Sebuah novel romansa fantasi, tentang seorang gadis dari golongan rakyat biasa yang memiliki kemampuan suci, setelahnya menjadi seorang Saintes dan menjadi Ratu Kekaisaran.
Novel itu sangat terkenal karena sifat licik dan tangguhnya sang protagonis menghadapi lawan-lawannya. Namun, siapa sangka, Alice, seorang aktris papan atas di dunia modern, meninggal dunia setelah kecelakaan yang menimpanya.
Dan kini Alice hidup kembali dalam dunia novel. Dia bernama Alice di sana dan menjadi sandera sebagai tawanan perang. Dia adalah pemeran sampingan yang akan dibunuh oleh sang protagonis.
Gila saja, ceritanya sudah ditentukan, dan kini Alice harus menentang takdirnya. Daripada jadi selir raja dan berakhir mati mengenaskan, lebih baik dia menggoda sang duke yang lebih kejam dari singa gurun itu. Akankah nasibnya berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3: Mendahulukan Kebutuhan
Hanya dijelaskan bila seorang Duke dari Utara, dari wilayah Corvin, sangat menyukai perang. Dia adalah Duke yang kesepian dan menjadikan mayat sebagai temannya.
Duke Corvin tersesat dalam belenggu pembunuhan, dewa memerintahkan Saintes untuk membasmi calon iblis itu dan menegakkan keadilan.
Begitulah yang tertera dalam novel, hingga aksi heroik dari Saintes itu menjadi bagian dari adegan paling digandrungi pembaca kala itu.
“Terima kasih atas penjelasan Anda, semoga Tuan berkenan saya membantunya berpakaian nanti,” ucap Alice berusaha tenang. Wanita tua itu mengangguk dan akhirnya keluar dari kamar.
Alice berjalan menuju kamar mandi, sedangkan saat itu Lucian sudah terbangun dan mendengarkan percakapan itu. Ada perasaan aneh menggelitik dalam dadanya, selama ini sangat jarang orang yang ingin dekat dengannya dengan cara seperti itu.
Alice adalah gadis yang menari, pikirnya. Dia tersenyum dan duduk di tepi ranjang hingga akhirnya Alice keluar dari kamar mandi dan tersenyum ke arah Lucian.
“Adakah yang dapat saya bantu, Tuan?” tanya Alice berusaha sabar, dan semoga nyawanya tak melayang di tonggak antagonis ini.
“Jangan memanggilku Tuan, Anda bukan pelayan di sini.” Alice berpikir mendengar ucapan Lucian barusan.
“Benar, saya seorang budak. Adakah panggilan yang Anda inginkan?” tanya lagi Alice. Dia harus benar-benar menyimpan banyak cadangan kesabaran dalam hatinya.
“Ah, sudahlah. Panggil namaku saja,” jawab Lucian sembari berlalu ke kamar mandi. Sedangkan Alice kini terdiam, kakinya terpaku seolah tak dapat bergerak saat Lucian masuk ke dalam kamar mandi.
“Apa maksudnya?” bingung Alice. Namun sesuai dengan keinginan Lucian, sekarang dia akan memanggil Lucian dengan nama saja.
Setelah mandi, Lucian dibantu Alice menggunakan pakaiannya. “Mulai sekarang, jangan pernah keluar dari kamar ini apa pun yang terjadi, kecuali aku sendiri yang memintanya,” ucap Lucian. Alice bengong.
“Lucian, apakah saya juga tidak bisa hanya jalan-jalan di koridor atau di taman? Saya berjanji tak akan melarikan diri,” ucap Alice memohon. Lucian menghela napas kasar.
“Apa pun alasannya, Anda harus tetap di sini. Apa pun yang kau butuhkan, sampaikan saja kepada kesatria yang berjaga di depan pintu,” tambah lagi Lucian lalu keluar dari kamar itu. Alice menghela napas kasar.
Kesal, ya memang sangat menjengkelkan. Bagaimana nantinya Alice kabur dari tempat itu? Bila keluar dari kamar saja tidak boleh? Sungguh terlalu.
Sarapan tiba tepat waktu, begitu pun makan siang dan makan malam. Selama waktu seharian penuh, Alice hanya rebahan, melakukan olahraga kecil, dan melakukan yoga untuk menenangkan otaknya.
Dia juga sempat tertidur namun kembali bangun. Malam kian larut dan akhirnya Alice kembali tertidur pulas. Dan saat pagi hari, Alice kembali mendapati Lucian sudah tidur di sampingnya.
“Dia tampan, hidungnya mancung, alisnya indah, bulu matanya lentik,” bisik Alice, menyentuh rambut hitam Lucian yang tampak menawan.
“Sudah puas?” Mata Lucian terbuka, dan sontak saja seperti seorang pencuri yang tertangkap basah. Alice langsung bangun dari tidurnya dan beranjak menuju kamar mandi.
“Feet, manis sekali,” ucap Lucian setelah melihat tingkah Alice. Setelahnya, dua orang kesatria mengetuk pintu kamar itu.
“Tuan, meja kerja dan segala perlengkapan Anda sudah ada di depan pintu,” ucap salah satu kesatria itu.
“Masukkan saja ke dalam, letakkan di sana.” Lucian menunjuk ke arah sebuah tempat kosong di kamar itu.
“Lucian, baju saya basah, hmmm... bolehkah saya meminjam baju Anda?” Alice terdengar dari kamar mandi.
“Keluar!” ucap Lucian pada para kesatrianya. Semua langsung keluar dari kamar itu.
“Lucian, saya agak kedinginan,” ucap lagi Alice. Lucian menghela napas dan mengambil handuk.
“Pakai ini dulu.” Lucian memasukkan tangan kanannya saja ke dalam kamar mandi. Alice akhirnya mengenakan handuk yang Lucian berikan.
“Gunakan selimut untuk menghangatkan tubuh Anda. Tunggu pelayan membawakan baju untuk Anda.” Lucian menyusun buku-buku di rak buku yang baru saja dimasukkan para kesatria.
“Ini akan menjadi ruang kerja Anda juga, Lucian?” tanya Alice. Lucian menganggukkan kepalanya.
Kebisuan menyelimuti keduanya hingga pelayan tiba untuk memberikan pakaian. Lucian sejenak menatap wajah Alice yang anggun, memesona, dan begitu menawan.
Alice adalah harta karun tak ternilai yang dimiliki oleh Lucian saat ini. Dia merasa tak ingin kehilangan Alice. Dan perasaan itu datang tanpa sebab, seolah dia memang sudah menantikan momen pertemuan dirinya dan Alice.
“Hari ini, kita akan membeli pakaian untukmu sebelum kita memasuki wilayah Utara minggu depan,” ucap Lucian pada akhirnya. Alice terdiam sejenak.
Menghindar bertemu dengan pemeran utama wanita adalah jalan terbaik menuju kesuksesan yang sesungguhnya. Bila ingin jadi pemeran utama dalam sebuah drama, maka lihatlah potensi diri sendiri, mampu atau tidak?
Alice menggunakan Lucian sebagai tempat pelariannya. Alice membutuhkan kekuatan untuk dapat menopangnya dalam situasi seperti ini.
“Baik, namun bolehkah saya bertanya? Wilayah Utara itu seperti apa?” tanya Alice lagi. Lucian mengangkat wajahnya hingga mata mereka bertemu.
“Seperti gunung es tanpa ujung. Namun Anda tenang saja, di sana tak sedingin yang Anda perkirakan.” Lucian berusaha menenangkan Alice dengan kalimat yang berbentrokan, namun semuanya seolah baik-baik saja.
.
.
.
Siang hari akhirnya tiba dan Lucian kini sudah bersiap bersama dengan Alice di sampingnya. Alice memperhatikan kediaman yang layaknya kastil tua itu.
Dari berbagai segi, kediaman itu memang terkesan tua namun cukup terawat, jadi masih nyaman untuk ditinggali. Alice keluar dari kediaman itu bersama dengan Lucian.
“Beli saja apa yang Anda butuhkan, saya akan memastikan bila saya dapat membayarnya,” tambah Lucian lagi. Alice terdiam sejenak, mulai mengingat informasi mengenai Lucian dari dalam novel.
Selain dikatakan sebagai Duke yang kesepian, Duke Corvin juga terkenal akan kemiskinannya. Wilayah Utara yang dipenuhi salju dan pajak yang rendah akibat rakyat yang juga tak dapat mengolah sumber makanan mereka sendiri.
Alice paham dengan ucapan Lucian barusan. Dia ingin memastikan bila dirinya mampu membayarnya. Pada dasarnya, dia memang tidak mampu bergaya ala bangsawan lainnya.
“Lucian, bila memang wilayah Utara dingin, bukankah saya hanya membutuhkan mantel saja? Tak perlu gaun yang mahal.” Alice berusaha menerima pilihannya. Dia kini tak ingin membebani Lucian lebih banyak lagi.
Sudah selamat sampai sekarang saja adalah sebuah mukjizat besar baginya. Alice tak ingin membuat Lucian merasa bila membawa Alice adalah kutukan baginya.
“Apa itu akan sesuai dengan gaya hidup Anda?” tanya Lucian lagi. Alice tertegun. Gaya hidup? Mungkinkah maksudnya gaya hidup seorang putri?
“Saya tidak pernah mendahulukan kemauan dibandingkan kebutuhan.” Alice tersenyum. Ya, itu adalah gaya hidupnya di zaman modern.
Seingin apa pun pada sesuatu, tak akan menghalanginya untuk mendapatkan kebutuhan terlebih dahulu dan memilih mengesampingkan keinginan pribadi.
Itu adalah bentuk yang sulit dimiliki manusia, namun itu juga yang mampu membawa Alice menjadi sosok yang sangat terkenal di zaman modern.