... tiga... Geronimo!"
Aruna memejamkan mata rapat-rapat saat ia meluncur dari balkon lantai dua. Tali yang terbuat dari jalinan seprai sutra seharga puluhan juta itu terasa licin di tangannya. Aruna sebenarnya tidak punya bakat atletik satu-satunya olahraga yang ia kuasai adalah lari dari kenyataan atau mengejar tukang bakso yang lewat di depan rumah.
"Aduh, aduh! Pinggangku!" ringis Aruna saat talinya habis lebih cepat dari perkiraannya. Ia bergelantungan di udara, sekitar tiga meter di atas tanah. "Oke, Aruna. Ini seperti main perosotan, cuma... tanpa perosotan."
Tangannya yang sudah mulai berkeringat tidak sanggup lagi menahan beban tubuhnya. Dengan suara teriakan yang tertahan agar tidak memicu alarm, Aruna melepaskan pegangannya.
BUMM!
Ia tidak mendarat di rumput empuk. Ia mendarat di atas sesuatu yang keras, dingin, dan mengeluarkan bunyi "Bruk!" yang sangat nyaring. Aruna membuka mata dan menyadari bahwa ia baru saja mendarat di atap sebuah mobil SUV hitam yang terparkir di balik semak-semak tinggi di luar pagar pembatas mansion.
"Aduh... kepalaku jadi kembang api," gumam Aruna sambil memegangi dahinya.
Tiba-tiba, pintu mobil di bawahnya terbuka. Dua orang pria berbadan besar dengan jaket kulit hitam keluar dengan wajah bingung sekaligus garang. Mereka memegang senjata api di pinggang mereka.
"Siapa itu?! Apa ada penyusup?!" teriak salah satu pria.
Aruna yang masih tengkurap di atap mobil langsung membeku. Wah, ini bukan pengawal Damian, pikirnya panik. Pengawal Damian memakai jas rapi dan bau minyak rambutnya seperti toko parfum, sementara orang-orang ini bau rokok murah dan keringat.
"Halo...?" Aruna mengintip dari tepi atap mobil dengan cengiran kaku. "Maaf, saya tadi mau memetik mangga, tapi pohonnya mendadak hilang, jadi saya mendarat di sini. Mobilnya bagus, Mas. Ini seri terbaru ya?"
"Ini perempuan si Gavriel!" teriak pria satunya lagi. "Tangkap dia! Dia bisa jadi sandera yang lebih berharga daripada informasi dari orang dalam!"
"Eh, sandera? Mas, saya ini tidak berharga! Saya ini beban keluarga! Kalau Mas tangkap saya, Mas cuma akan rugi biaya makan karena saya makannya banyak!" Aruna mencoba merangkak turun dan lari, namun salah satu pria berhasil menangkap kakinya.
"Lepaskan! Saya bisa karate! Saya pernah nonton The Raid lima kali!" Aruna meronta-ronta, mencoba menendang asal-asalan, namun kekuatannya tentu bukan tandingan pria-pria itu.
Dalam hitungan detik, mulut Aruna dibekap dengan kain yang berbau kimia tajam. Pandangannya mulai mengabur. Hal terakhir yang ia lihat sebelum pingsan adalah lampu mansion Damian yang semakin menjauh, dan ia menyadari satu hal keluar dari mulut buaya, ia justru jatuh ke rahang naga.
Di dalam mansion, Damian sedang berdiri di depan jendela ruang kerjanya, memegang segelas wiski. Pikirannya terganggu. Ia terus memikirkan Aruna yang dikurung di atas. Perasaan tidak tenang yang jarang ia rasakan mulai merayap.
Kenapa sunyi sekali? Biasanya dia akan menggedor pintu atau menyanyi lagu-lagu aneh untuk menggangguku, pikir Damian.
Ia berjalan menuju kamar Aruna dan membuka pintunya. Kosong. Jendela terbuka lebar dengan seprai yang menjuntai keluar seperti lidah kain yang mengejeknya.
"Sialan!" Damian membanting gelasnya.
"Pengawal! Cari dia sekarang! Jika ada sehelai rambutnya yang hilang, kalian semua akan aku kirim ke dasar laut!"
Ponsel Damian bergetar. Sebuah panggilan video masuk dari nomor yang diblokir. Ia mengangkatnya, dan rahangnya mengeras saat melihat wajah Aruna yang pucat dan terikat di sebuah kursi kayu di dalam ruangan gelap yang lembap. Di belakangnya, berdiri Marco, musuh bebuyutan Damian yang selama ini mengincar jalur distribusi bisnisnya.
"Lihat siapa yang jatuh dari langit langsung ke pangkuanku, Damian," ujar Marco dengan tawa serak yang menjijikkan. "Istri cantikmu ini punya selera humor yang bagus. Dia baru saja menanyakan apakah aku punya kerupuk kaleng di sini."
Damian menatap layar ponselnya dengan tatapan yang bisa membekukan api. Suaranya keluar dengan nada rendah yang sangat berbahaya.
"Marco, jika kamu menyentuh kulitnya sedikit saja, aku akan memastikan kematianmu menjadi legenda paling menyakitkan di kota ini."
"Wah, sang penguasa dingin akhirnya punya titik lemah?" Marco mendekatkan pisau ke pipi Aruna.
Aruna, yang baru setengah sadar, bergumam lirih ke arah kamera, "Mas Damian... tolong... jangan lupa... martabaknya tadi belum saya bayar..."
Damian memejamkan mata sejenak, menahan amarah yang meledak-ledak sekaligus rasa ingin tertawa yang tidak pada tempatnya. Bahkan dalam kondisi sekarat pun, dia masih memikirkan martabak.
"Tetaplah hidup, Aruna," bisik Damian pada layar setelah panggilan terputus. "Karena aku sendiri yang akan menghukummu karena sudah berani mencoba lari dariku."
Damian segera mengambil senjata dari laci mejanya dan memakai jaket hitamnya. Malam ini, bukan lagi soal bisnis atau manipulasi. Ini adalah soal mengambil kembali apa yang secara sah dan secara paksa adalah miliknya.
Damian melesat menembus kegelapan malam dengan mobil sport-nya yang menderu seperti binatang buas yang sedang lapar. Di kepalanya, skenario penyelamatan sudah tersusun rapi, namun ia tidak bisa menghilangkan bayangan wajah pucat Aruna dari pikirannya. Gadis ceroboh itu benar-benar magnet bagi bencana.
Sementara itu, di sebuah gudang tua pinggiran pelabuhan yang bau amisnya bisa membuat pingsan dalam sekali hirup, Aruna mulai sadar sepenuhnya. Ia menatap Marco, si penculik yang sedang asyik merokok sambil menatapnya dengan pandangan mengancam.
"Mas Marco, benar kan namanya Marco?" Aruna memulai pembicaraan, suaranya sedikit serak tapi tetap dengan nada ingin tahu yang menyebalkan.
"Nama Mas bagus, seperti merek bumbu dapur atau merk cokelat mahal. Tapi jujur ya Mas, tempat ini kurang aesthetic. Kalau mau menculik orang, setidaknya pilih tempat yang ada Wi-Fi atau minimal baunya bukan bau ikan asin begini."
Marco terbelalak, hampir tersedak asap rokoknya sendiri. "Diam kamu! Kamu tidak tahu posisimu sedang di ujung tanduk?!"
"Saya tahu kok, ujung tanduk itu tajam. Tapi Mas tahu tidak apa yang lebih tajam? Lidah ibu-ibu di pasar kalau saya belum bayar hutang sayur," balas Aruna enteng. Ia mencoba menggerakkan tangannya yang terikat. "Begini saja, Mas. Daripada kita tegang-tegangan begini, bagaimana kalau Mas lepaskan ikatan ini sebentar? Saya mau menunjukkan cara sulap melepaskan diri yang saya pelajari dari YouTube. Seru lho, Mas, buat konten TikTok."
"Kamu... kamu benar-benar gila atau terlalu bodoh?!" Marco mendekati Aruna, menodongkan pistol tepat di depan kening gadis itu.