menceritakan tentang kisah dyah suhita, yang ketika neneknya meninggal tidak ada satupun warga yang mau membantu memakamkannya.
hingga akhirnya dyah rela memakamkan jasad neneknya itu sendirian, menggendong, mengkafani, hingga menguburkan neneknya dyah melakukan itu semua seorang diri.
tidak lama setelah kematian neneknya dyah yaitu nenek saroh, kematian satu persatu warga desa dengan teror nenek minta gendong pun terjadi!
semua warga menuduh dyah pelakunya, namun dyah sendiri tidak pernah mengakui perbuatannya.
"sudah berapa kali aku bilang, bukan aku yang membunuh mereka!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Abdul Rizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
organ menggantung
Pagi hari yang menjadi tragedi menyeramkan untuk para warga di desa wanara itu.
"Hhaaaaa! Dosa apa yang sudah kita perbuat, sampai sampai seperti ini!" Teriak mereka yang ngos ngosan karena terus berlari, ketika sesosok hantu nenek saroh terus mengikuti mereka.
"Masih tanya dosa apa? Kalau kalian tidak memperlakukan neneknya dyah seperti itu, mungkin semua ini tidak akan terjadi!" Sahut rizky yang geram dengan apa yang di katakan para warga.
Sudah jelas kejadian ini di mulai karena sifat mereka yang anarkis, memperlakukan orang sedemikian rupa.
Warga hanya diam saat mendengar apa yang di ucapkan oleh rizky. Mereka tak ada yang berani menyaut.
"Sudah sebaiknya kita cari rombongan bapakku dan uwak yanto. Siapa tahu mereka sudah menemukan jasadnya pak karno." Ucap rizky, kemudian ia berjalan meninggalkan para warga yang masih sibuk dengan pikiran mereka masing masing.
Semak tinggi yang menjulang menjadi tempat mereka menyusuri jalanan. Desa pedalaman yang masih sangat jauh dengan keramaian, yang dahulunya menjadi desa yang indah, nyaman, dan asri, berubah menjadi desa yang mencekam, dan mengerikan. Sungguh miris dengan pola pikir mereka yang tersesat.
Tepat di ujung jalan perkebunan sana, akhirnya rombongan rizky bertemu dengan rombongan pak ustad dan uwak yanto. Mereka terlihat membawa dua kantung hitam di tangan beberapa warga.
Rizky lekas menghampiri, karena dia memang sangat pensaran dengan kabar yang akan di sampaikan bapaknya.
"Bagaimana pak? Apakah sudah di temukan jasadnya?" Tanya rizky antusias.
Pak ustad tak langsung menjawab, ia diam beberapa saat, sebelum akhirnya mengalihkan pandangan ke arah dua kantung plastik yang warga bawa.
"Itu!" Hanya satu kata yang di keluarkan pak ustad, membuat alis rizky bertaut bingung.
"Itu apa pak?"
"Ini salah satu organ tubuhnya yang kami temukan, selebihnya belum.."
Deg!
Rizky menbulatkan matanya lebar lebar mendengar apa yang di katakan oleh bapaknya. Itu artinya jasad karno di mutilasi, sehingga semua anggota tubuhnya terpisah.
"Astagfirullah halazim, Allahuakbar!" Rizky berseru, jantungnya berdegup dengan kencang. Membayangkan apa yang tengah terjadi. Pikirannya tertuju pada kaki yang tadi sempat terjatuh dari atas pohon. Apakah itu salah satu anggota tubuh karno?
"Tadi kami temukan potongan kaki manusia. Kami fikir potongan kaki itu, salah satu cara nenek saroh menakut nakuti kami, atau jangan jangan..."
"Benarkah? Kalau begitu ayo kita kembali lagi ke sana, kita lihat apakah itu salah satu anggota tubuh yang kuta cari!" Ucap pak ustad menyaut ucapan warga.
Mereka berbondong-bondong kembali ke tempat, di mana tadi semua warga berkumpul dan menemukan potongan kaki manusia.
Dengan jantung yang sedikit tak aman, mereka memberanikan diri mengikuti rombongan pak ustad.
"Memangnya kalian tadi tidak di temui oleh hantu nenek saroh?" Tanya salah satu warga dari anggota rizky, kepada anggot warga dari pak ustad.
"Ndak, memangnya kamu ketemu?" Tanya warga itu balik.
"Iya, mengerikan sekali. Dia sempat mengejar-ngejar kami ke luar hutan."
"Kami tidak. Apa mungkin karena kami bersama pak ustad ya?"
"Ndak mungkin, kami juga bersama anaknya.."
Rizky hanya bisa geleng geleng kepala, mendengarkan apa yang di bicarakan oleh kedua warga itu.
Setibanya mereka ke tempat di temukannya potongan kaki itu, semua warga berpencar untuk mencarinya.
Sampai berkeliling beberapa kali, mereka masih tak menemukannya.
"Kalian lihatnya di mana? Kenapa nggak ada.." tanya pak ustad.
"Di sini pak. Rizky lihat jelas, tapi setelah itu, kami semua lari."
Warga kembali berpencar, kebetulan tak jauh dari area warga berpencar ada sebuah sungai. Suara air mengalir terdengar jelas, membuat sebagian warga memilih untuk mencari ke sana saja, sekaligus beristirahat sesaat.
Rizky ikut warga yang mencari di bagian sungai. Kebetulan ia juga sangat haus. Tepat ketika rizky hendak mengambil air sungai dan akan di minum, tangannya lekas berhenti bergerak.
Hidungnya mencium aroma yang membuat perutnya sedikit tak nyaman. Lekas rizky mengedarkan pandangan.
"Kalian mencium bau amis tidak?" Tanya salah satu warga yang membuat rizky menoleh ke arah rombongan warga yang riuh.
"Iya, baunya menyengat sekali!" Jawab warga lainnya.
Mereka semua mengedar mencari sumber bau yang menyengat di sekitar mereka itu. Begitu juga dengan rizky, dia merasa bau itu tak jauh dari dirinya.
Rizky berjalan ke arah rumpunan bambu yang ada di pinggiran sungai. Dari sana aroma terasa semakin menusuk rongga hidung. Hingga akhirnya jarak rizky dengan rumpun bambu itu berjarak kurang dari beberapa meter lagi. Mata rizky membulat, melihat sesuatu yang membuat dirinya bergetar.
Terlihat jelas ada cairan merah yang sudah mengering dari sana. Mata rizky mengikuti aliran cairan merah tersebut, sebab bekas cairan itu juga mengalir ke arah sungai.
"Aaaarghhh...!!!" Rizky berteriak kencang, membuat para warga yang sibuk mencari potongan kaki berbondong bondong berlari kearah dirinya.
Tepat saat itu, rizky langsung mengeluarkan seluruh isi perutnya. Ia tak sanggup melihat potongan potongan organ manusia, yang tergantung di beberapa ujung bambu yang di potong meruncing.
Beberapa warga juga memilih mundur, tak berani menyaksikan penampakan yang ada di sana.
"Astagfirullah haladzim, Allahhuakbar!" Beberapa warga berseru kaget, sembari muntah tak kuat melihat itu.
Pak ustadz memerintahkan beberapa orang yang masih bisa bertahan, untuk membantunya memasukan ke dalam kantung yang mereka bawa. Nantinya akan di panggilkan bidan desa sebelah, untuk membantu mengurus jasad karno yang teramat mengerikan.
***
Matahari sudah mulai condong ke barat, dyah duduk seorang diri di depan teras. Menyaksikan kupu-kupu yang terbang berlalu lalang menghirup bunga.
Dyah di tinggal seorang diri di rumah. Karena aminah melarang dia untuk ikut serta, takutnya dia nanti malah di tuduh yang tidak-tidak.
Semua orang juga berkumpul di rumah karno, melihat keadaan karno yang lebih mengerikan dari korban-korban sebelumnya.
"Kira-kira apa yang membuat semua ini terjadi? Apakah memang karena sumpah yang aku lontarkan. Tetapi mengapa mereka mengatakan ada seorang wanita yang mirip dengan diriku? Membuat mereka menuduh aku, yang melakukan ini semua.." batin dyah, ia memikirkan kejadian yang akhir akhir ini terjadi di desa wanara.
"Meski aku sangat marah sekalipun, aku mengucapkan hal seperti malam itu, ndak akan mungkin aku bisa membunuh orang. Melihat darah saja aku takut!
Atau ada orang yang sengaja menjebak aku? Agar namaku buruk, tapi siapa? Dan apa tujuannya?" Dyah kembali menerka nerka. Mengapa semua warga begitu menuduhnya, sampai sampai membakar rumah satu-satunya yang ia punya.
Dyah mebuang nafas kasar, pusing memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Dia memang sangat marah dan benci kepada warga karena menghakimi dirinya begitu saja. Tetapi dia juga tidak mau, jika terus menerus di anggap pembawa sial di desa tempat kelahirannya.
Tepat di saat dia akan bangkit, dan masuk ke dalam rumah tak sengaja matanya melihat sesuatu yang membuat langkah kakinya terhenti.
Tampak dari kabut yang turun menyelimuti semak semak yang ada di seberang jalan rumah pak ustad, terlihat seorang wanita memakai baju dress putih selutut, berambut panjang sepinggang sedikit menutupi wajahnya, berdiri diam dengan kepala menunduk.
Dyah menyipitkan matanya, melihat dengan pasti siapa sosok itu. Karena dari bentuk tubuhnya terasa tidak asing.
Karena sangat penasaran dyah memutuskan untuk mendekati sorang wanita berbaju putih itu.