" Iya, sekalipun kamu menikah dengan wanita lain, kamu juga bisa menjalin hubungan denganku. Kamu menikah dengan wanita lain, bukan halangan bagiku “ Tegas Selly.
Padahal, Deva hendak di jodohkan dengan seorang wanita bernama Nindy, pilihan Ibunya. Akan tetapi, Deva benar - benar sudah cinta mati dengan Selly dan menjalin hubungan gelap dengannya. Lantas, bagaimanakah kelanjutan hubungan antara ketiganya ? Akankah Deva akan selamanya menjalin hubungan gelap dengan Selly ? atau dia akan lebih memilih Nindy ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vitra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Awal
Saat para karyawan sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing, tiba-tiba pintu kantor terbuka. Spontan, semua menoleh ke arah pintu. Ternyata, yang datang di tengah kesibukan itu adalah Selly.
Dengan penuh percaya diri, tanpa sedikit pun rasa sungkan, ia berjalan melewati para karyawan menuju ruangan Kevin.
Beberapa karyawan saling bertatapan, seolah bertanya dalam hati, “Kenapa wanita itu tiba-tiba muncul di sini?”
Nindy pun melirik ke arah Selly. Ia melihat Selly mencoba membuka pintu ruangan Kevin, tapi pintunya terkunci. Selly mengintip dari jendela, dan ternyata Kevin memang sedang tidak berada di dalam.
Saat Selly berbalik, Nindy pura-pura tak melihatnya. Ia langsung kembali fokus menatap layar komputernya.
Langkah sepatu Selly terhenti di meja Nindy—karena kebetulan meja Nindy memang paling dekat dengan ruangan Kevin.
“Hei…” panggil Selly sambil mengetukkan jarinya ke meja Nindy.
Nindy menatap wajah Selly. “Ya?” jawabnya singkat, dengan alis sedikit terangkat.
“Pak Kevin lagi ada urusan di luar?” tanya Selly, sambil melirik ke arah ruangan Kevin.
“Pak Kevin memang belakangan ini hanya ke kantor kalau ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan,” jelas Nindy tenang.
“Ah, sialan!” maki Selly sambil menggebrak meja. Ia lalu menatap para karyawan lainnya dengan ekspresi kesal. “Kenapa nggak ada yang bilang dari awal kalau Kevin nggak ada?! Buang-buang waktuku aja. Sial!” umpatnya, kemudian pergi begitu saja. Para karyawan hanya bisa mengernyitkan dahi.
Ara menoleh ke Nindy. “Lagi-lagi, apa sih maunya wanita itu datang ke sini? Emang dia pikir kantor ini milik pribadinya? Aneh banget!”
Berbeda dengan Ara, Nindy tampak tenang. Ia sudah pernah mengalami langsung sikap kasar Selly.
“Sayang banget, ya? Cantik, tapi nggak punya etika,” sahut Nindy.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Selly keluar dari ruangan kantor Kevin dengan penuh emosi.
“Kevin benar-benar sengaja mengujiku. Apa dia ingin aku mengejarnya?” gumam Selly pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba, ia berpikir haruskah ia balik mendiamkan Kevin? Jika dipikir-pikir, semua laki-laki yang pernah menjalin hubungan dengannya selalu berusaha mati-matian untuk kembali padanya.
Salah satu contohnya adalah Deva. Mereka memang sempat putus, namun pada akhirnya Deva kembali ke pelukannya. Padahal, saat itu Deva sudah dijodohkan oleh ibunya. Meski begitu, ia tetap memilih menjalin hubungan dengan Selly.
“Tapi, apakah Kevin akan seperti Deva? Apakah dia akan mengejarku agar kembali padanya?” pikir Selly, dipenuhi pertanyaan yang berputar di kepalanya.
Berusaha memantapkan hati, ia memutuskan untuk membalas sikap Kevin dengan mendiamkannya.
Dengan kepercayaan diri yang tinggi, Selly yakin Kevin akan kembali padanya. Terlebih lagi, ia tahu persis seperti apa hubungan Kevin dengan istrinya, Martha.
Selly tersenyum tipis dengan sinis. “Lagi pula, Kevin tidak akan betah di rumah. Dia tak akan sanggup berlama-lama bersama istrinya. Lihat saja, Kevin pasti akan kembali kepadaku.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Saat jam istirahat, Nindy menerima pesan dari Deva. Ia mengirimkan foto makan siangnya di kantor. Dengan senyum mengembang, Nindy langsung membalas pesannya.
Deva makin pintar memainkan perasaannya. Kini, ia makin sering menghubungi Nindy baik lewat pesan maupun telepon. Selalu saja ada kalimat manis yang ia sisipkan.
“Wah, gawat,” gumam Nindy tiba-tiba.
“Gawat kenapa, Nin?” tanya Ara heran.
“Ra, coba lihat wajahku deh,” pinta Nindy serius.
Ara menatap wajah Nindy, masih bingung. “Kenapa emangnya?”
“Menurutmu… wajahku kusam nggak?”
Ara menghela napas. “Ya ampun, Nin. Kirain kenapa. Nggak, kok. Kamu cantik. Seperti biasa.”
“Aku mau ketemu Deva besok sepulang kantor. Udah beberapa hari nggak pakai pelembap. Takut kelihatan kusam.”
Ara menepuk jidat. “Ampun, deh. Santai aja, Nin. Kamu selalu kelihatan oke. Sekarang, boleh aku lanjut makan?”
“Terima kasih, Ra. Aku jadi percaya diri, nih,” kata Nindy, tersenyum kecil. Ara hanya menggelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sudah hampir seminggu Kevin tidak ke kantor sejak pertengkarannya dengan Selly. Kini, ia hanya datang jika benar-benar ada pekerjaan penting. Selama itu, Kevin memilih menghindari semua kontak, bahkan menonaktifkan ponselnya. Ia ingin menjauhi Selly sementara waktu.
Namun, jauh dalam lubuk hatinya, ia tahu semakin ia menjauh dari Selly, semakin ia merindukannya. Apalagi, hampir setiap hari ia bertemu dan menghabiskan waktu bersama Nindy.
Di rumah, di lantai tiga tempat ruang kerjanya, Martha datang membawakan sepiring potongan buah.
“Kamu pasti lelah. Ini, aku bawakan buah,” ucap Martha sambil meletakkannya di meja.
Alih-alih merasa senang, Kevin justru curiga. Perubahan sikap Martha terlalu drastis. Dulu begitu dingin, sekarang jadi perhatian.
“Tenang aja, nggak ada racunnya,” seloroh Martha, sadar akan tatapan curiga Kevin. Untuk meyakinkan, ia memakan satu potong buah. “Tuh, aman kan?”
Kevin menatapnya tajam. “Kamu kenapa tiba-tiba berubah seperti ini?”
“Salah ya kalau aku mau memperbaiki hubungan kita? Supaya kamu betah di rumah? Aku ini istrimu, Kev.”
Kevin menyeringai. “Tapi jangan pernah berharap kamu bisa mengalahkan Selly.”
Ucapan itu menampar hati Martha. Tapi ia menahan diri. Tangan yang gemetar ia sembunyikan di balik punggung.
“Siapa juga yang mau bersaing? Aku cuma melakukan tugas istri pada suami,” katanya dengan senyum palsu.
Martha lalu berjalan keluar. Wajahnya yang semula tersenyum kini berubah tegang. Bibirnya mengerucut, matanya tajam menahan emosi.
Sementara itu, Kevin bergumam, “Ada apa sih dengan Martha akhir-akhir ini?”
Di ruang makan, Martha duduk dengan napas memburu. “Kevin memang jago menguji kesabaran,” katanya pelan. Ia mengusap dada, mencoba menenangkan hatinya.
“Tenang, hati. Ini baru awal. Aku mohon, bersabarlah. Kita akan menang…”
Martha menjalankan strateginya dengan kelembutan, karena ia tahu persis seperti apa sifat Kevin. Ketika diserang sekali, Kevin akan membalas dengan seribu serangan. Itulah mengapa Martha harus cerdas dalam menyusun langkah, agar jebakan yang ia siapkan berjalan sempurna.
Ia berharap, sikap lembut dan penuh perhatian akan membuat Kevin lengah. Martha tidak sedang mencoba memperbaiki hubungan—ia sedang merencanakan pembalasan. Semua ini ia lakukan demi membalas rasa sakit yang selama ini ia pendam dalam diam.
Selama ini, Martha menghadapi segalanya seorang diri. Ia sempat terpuruk, bahkan nyaris kehilangan arah. Namun beruntung, Lisa sahabat dekatnya selalu ada di sisinya. Lisa bukan hanya tempat Martha bersandar, tapi juga otak di balik rencana yang kini dijalankan. Segala strategi yang ia mainkan saat ini, adalah hasil diskusi panjang mereka berdua.
Ponsel Martha berbunyi, menandakan ada pesan masuk. Ia segera meraihnya dan membuka layar dengan cepat. Sebaris pesan dari Lisa muncul di layar.
[Lisa: Mar, aku sudah mendapatkan media yang akan bekerja sama dengan kita. Besok kita bertemu, ya. Temui aku di kafe biasa, pukul 17.00.]
Martha tersenyum tipis saat membaca pesan dari Lisa. Senyum yang bukan karena bahagia—melainkan karena keyakinan bahwa langkah besarnya akhirnya akan dimulai.
[Martha: Oke, Lis. Besok kita bertemu di sana. Terima kasih, ya... sudah banyak membantuku.]