Andai

Andai

Hujan di tengah malam

Nenek bilang, malam itu tepat pukul duabelas malam majikannya mengalami kontraksi. Kehamilan dari anak yang sangat mereka tunggu. Benar, majikan nenek menunggu bahkan merencanakan dengan susah payah akan kehadiran bayi yang ada dalam kandungan majikannya yang bernama Lusy.

Bukan mereka tidak punya anak. Ada Bryan, dan ada Alan. Keduanya laki-laki. Lusy dan suaminya Adnan sangat mendambakan akan kehadiran seorang anak perempuan di keluarganya. Mereka melakukan berbagai macam cara sampai akhirnya bayi tabung mereka berhasil.

Hujan lebat disertai petir yang menggelegar, menyelimuti langit malam itu. Angin yang berhembus kencang membuat pohon bergoyang ke sana kemari tak tentu arah. Kilatan cahaya di atas langit seakan mencoba membelah langit luas malam itu.

Ijah. Itulah nama nenekku. Wanita yang masih muda kala itu ikut berjalan cepat mengikut ranjang rumah sakit yang berjalan menuju ruang operasi.

Lusy bukan kontraksi secara normal, dia kontraksi setelah terpeleset di kamar mandi dan menyebabkan perdarahan hebat.

Seluruh keluarga datang untuk menemani dan memastikan keadaan Lusy baik-baik saja, hingga seorang dokter keluar dan berkata.

"Maaf, Pak. Tapi kami hanya bisa menyelamatkan ibunya."

Antara bersyukur dan juga bersedih. Semua keluarga menangis termasuk nenekku, Ijah. Alan dan Bryan pun terlihat sangat sedih karena adik perempuan yang selama ini mereka dambakan harus pergi sebelum sempat lahir ke dunia.

Malam kelam itu terasa sangat panjang. Hujan tak kunjung reda, pun petir yang terus saja menyambar membuat suasana semakin suram. Dingin menusuk hingga sum-sum tulang. Dingin entah karena cuaca atau karena sesuatu telah pergi.

Adnan mengusap tubuh bayi yang membiru. Seharusnya sepekan lagi dia lahir, namun kini sudah berada di dunia dengan keadaan yang sudah terbujur kaku.

"Selamat datang dan selamat tinggal, Nak." lirih suara yang amat menyayat hati.

Pihak rumah sakit dan kerabat yang lain mengurus jenazah sang bayi, sementara Adnan dan anak-anaknya menemani Lusy yang sudah pasti akan sangat syok atas kepergian putri yang selama ini dia nanti.

Hingga esok hari, Lusy belum juga siuman. Dia masih terbaring di atas kasur dengan wajah yang pucat. Sesekali air mata menetes dari sudut matanya. Dengan lembut Adnan mengusapnya.

"Pah, kita sekolah dulu."

"Hmmm. Hati-hati kalian di jalan."

Alan dan Bryan pun berpamitan karena mereka harus pergi ke sekolah. Saat itu Bryan si sulung kelas 2 SMA, sementara Alan kelas 6 SD.

"Kak, kita gagal dong punya adik cewek?" tanya Alan merengut.

"Yang penting mama sehat dan selamat. Lebih sedih lagi kalau kita harus kehilangan mama bukan?"

"Iya, sih."

Bryan merangkul bahu adiknya seolah memberi kekuatan agar adiknya itu tidak terlalu sedih. Alan adalah orang yang paling antusias menyambut kehadiran bayi ibunya. Bahkan dia sangat antusias saat keluarganya menyiapkan kamar untuk si bayi.

Kehilangan anak yang sangat diinginkan bukanlah hal mudah untuk seorang ibu. Termasuk Lusy. Dia tidak menangis dan tidak meratapi. Tidak marah ataupun memberikan reaksi. Itulah yang membuat Adnan sangat takut.

Lusy depresi.

Tatapannya kosong. Tidak bereaksi pada siapapun dan pada apapun juga. Lusy tidak makan. Makanan masuk ke dalam mulut, ya sudah makanan itu akan terus berada di sana. Itulah kenapa Adnan memutuskan Lusy selalu dipasang infus agar tubuhnya tidak lemas.

Karena waktu dan kesibukan Adnan, dia tidak mungkin selalu menunggu istrinya di rumah sakit. Untuk itulah dia meminta seorang perawat yang siap siaga menemani Lusy di rumah.

"Pak, saya mau minta ijin."

"Ijin ke mana, bi Ijah? Kalau bibi pergi, siapa yang menjaga Lusy?"

"Itu Pak ...." Ijah terlihat segan untuk mengutarakan niatnya meminta ijin pulang kampung.

"Ada apa?" tanya Adnan sambil meletakkan koran pagi di atas meja. Lalu dia menatap dalam pada pembantu yang sudah sangat lama bersamanya.

"Anak saya anu, Pak." kembali Ijah terlihat sangat kebingungan. Adnan terus menatap, meyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja dan Ijah bisa mengatakan hal apapun.

"Ah, iya," ujar Adnan yang seolah menemukan sesuatu.

"Anak bibi malu melahirkan 'kan?"

Ijah tersenyum hambar dan juga lega atas pengertian Adnan.

"Pulang, Bi. Bibi harus menemani anak bibi di sana. Nanti biaya dan semua keperluannya akan saya tanggung. Jangan naik angkutan umum, biar sarif yang antar."

"Jangan, Pak."

"Biar nanti di sana ada kendaraan yang siap siaga, Bi. Udah, bibi jangan protes, nanti saya malah gak ijinin pulang, gimana?"

Ijah tertawa bahagia dan haru atas kebaikan Adnan padanya.

Setelah menyiapkan segala kebutuhannya, Ijah pamit pada semua anggota keluarga Adnan termasuk Bryan dan Alan. Juga pada beberapa pembantu yang juga kerja di rumah itu.

"Maaf ya, Rif. Saya jadi merepotkan."

"Merepotkan apa toh, Bi? Kan sama aja kerja. Lagian saya juga pengen liburan ke kampung. Jenuh di kota terus."

"Iya, nanti kamu bisa mancing di kolam milik kakak saya."

"Wah, seriusan punya kolam ikan?"

"iya, nanti bisa langsung dibakar. Kan enak tuh masih fresh."

"Bagus itu. Jadi gak sabar pengen cepet sampai." Sarif terlihat sumringah mendengar kata kolam dan ikan. Karena memancing adalah hobi nya.

Butuh lima jam lamanya dari rumah Adnan menuju rumah Ijah di kampung Jawa barat. Di tempat dataran tinggi. Di perbukitan yang begitu asri dan sejuk.

Sarif membuka jendela mobil lalu menghirup udara dalam-dalam. Dia seperti menemukan harta Karun karena bisa merasakan kesejukan udara yang selama ini jarang ia dapatkan di kota.

Sarif dan Bi Ijah yang semula tengah berbincang sambil sesekali tertawa, perlahan mulai terdiam. Mereka heran melihat kerumunan orang-orang di depan rumah bi Ijah. Hingga Sufri menghela nafas panjang saat melihat bendera kuning di samping rumah.

Tidak ingin menduga yang bukan-bukan, Bi Ijah turun perlahan dengan wajah cemas dan tubuh bergetar. Jalannya mulai sempoyongan namun dia masih mencoba untuk tetap tenang.

Suara tangisan dan histeris para penduduk yang ada di sana semakin keras begitu melihat kedatangan bi Ijah. Mereka segera menyambut dan sesekali mengusap pundak bi Ijah. Meski kepalanya sudah menebak apa yang tejadi, tapi hati Bi Ijah menolak kerasa hingga dia sadar bahwa dugaannya memang sebuah kenyataan.

Wajah cantik nan rupawan itu terlihat sangat pucat. Sambil tersenyum cantik dibalut kain kafan, terbujur kaku di tengah rumah. Beberapa orang yang sedang mengaji pun langsung terhenti tat kala melihat Bi Ijah datang.

"Jah, ini." Ruminah menghampiri sambil menggendong makhluk kecil yang sama cantiknya dengan sang ibu yang sudah berbaring tak bernyawa.

Dengan tangan bergetar, Ijah menerima bayi yang dibedong dengan kain jarik. Bayi itu nampak terlelap. Dia tidak mengerti dan tidak tahu bahwa pelindung nya di dunia ini sudah pergi.

Meski hatinya hancur, Bi Ijah nampak tidak meneteskan satu tetes pun air mata. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Bahkan hingga pemakan berakhir pun, Bi Ijah masih terlihat tidak menangis.

"Rif, besok kamu pulang dulu ke kota. Sampaikan kondisi di sini pada pak Adnan. Sekaran menginap saja dulu di sini, ya meski tidur di tempat seadanya."

"Gak masalah, Bi. Saya akan sampaikan pada bapak nanti. Kalau misalnya bapak nanya saya kapan bibi akan kembali, saya jawab apa?"

Bi Ijah menghela nafas berat, "saya mungkin tidak akan kembali, Rif. Saya akan merawat cucu saya di sini. Lagi pula tabungan saya mungkin cukup untuk saya pakai modal jualan apa lah di sini."

"Bapak pasti gak akan setuju, Bi. Bagaimana pun juga bibi udah lama ikut mereka dan udah dianggap ibu sendiri. Terlebih keadaan ibu masih belum ada kemajuan."

"Saya juga tau, Rif. Tapi mau bagaimana lagi. Kalau bukan saya, siapa yang akan merawat cucu saya?"

Sarif hanya bisa diam. Dia tidak bisa berkata apapun lagi karena memang situasi Bi Ijah tidak dalam posisi memilih. Dia memang harus mengutamakan cucunya.

Terpopuler

Comments

Timio

Timio

belum apa apa udah nyakitin aja kalimatnya tor 😭

2025-03-03

2

lihat semua
Episodes
1 Hujan di tengah malam
2 Yang tak bisa tergantikan
3 Rahes
4 Studio Musik
5 Perbedaan yang terlalu jauh
6 Telat di hari libur
7 identitas
8 Sadar posisi
9 Berdebar
10 Teman ibu
11 Tiba-tiba menikah
12 New house
13 What's wrong with me.
14 i'am sorry, Mom.
15 Maaf? untuk apa?
16 Kenapa se khawatir itu
17 Pernyataan
18 Hanya sebatas sandiwara
19 Irama jantung yang berbeda
20 Cemas
21 Lampu merah
22 Tidak terkendali
23 Rahasia baru
24 andai ibu masih ada
25 who is he
26 perjodohan
27 Sesuatu yang tersembunyi
28 manipulatif
29 Tertangkap basah
30 anak haram dari wanita gila
31 Perjalanan malam
32 Mencoba mengakhiri
33 Berakhir
34 dia pergi
35 Sepertinya bukan kebetulan
36 Demi kebahagiaan sang buah hati
37 Anggota keluarga yang sah
38 Swafoto (full visual)
39 Emerald
40 Setuju aja dulu
41 jika saja hati bisa dikendalikan
42 berdamailah dengan keadaan agar hatimu tenang
43 She knows
44 apa waktu bisa diputar kembali
45 Kasihan
46 kehilangan
47 Dua sisi berbeda
48 malam yang jadi saksi
49 dunia yang dipenuhi bunga
50 cinta yang tepat diwaktu yang salah
51 aku bukan menyerah tanpa berjuang
52 kenikmatan yang tidak pantas
53 serpihan hati
54 derita malarindu
55 pertunangan
56 garis dua
57 jiwaku ada di bawah sana bersamanya
58 demam
59 rasa yang terbalas
60 the winner. (end)
Episodes

Updated 60 Episodes

1
Hujan di tengah malam
2
Yang tak bisa tergantikan
3
Rahes
4
Studio Musik
5
Perbedaan yang terlalu jauh
6
Telat di hari libur
7
identitas
8
Sadar posisi
9
Berdebar
10
Teman ibu
11
Tiba-tiba menikah
12
New house
13
What's wrong with me.
14
i'am sorry, Mom.
15
Maaf? untuk apa?
16
Kenapa se khawatir itu
17
Pernyataan
18
Hanya sebatas sandiwara
19
Irama jantung yang berbeda
20
Cemas
21
Lampu merah
22
Tidak terkendali
23
Rahasia baru
24
andai ibu masih ada
25
who is he
26
perjodohan
27
Sesuatu yang tersembunyi
28
manipulatif
29
Tertangkap basah
30
anak haram dari wanita gila
31
Perjalanan malam
32
Mencoba mengakhiri
33
Berakhir
34
dia pergi
35
Sepertinya bukan kebetulan
36
Demi kebahagiaan sang buah hati
37
Anggota keluarga yang sah
38
Swafoto (full visual)
39
Emerald
40
Setuju aja dulu
41
jika saja hati bisa dikendalikan
42
berdamailah dengan keadaan agar hatimu tenang
43
She knows
44
apa waktu bisa diputar kembali
45
Kasihan
46
kehilangan
47
Dua sisi berbeda
48
malam yang jadi saksi
49
dunia yang dipenuhi bunga
50
cinta yang tepat diwaktu yang salah
51
aku bukan menyerah tanpa berjuang
52
kenikmatan yang tidak pantas
53
serpihan hati
54
derita malarindu
55
pertunangan
56
garis dua
57
jiwaku ada di bawah sana bersamanya
58
demam
59
rasa yang terbalas
60
the winner. (end)

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!